Mohon tunggu...
Isur Suryati
Isur Suryati Mohon Tunggu... Guru - Menulis adalah mental healing terbaik

Mengajar di SMPN 1 Sumedang, tertarik dengan dunia kepenulisan. Ibu dari tiga anak. Menerbitkan kumpulan cerita pendek berbahasa Sunda berjudul 'Mushap Beureum Ati' (Mushap Merah Hati) pada tahun 2021. Selalu bahagia, bugar dan berkelimpahan rejeki. Itulah motto rasa syukur saya setiap hari.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Double Burden yang Dialami Perempuan Terkait Pekerjaan Rumah Tangga

1 Oktober 2022   10:27 Diperbarui: 1 Oktober 2022   15:07 499
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi double burden | pexels.com/Gustavo Fring

Pernahkah kita menyaksikan ilustrasi berikut. Seorang istri sibuk hilir mudik ke dapur mengambil piring, sendok, gelas, dan makanan. Lalu, balik lagi ke ruang makan, menyendok nasi untuk sang suami, mengambilkan lauk untuk sang anak?

Sembari menyuapi anak bungsunya yang masih balita, ia juga mondar-mandir mengambil tas kerja sang suami, jas, juga tas anak-anak yang akan dipakai ke sekolah.

Tak ada sesuap nasi pun yang terlihat masuk ke mulutnya, saat suasana sarapan tersebut. Ia sibuk mengurusi semua orang yang ada di rumah. Tapi, ia sendiri tidak keburu dan tidak ada waktu untuk mengurusi dirinya sendiri.

Lihatlah, pemandangan yang sangat kontras. Di saat sang istri sibuk mondar-mandir dan hilir mudik ke sana ke mari memastikan setiap orang mendapatkan pelayanan dengan baik.

Sang suami asyik menyuap makanan, sambil melihat smartphonenya dengan asyik. Seperti tidak peduli sekeliling. Ibarat dia dan perempuan di hadapannya itu memiliki dunia yang sangat berbeda.

Padahal, mereka berdua berada dalam situasi yang sama, disatukan dengan ruangan dan waktu yang sama.

Tetapi, entah mengapa ada perbedaan yang signifikan dalam pekerjaan yang harus dilakukan. Bahkan, laki-laki sama sekali tidak mengerjakan hal apapun selain menyuapkan makanan ke mulutnya. 

Sedangkan, istri melakukan begitu banyak pekerjaan, melayani semua orang, hingga ia tidak memiliki kesempatan dan waktu. Bahkan, untuk sekedar makan sekalipun.

Baca juga: Do

Ilustrasi di atas adalah gambaran double burden yang dialami oleh perempuan sebagai ibu dan istri di rumah, terkait dengan pekerjaan dalam rumah tangga.

Apa itu double burden?

Double burden dapat diartikan sebagai beban pekerjaan yang diterima oleh salah satu jenis kelamin lebih banyak dibandingkan jenis kelamin lainnya.

Dalam hal ini, gender yang dirugikan dan mendapatkan beban pekerjaan yang lebih banyak itu sebenarnya bisa siapa saja.

Bisa laki-laki, bisa juga perempuan. Tetapi, dalam kenyataannya di lapangan. Selalu saja jenis kelamin perempuan yang mengalami double burden. Jarang sekali, bahkan tidak ada laki-laki yang dikabarkan mendapat beban lebih banyak daripada perempuan.

Apa penyebab double burden, sehingga perempuan yang selalu menjadi korban?

Seperti dikutip dari laman kemdikbud.go.id, bahwa ada beberapa hal yang menjadi penyebab terjadinya double burden pada perempuan dalam rumah tangga.

1. Pelabelan sifat-sifat tertentu (stereotip).

Perempuan dalam kehidupan ini dilabeli dengan sifat-sifatnya yang baik, lemah lembut, keibuan, suka mengurus, merawat, dan membantu orang lain.

Pelabelan berdasarkan sifat-sifay tersebut, tampak dari permukaan seperti sedang memuji dan menyanjung. Namun, ternyata di balik itu, pelabelan tersebut mengantarkan perempuan pada pekerjaan-pekerjaan yang bersifat domestik.

Bukan saja menjadikan perempuan sebagai pelayan bagi orang lain. Dalam hal ini, melayani suami, orang tua, dan anak-anak yang mau tidak mau harus menjadi tanggung jawabnya.

Perempuan juga rentan mendapatkan beban yang berlebih terkait stereotip tersebut. Apalagi, bila ia juga berperan sebagai wanita karir yang harus bekerja di luar rumah.

2. Pemiskinan ekonomi terhadap perempuan.

Minimnya pemilikan perempuan terhadap barang-barang yang bersifat ekonomi. Dalam hal ini, menyangkut peran perempuan yang tidak bisa menghasilkan uang di luar rumah. 

Karena, suami melarangnya bekerja. Atau ada alasan lain, seperti anak-anak yang masih balita, atau ada lansia yang harus diurus.

Maka, hal ini secara tidak langsung akan mempengaruhi beban kerja ganda bagi perempuan.

Lantaran suami merasa bahwa dirinya telah bekerja di luar rumah untuk mencari nafkah. Maka, secara otomatis dia berpikir bahwa tidak ada lagi kewajibannya untuk membantu mengerjakan pekerjaan rumah.

Dengan demikian, ia menganggap bahwa pekerjaan rumah seperti menyapu, mengepel, memasak, mencuci, dan mengasuh anak adalah pekerjaan perempuan. Laki-laki dianggap tabu untuk melakukan semua hal tersebut.

3. Budaya patriarki yang berkembang di masyarakat.

Masyarakat kita sudah dari sejak dulu menganut paham patriarki. Budaya tersebut mengantarkan kita pada anggapan bahwa ada perbedaan perlakuan, sikap, dan juga pekerjaan antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan.

Budaya patriarki telah membuat batasan yang jelas, meski tidak tertuang dalam undang-undang atau dalam hukum tertulis apapun.

Batasan tersebut berkenaan dengan pengkotak-kotakan antara pekerjaan domestik yang akan dilakukan oleh perempuan, dan pekerjaan non-domestik yakni mencari nafkah yang biasa dilakukan oleh laki-laki.

Budaya ini telah berurat dan berakar dalam jiwa masyarakat kita. Sehingga, agak sulit untuk menyadarkan laki-laki, bahwa yang harus menyapu itu bukan hanya perempuan. 

Tapi, laki-laki pun harus bisa dan mau menyapu. Karena, yang paling utama dari pekerjaan ini adalah tujuannya, yakni agar terjaga kebersihan. Bukan pada siapa yang harus melakukannya.

4. Sub-ordinasi pada salah satu jenis kelamin.

Budaya patriarki secara tidak langsung telah menempatkan perempuan pada posisi di bawah jenis kelamin laki-laki dalam berbagai hal. Dimulai dari secara gambaran fisik, sifat-sifat, hingga karakter.

Hal ini, mau tidak mau menjadikan perempuan di dalam rumah tangga menempati posisi sub ordinat. Artinya, ia menjadi bawahan dari suaminya sendiri.

Seorang perempuan dituntut untuk selalu berbakti, mengabdi, dan mengurus suami dan keluarga. Secara tidak langsung, posisi sub ordinat ini akan mengantarkan eksistensi perempuan ke dalam jurang ketiadaan identitas.

Meskipun, ia telah mengorbankan diri, dan jiwa raganya untuk mengurus keluarga. Tetapi, tidak ada apresiasi, penghargaan, apalagi rasa hormat yang ia dapat terkait pengorbanan tersebut.

5. Tindak kekerasan (violence) terhadap perempuan.

Pada saat ini, sering kita dengar dan saksikan. Bagaimana seorang suami bertindak kasar kepada istrinya. Baik secara verbal dengan tindakan memukul, membanting, dan lain-lain. Maupun secara non-verbal berupa perlakuan non fisik seperti berkata kasar, berucap yang menghina dan menyakitkan, serta melakukan perselingkuhan.

Semua tindakan ini, akan menyebabkan hidup seorang perempuan tertekan, tidak bahagia, dan rentan stres. Akhirnya, banyak beban yang harus ia pikul. Tidak saja pekerjaan rumah tangga yang menuntut untuk diselesaikan. Tapi, juga beban kesedihan yang harus ia tanggung.

Bagaimana cara mengatasi double burden?

Hal ini harus mendapatkan penanganan yang cepat dan tepat. Karena, bila dibiarkan berlarut-larut, akan mengancam keharmonisan rumah tangga.

Seorang perempuan, meski sabar dan memiliki karakter yang lembut, suka membantu, dan mengurusi orang lain. Akan tetapi, bila secara terus-menerus ia mendapatkan beban yang tidak seimbang, melebihi kapasitas energi dan kemampuan jiwanya. 

Apalagi, bila sang suami di rumah berlaku seolah-olah raja atau majikan di rumah. Ia memperlakukan istri layaknya pembantu. Kurang rasa penghargaan terhadap semua pengorbanan istri. Maka, dapat dipastikan lama kelamaan istri akan terkikis habis kesabarannya.

Berikut adalah beberapa tips memotong efek double burden, agar tidak menjadi problema yang berkepanjangan.

1. Mengakhiri diskriminasi terhadap pekerjaan yang bias gender.

Harus ada edukasi dan sosialisasi dari pemerintah dalam hal ini mungkin dinas pendidikan dan kesehatan. Untuk mengakhiri diskriminasi terhadap pekerjaan yang bias gender.

Sejak dini, anak-anak harus diperkenalkan kepada pekerjaan-pekerjaan rumah tangga. Tekankan bahwa menyapu, mengepel, mencuci adalah keterampilan yang harus dikuasai oleh siapapun. Tidak berkaitan dengan gender atau jenis kelamin.

Harus ada penyuluhan dari dinas kesehatan terkait hal-hal apa saja yang merupakan keterampilan yang berkaitan dengan aspek kebersihan dan kesehatan.

Bahwa, setiap anak-anak harus dibekali kemampuan dan kompetensi terkait pekerjaan yang berkaitan dengan kebersihan dan kesehatan individu.

2. Meningkatkan perlindungan terhadap perempuan.

Pemerintah juga harus membentuk suatu undang-undang yang melindungi perempuan terkait perlakuan yang bias gender, pelabelan, dan tindak kekerasan.

Laki-laki sebagai makhluk yang notabene memiliki kelebihan dalam segi kekuatan fisik. Seharusnya ia tampil menjadi pelindung bagi perempuan, bukannya malah menjadi pelaku yang bertindak kekerasan terhadap perempuan.

3. Pembagian pekerjaan rumah tangga yang adil antara suami dan istri.

Harus ada komitmen dan kesepakatan yang tegas, sebelum menikah. Kalau perlu tuliskan hal tersebut dalam perjanjian pra nikah.

Tentang hal apa saja pekerjaan rumah tangga yang harus dikerjakan oleh laki-laki dan pekerjaan apa yang harus dikerjakan oleh istri.

Pembagian pekerjaan secara adil akan menuntun kita kepada rasa ridlo dan kemaslahatan. Walaupun begitu, komitmen tersebut tidak harus mutlak seperti yang tertuang dalam perjanjian pra nikah. Tentu saja, dengan berlandaskan rasa cinta dan kasih sayang. Maka, semua hal akan bisa dikomunikasikan.

Itulah, double burden dan segala penyebab, dan cara mengatasinya. Semoga, ke depannya tidak lagi ada jenis kelamin yang mengalami double burden dalam hal apapun. 

Beban pekerjaan yang ada di rumah tangga, seberat apapun akan terasa ringan. Bila dipikul secara bersama-sama, ada pembagian yang adil dengan penerapan penuh kasih sayang antara suami dan istri. 

Mari kita terapkan semboyan, berat sama dipikul, ringan sama dijinjing dalam mengatasi double burden yang rentan ada dan hadir dalam rumah tangga kita. (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun