Mohon tunggu...
Isur Suryati
Isur Suryati Mohon Tunggu... Guru - Menulis adalah mental healing terbaik

Mengajar di SMPN 1 Sumedang, tertarik dengan dunia kepenulisan. Ibu dari tiga anak. Menerbitkan kumpulan cerita pendek berbahasa Sunda berjudul 'Mushap Beureum Ati' (Mushap Merah Hati) pada tahun 2021. Selalu bahagia, bugar dan berkelimpahan rejeki. Itulah motto rasa syukur saya setiap hari.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Melakoni Kehidupan sebagai Ibu Pekerja dengan Bahagia

12 Januari 2022   15:44 Diperbarui: 13 Januari 2022   21:57 794
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi ibu pekerja | Sumber: Pexels/Ketut Subiyanto

Drama pagi hari saat di rumah

Apakah Anda Ibu rumah tangga sekaligus Ibu yang bekerja mencari nafkah? Satu kata untuk kalian: Aaah mantap!

Saya paham betul bagaimana rasanya itu. Saat harus bangun di pagi buta padahal kantuk masih bertahta. Karena semalam tidur tak lena, harus menjaga anak dan menuntaskan semua tugas rumah tangga.

Bangun terhuyung-huyung. Udara pagi mencubit kulit, ia seakan-akan berteriak, "Woooy bangun! Kamu harus kerja. Kalau kamu tidak cepat bangun, anakmu keteteran nanti. Suamimu marah-marah karena membuka meja makan, tak ada sarapan. Baju kotor, piring kotor, lantai kotor, siapa yang akan membereskannya."

Namun, selimut dan hangatnya kasur melambai-lambai mengajak melanjutkan tidur sampai pagi menjelang. 

Saat matahari bersinar terang, hangat menjalari pekarangan dan bunga mawar tersenyum merekah. Kamu menggeliat. Aroma kopi Robusta dan goreng uli melangit lepas.

Antara ada dan tiada, kesadaran belum pulih menyatu dalam jiwa. Kau sanggulkan rambut, mengikatnya dengan kuat. Mata belum pun terbuka.Tapi, otakmu sudah menyusun jadwal berantai. 

Buka gorden, buka pintu agar udara segar masuk, nyalakan air, minum air hangat, wudlu, sholat subuh, masak nasi, nyalakan mesin cuci, cuci piring, kopek-kopek bawang, dadar telor, nyapu tipis-tipis, ngepel lantai, siram bunga, bangunkan anak sulung dan tengah dengan lembut, abaikan bila ada sedikit drama, jangan terpancing emosi di pagi hari. Nanti, mood berantakan.

Oke sudah mandi dua bocil itu, suapi mereka untuk meminimalisir alasan tidak mau sarapan. Dua anak sudah rapih, mereka anteng main gawai atau nonton TV. 

Lalu bangunkan suami, siapkan sarapannya. Kita sendiri mandi, siap-siap pakai seragam, tunggu suami mandi dan berpakaian, sambil merapikan anak untuk ke sekolah, tunggu pengasuh datang untuk mengasuh si bungsu. Pyuuuh.

Drama di tempat kerja

Di tempat bekerja, otak seakan tidak pernah berhenti berfikir. Kerjakan administrasi pembelajaran, masuk kelas dan mengajar sesuai jadwal, memeriksa hasil pekerjaan peserta didik dan memasukkan angka sebagai nilainya ke daftar nilai. Istirahat sebentar, sholat, makan siang, dan sedikit bercengkrama dengan rekan kerja. 

Sore menjelang, pulang ke rumah. Dua kali naik angkutan kota. Satu kali naik ojek. Perjalanan yang menantang.

Badan sudah mulai lelah. Ingin rasanya nyender di punggung tukang ojek. Membagikan lelah yang mendera. Tapi, ups! Entar bapa ojek baper lagi.

Drama sore hari di rumah

Tiba di rumah. Istirahat lima belas menit. Lalu mandi membersihkan badan, apalagi di masa pandemi seperti sekarang ini. Wajib hukumnya membersihkan diri sepulang bekerja. Karena, di rumah ada anak-anak masih kecil-kecil. Kesehatan mereka sangat bergantung pada kedisiplinan saya dalam menerapkan protokol kesehatan. Sholat sebentar, sebagai bukti penghambaan kepada-Nya. 

Si bungsu melongo-longo di pintu tidak sabar ingin bermain dengan ibunya. 

Si tengah membawa buku dan pulpen minta dibimbing mengerjakan tugas daring. 

Si sulung sudah lumayan mandiri, dia hanya berkata, "Ma, tugas sudah beres, sholat sudah, aku mau main."

Pukul lima rutinitas sore menanti. Memandikan anak, masak untuk makan malam, dan membereskan mainan, sapu-sapu sedikit, mengawasi anak makan sore. 

Ketika mereka asyik dengan mainanya masing-masing. Baru deh, ibu dapat bernafas lega. Selonjoran di sofa sambil menikmati secangkir teh panas dan goreng pisang. 

Bahagianya hidup itu terasa banget di momen ini. Padahal hanya 15 menit saja. Tapi, itu sudah lebih dari cukup kok untuk me time bagi saya. Ya, agar pikiran gak stres saja.

Nah, kerepotan ibu akan dimulai ketika makan malam. Suami pulang bekerja minta disiapkan makan malam. Sedangkan anak-anak juga sama-sama minta dilayani. 

Si bungsu minta susu, si tengah minta dibuatkan semangkuk mie. Baju kotor menunggu untuk dicuci. Belum lagi menyeterika seragam untuk dipakai esok hari. Karena, keluarga saya memang agak 'lebay' dalam hal pakaian. Padahal semua pakaian di lemari sudah disetrika rapih. Namun, tetap saja khusus untuk pakaian seragam harus disetrika lagi.

3 faktor penyebab ibu bekerja merasa double capek

Sebenarnya yang membuat capek, lelah, dan ingin menangis itu bukan pekerjaannya. Karena, saya yakin setiap perempuan, setiap ibu itu diciptakan Illahi dengan bakat multi tasking. 

Saya yakin semua perempuan memiliki keahlian dapat mengerjakan beberapa pekerjaan dalam satu waktu. 

Umpamanya, memasak sambil mencuci piring dan mengepel lantai. Nyuapin anak sambil ngajarin anak dan share materi pelajaran di grup WA. Betul kan?

Ada beberapa hal yang membuat ibu bekerja merasa double capek dan merasa gagal sebagai perempuan. Berikut saya rangkum dari beberapa sumber.

Pertama, dibentak atau dikomplain suami 

Hal ini adalah faktor utama yang menjadi penyebab seorang perempuan merasa down, merasa tidak berharga, sekuat apapun dia. 

Karena, semangat seorang istri ada pada penghargaan dan penerimaan dari suaminya. Seberat apa pun beban pekerjaan di kantor, rumah, dan sekolah anak. 

Kalau suami mendukung, memberikan apresiasi, dan berbicara dengan lemah lembut. Maka, seorang perempuan akan dapat meng-handle semua urusan tersebut dengan baik. Tidak percaya? Buktikan saja.  

Kedua, ketika anak sakit

Ibarat pepatah, "Seorang ibu itu lebih rela jika dirinya yang sakit, dari pada harus melihat anaknya yang terbaring sakit". 

Pengalaman membuktikan, memang seperti itulah yang saya rasakan sebagai seorang ibu. 

Saya kadang berdoa, "Biar saya saja yang menanggung sakit anak saya, biarkan anak saya sehat." Padahal, minta semua anggota keluarga disehatkan, ya? 

Itu menandakan betapa seorang ibu akan terpuruk dan merasa tidak berdaya ketika buah hatinya sakit. Apalagi harus bekerja di kala anak sakit. Itu merupakan dilemma terbesar. Di satu sisi ibu bekerja harus profesional. 

Karena, aturan pekerjaan memang menuntut seperti itu. Sisi lain dia juga harus mengutamakan anaknya. Buah hati yang menjadi tumpuan hidupnya. Salah satu alasan mengapa dia capek-capek bekerja, mencari nafkah.

Ketiga, ketika tidak ada pengasuh

Mencari pengasuh anak adalah masalah yang gampang-gampang susah. Disebut gampang karena banyak sekali biro-biro penyalur jasa pengasuh atau baby sitter. 

Dari kota besar hingga ke pelosok terpencil tersedia. Bila kita tidak mengandalkan pengasuh dari biro pun. Banyak kok yang menawarkan pekerjaan sebagai pengasuh secara mandiri. 

Saya beberapa kali kedatangan tamu yang menawarkan jasanya untuk mengasuh anak saya.  Tapi, ya itu tadi. Ada beberapa pertimbangan ketat ketika saya memutuskan menerima seorang pengasuh. 

Tentu saja, pertimbangan pertama adalah keamanan dan keselamatan anak kita. Pengasuh harus yang sudah kita kenal. Di mana rumahnya, bagaimana perilakunya, siapa keluarganya. 

Makanya, dalam memilih pengasuh anak ada lika-likunya. Bahkan saya pernah memiliki pengalaman buruk dengan pengasuh anak saya yang pertama. Dia menyebabkan trauma psikis bagi perkembangan jiwa anak saya. 

Si sulung anak saya selalu diancam untuk tidak berkata soal perlakuannya kepada anak saya. Bahkan, sampai sekarang pun, anak saya berusia 14 tahun. 

Kalau ditanya tentang apa yang terjadi pada saat mulutnya bengkak ketika diasuh oleh pengasuh tersebut. Anak saya hanya menjawab, "Tidak ada apa-apa." 

Padahal jelas-jelas dokter spesialis anak mengatakan bila bengkak diakibatkan oleh pukulan benda tumpul. Nah, lho. Makanya, setelah kejadian tragis tersebut, saya hati-hati sekali dalam memilih pengasuh anak.

Tidak ada pilihan lain

Bekerja adalah komitmen yang dibuat oleh seorang ibu saat dia memutuskan untuk membantu suami mencari nafkah, atau komitmen ketika dia memang satu-satunya sumber pencari nafkah. 

Umpama, ketika suami sebagai sumber pencari nafkah utama tidak hadir. Karena berbagai sebab, misal karena perceraian, sakit, di-PHK, dan lain-lain.  Jika seorang ibu sudah memutuskan. Maka, dia tentu saja sudah memikirkan tentang semua risiko yang akan terjadi di balik pengambilan keputusan tersebut. 

Oleh karena itu, tidak ada pilihan lain. Maka, kerjakan kedua urusan tersebut dengan seimbang. Bila ada kendala di salah satu peran yang kita kerjakan, utamakan solusi terbaik untuk mengatasinya. 

Anak tidak akan selamanya kecil. Skala prioritas harus kita terapkan dalam hal ini. Karena, toh menurut penelitian, anak-anak yang lahir dari ibu yang bekerja biasanya akan tumbuh lebih mandiri dan percaya diri. 

Hal itu disebabkan karena anak melihat bagaimana ibunya bersikap profesional dalam pekerjaan dan statusnya sebagai ibu di rumah.

Lakoni dengan bahagia

Kalimat ini tampak begitu mudah: lakoni dengan bahagia. Padahal dalam penerapannya di lapangan tetap membutuhkan komitmen, ketabahan, dan perjuangan yang dahsyat. Bagaimana tidak? Fisik seorang perempuan, dari arah mana pun dilihat. Tentu saja, tidak sekuat fisik laki-laki. 

Selintas, mungkin akan muncul pemikiran, bagaimana bisa seorang perempuan dengan badan ringkih dan gerakan lemah gemulai menyelesaikan semua beban yang terbentang di depan kehidupannya?

Namun, pengalaman membuktikan. Banyak kok, perempuan yang berhasil membesarkan anak-anaknya sendirian hingga berhasil. 

Banyak kok perempuan yang bersinar di bidang pekerjaan yang kasar dan berat. Padahal, pada umumnya pekerjaan itu dikuasai oleh jenis kelamin laki-laki. Umpamanya sebagai sopir kendaraan besar, bekerja di laut, menjadi pilot, dan sebagainya.

Saya yakin dan percaya bahwa perempuan itu, baik ia sebagai ibu bekerja, maupun sebagai ibu rumah tangga biasa. Dia akan mampu melakoni semua perannya dengan baik dan bahagia jika ada dorongan, motivasi, penghargaan, dan apresiasi dari lingkungan sekitarnya. 

So, untuk semua ibu yang ada di jagat raya. Lakoni peranmu dengan bahagia! (*)

#Dilema Ibu Bekerja

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun