"Kamu harus pulang, Ra. Kita mau kedatangan tamu. Adikmu mau lamaran,"Â
begitu pesan WA Ibu yang membuat Ara mau tidak mau harus mudik tahun ini, setelah sekian lama dia meninggalkan tanah kelahirannya, dan belum pernah sekalipun kembali.
Tanah yang ditinggalkan dengan membawa luka yang sampai kini masih mendatangkan rasa sakit yang mendalam.
Senja merayap malu di ufuk barat, mewarnai langit dengan goresan jingga dan ungu melukis senja yang temaram.
Ara mematung di ujung senja, berdiri terpaku bersandar mobil yang sedang didinginkan mesinnya. Rest area mulai ramai oleh hiruk pikuk manusia yang memendam rindu pada tanah leluhur. Seia sekata menempuh jarak ratusan bahkan ribuan kilometer untuk memenuhi satu hasrat. Mudik!
"Permisi...! Maaf toilet sebelah mana ya?"Â Seorang lelaki terlihat tergesa tapi kebingungan.
"Itu lurus, sampai di depot bakso itu ada gang kecil masuk, terus nanti ada mushola. Nah, toilet nya di dekat situ. Ada tulisannya!"Â
Ara menjawab ikut tergesa. Untung tadi dirinya baru saja menunaikan salat ashar di mushola, jadi paham lokasi toilet yang berdekatan dengan mushola.
"Terima kasih!"Â
Lelaki itu langsung berlari kecil setelah mengucap terima kasih. Ara hanya mengangguk sambil tersenyum samar. Diliriknya arloji di pergelangan tangan. Masih ada waktu sambil menunggu waktu berbuka. Ara membuka gawainya, dan asyik mengikuti chat di grup WA teman kuliahnya. Tapi hanya beberapa yang online.Â
Rata-rata mantan teman kuliahnya sudah menikah, jadi mereka lebih memilih bercengkrama dengan keluarga daripada aktif di grup WA. Tak heran grupnya sepi, membuat Ara memilih untuk meneruskan lamunannya.
Setiap tahun, ritual mudik selalu menjadi oase di tengah gurun rutinitas manusia memenuhi fitrahnya memenuhi tuntutan hidup yang tak kunjung usai.
 Perjalanan panjang ini bukan hanya tentang menempuh jarak, tetapi juga tentang menapaki jejak kenangan.Â