Paradoks inilah yang menjadikan Kartini relevan hingga kini: ia berani bermimpi besar, namun juga cukup bijak untuk berjuang dalam batas realitas. Ia tidak melawan laki-laki, tetapi memperjuangkan agar perempuan bisa berdiri sejajar. Bukan untuk menyaingi, melainkan untuk turut membangun peradaban.
Kartini wafat di usia muda, namun warisannya abadi. Bukan karena ia semata menulis, tapi karena ia memilih untuk tinggal dan berjuang di tanahnya sendiri. Pengorbanan itu yang membuat masa depan berpihak pada cita-citanya, dan membuat kita generasi hari ini masih bisa merasakan cahaya dari pelita yang ia nyalakan, jauh sebelum kita lahir.
2.Cut Nyak Dhien
Cut Nyak Dhien merupakan salah satu tokoh perempuan paling berpengaruh dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia melawan kolonialisme Belanda. Lahir dari keluarga bangsawan di Aceh Besar, ia menunjukkan bahwa status sosial tidak menjadi penghalang untuk terjun langsung ke medan perang, apalagi ketika perjuangan menyangkut harga diri bangsa.
Motivasi perlawanan Dhien berakar pada pengalaman pribadi kehilangan suaminya Teuku Ibrahim Lamnga dalam pertempuran melawan Belanda. Semangat juang ini semakin menguat ketika ia menikah dengan Teuku Umar, seorang tokoh perlawanan Aceh lainnya. Bersama, keduanya membangun strategi perlawanan yang tidak hanya bersifat militer, tetapi juga taktis, seperti tipuan penyerahan diri kepada Belanda demi mendapatkan persenjataan dan logistik.
Perjuangan Dhien tidak berhenti meskipun Teuku Umar gugur. Ia terus memimpin pasukan meski dalam keadaan fisik yang semakin melemah. Keteguhannya menunjukkan bahwa peran perempuan dalam perjuangan tidak terbatas pada dukungan moral atau logistik, tetapi dapat pula mengambil peran sebagai komando gerilya.
Penangkapannya pada tahun 1901 dan pengasingannya ke Sumedang tidak menghapus jasa-jasanya dalam sejarah nasional. Justru, tindakan Belanda mengasingkannya mencerminkan kekhawatiran terhadap pengaruh besar yang ia miliki di kalangan rakyat Aceh. Pengakuan terhadap perjuangannya ditandai dengan penganugerahan gelar Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Indonesia pada tahun 1964.
Dengan demikian, Cut Nyak Dhien merupakan simbol resistensi perempuan terhadap kolonialisme serta bukti nyata bahwa perjuangan kemerdekaan Indonesia tidak lepas dari kontribusi aktif tokoh-tokoh perempuan yang tangguh, berani, dan visioner.
3.Hj. Rusana Said.
14 September 1910 di Desa Panyinggahan, Maninjau, Sumatera Barat, lahirlah seorang perempuan luar biasa yang kelak dikenal sebagai pejuang kemerdekaan sekaligus ikon emansipasi: Hajjah Rangkayo Rasuna Said.
Lahir dari keluarga terpandang, Rasuna sejak dini sudah menempuh pendidikan yang tak biasa untuk perempuan saat itu. Meski sempat mengenyam pendidikan Belanda, ia justru memilih sekolah agama dan menjadi satu-satunya santri perempuan di Pesantren Ar-Rasyidiyah. Tak berhenti di situ, ia melanjutkan ke Diniyah Putri di Padang Panjang sekolah modern khusus putri yang didirikan Rahmah El Yunusiah.