Mohon tunggu...
Ismaliyah Yusuf Rangkuti
Ismaliyah Yusuf Rangkuti Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis Terpilih Sayembara Menulis Cerita Anak BBSU 2020

Berpelesir, Menulis, Membaca dan Tertawa. Menulis adalah obat bagi saya yang ingin lekas pulih setiap hari; adalah perjalanan liar yang bebas saya tempuh meski tanpa kompas yang utuh; adalah cinta-kasih yang saya beri izin tumbuh meski tanpa seorang kekasih. Sepanjang nafas yang Tuhan pinjamkan, ada beberapa buku yang telah saya terbitkan. Karya utama saya adalah "Surga Tersembunyi di Pulau Nirwana" berupa cernak yang diterbitkan oleh Balai Bahasa Sumatera Utara, lalu diramaikan oleh "Bangau Putih" buku puisi perdana saya. Dan beberapa buku lain berupa Antologi bersama yaitu "Ada Bena di Adiwidia", "Agrari", "Ingatan Edelweiss". Terimakasih sudah singgah dan membaca.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Seulas Cerita dari Rote

7 Desember 2023   15:17 Diperbarui: 7 Desember 2023   21:58 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sorot matanya menatap ke arahku dengan sungging sederhana di bibirnya. Tak ada rapalan khusus untuk bisa menyeberangi laut katanya, cukup cari ikan banyak-banyak biar bisa menyambung hidup esok hari. Di sepanjang jembatan kayu, aku melihat para pekerja alam mempertaruhkan hidup dengan perahu milik mereka, bahkan beberapa diantaranya sudah ringkih sekali untuk menahan hantaman ombak sana-sini. Aku mengakhiri langkah pada sebuah perahu tua di sisi kanan dermaga. Disana ada seorang Bapak dengan secangkir kopi di atas telenan kayu dan sebilah sabit di sampingnya, Pak Tolu namanya.

“Mau melaut, Pak?” Tanyaku

“Iya Bu, sedang memanaskan mesin.” Jawabnya

“Saya boleh ikut, Pak?” Sahutku

“Boleh saja, tapi ya perahunya begini, tidak bersih.” Ucapnya

“Tidak masalah Pak, saya mau tahu bagaimana caranya menangkap ikan, selama ini makannya saja saya yang tahu.” Ucapku sembari tertawa kecil bersamanya

“Tidak semua nelayan pulang membawa hasil tangkapan, Bu. Karena Butuh waktu dua sampai tiga hari di tengah laut baru bisa pulang membawa banyak ikan. Kalau seperti saya ini, ya melaut untuk makan sehari habis sehari saja. Kalau untuk bermalam di laut sudah tidak tahan dengan anginnya.” Ucapnya di tengah perjalanan menuju perut laut.

Enam puluh tiga tahun sudah usianya, namun semangatnya untuk tetap menafkahi keluarga rasanya tak pernah surut seperti air laut.

“Apa tidak ada rencana pensiun sebagai nelayan Pak?” Senyum kecilku padanya

“Inginnya saya ya begitu Bu, tapi hidup ini sepertinya adalah perjuangan sampai mati.Tugas kita hanya terus berusaha dan doa.Toh, Tuhan gak pernah tidur. Sampai sekarang, belum pernah Tuhan biarkan perut saya kosong tanpa isi.” Jawabnya tenang

Hampir satu tahun ke belakang, aku membaur dengan orang-orang pesisir pantai di banyak daerah, sebagai penulis yang bekerja sama dengan Kementerian Kelautan, aku dikirim ke beberapa tempat di Indonesia seperti Aceh, Nias, Yogyakarta, Bali, Lombok dan Rote. Di setiap perjalanan, aku harus menghasilkan tulisan baru tentang kehidupan masyarakat pesisir tempatku berpijak. Banyak sekali cerita yang ingin ku tuliskan agar bisa dibaca jutaan orang di negeri ini. Sebab mereka harus tahu, selain petani, nelayan adalah tonggak kehidupan yang harus disyukuri keberadaannya. Tak pernah terbayangkan, jika jiwa-jiwa yang kuat, tangguh dan pemberani ini tidak ada, pasti aku tak pernah tahu seberapa lezatnya ikan saat di arsik sebagai makanan khas suku Mandailing.

Matahari mulai meredupkan cahayanya, di pinggir dermaga Pak Tolu bersiap merapikan jaring dan ikan-ikan hasil tangkapannya serta menyandarkan perahunya dengan posisi yang sempurna.

“Ibu sekadar singgah kemari atau sedang penelitian?” Tanya Pak Tolu padaku

“Tepatnya saya sedang mencari inspirasi untuk menulis Pak.” Jawabku sembari membantunya melipat jaring

“Oh penulis rupanya, saya pikir ibu ini sedang penelitian, karena pemberani sekali ikut melaut dengan saya. Karena biasanya hanya peneliti saja yang berani ikut melaut.” Jawab Pak Tolu

“Tidak Pak, sejak kecil saya memang senang sekali melihat laut dan bermain air laut, bagi saya laut itu menenangkan sekali terkhusus untuk jiwa-jiwa yang sepi seperti saya.” Jawabku

“Saya justru takut sekali dengan laut sewaktu kecil. Namun karena saya ini memang berasal dari keluarga nelayan, mau tidak mau laut berubah menjadi tempat bermain saya. Bapak saya pun adalah nelayan, namun harus gugur saat pasang laut dua puluh taun yang lalu. Laut ini adalah sumber kehidupan kami, dan laut memang menenangkan, Bu. Tetapi saat pasang justru menegangkan karena bisa saja rumah kami kebanjiran.” Jawab Pak Tolu dengan tawa kecil di bibirnya.

“Bapak bisa saja, tapi yang pasti laut memang salah satu tanda kebesaran Tuhan, iya kan Pak?” Tanyaku

“Iya Bu, kebesaran Tuhan yang sangat kami syukuri keberadaannya. Oiya, kalau boleh tahu ibu bermalam dimana selama disini?” Tanya Pak Tolu

“Di penginapan dekat kota Pak, sekitar 1 jam lebih dari sini. Terkadang saya kesiangan untuk bisa menyaksikan matahari terbit dari dermaga. Karena jarak dari tempat saya menginap kemari lumayan jauh, sedangkan untuk pergi lebih awal saya sedikit kurang berani karena jalanan masih sepi sekali.” Jawabku

“Penginapan memang adanya di kota Bu, disini ya rumah penduduk yang apa adanya. Lagi pula memang masih rawan sekali pergi lebih pagi, masih banyak orang-orang usil yang bisa saja menyakiti, karena disini kan memang wilayah pesisir, penduduknya tidak selemah-lembut penduduk kota, barangkali karena tekanan hidup yang lebih berat.” Ucapnya

“Iya Pak, maka dari itu saya sedikit kurang bersemangat untuk menjelajahi tempat ini. Kalau saya boleh tahu, apa ada rumah kosong yang disewakan disini Pak, tidak masalah dengan kondisi rumah yang apa adanya.” Tanyaku

“Tidak ada Bu, tapi kalau ibu mau, boleh sementara waktu menginap di rumah saya sampai tulisannya selesai, dirumah saya hanya ada saya dan istri saya, anak saya hanya satu, dan sedang merantau di Jakarta. Kebetulan kamar anak saya kosong, kalau ibu mau boleh mengisinya sementara waktu. Biar bisa melihat matahari terbit di dermaga.” Ucap Pak Tolu

“Wah, saya berkenan sekali Pak, kalau diizinkan besok saya sudah boleh menginap dirumah Pak? Saya disini hanya dua minggu saja Pak. Biar saya ikut aktivitas bapak melaut dan lainnya.” Ucapku

“Boleh Bu, dengan senang hati, saya akan sampaikan kepada istri saya dirumah, kalau ibu mau menjadi tamu kami untuk beberapa hari kedepan.” Ucapnya

“Terimakasih banyak ya Pak, salam saya untuk ibu dirumah. Kalau begitu saya pamit lebih dulu, biar bisa beres-beres barang untuk berangkat lagi kemari esok pagi.” Ucapku

“Iya, iya, silahkan. Saya tunggu kedatangannya di tempat ini kembali ya Bu. Hati-hati di jalan.” Ucapnya ramah

“Iya Pak, terimakasih.” Jawabku sembari berjalan menuju pulang.

Perjalananku kali ini berakhir di tempat yang benar-benar luar biasa, wilayah paling selatan Indonesia yang terletak di Nusa Tenggara Timur, Pulau Rote Ndao namanya. Selepas berbenah Pakaian, aku bergegas berangkat kembali menuju Desa Oeseli, Dusun Letedolu, tempat dimana aku dan Pak Tolu bertemu. Dikarenakan aku belum mengetahui letak rumah Pak Tolu, maka aku diminta untuk menunggunya di dermaga. Disana ku lihat para nelayan berlabuh dari pelayarannya, perahu yang disandarkan sedikit sekali yang masih sehat, selebihnya sudah tua dan butuh perbaikan. Tak lama kemudian Pak Tolu tampak berjalan menuju tempatku dari ujung dermaga sebelah kanan. Sembari melambaikan tangan kepadanya, Pak Tolu tampak ramah menyapa para nelayan yang dilewatinya.

“Sudah lama menunggu Bu?” Tanyanya padaku

“Belum kok Pak, baru sekitar 10 menit yang lalu. Bapak tidak melaut hari ini?” Tanyaku kembali

“Ooh tidak, hasil tangkapan ikan semalam masih cukup banyak untuk dihabiskan sampai hari ini Bu, lagi pula saya mau bantu ibu dirumah untuk membuat gula aren.” Jawabnya

“Wah, seru sekali kedengarannya Pak.” Ucapku

“Kalau untuk ibu ya seru, tapi untuk masyarakat Rote ini sudah biasa, sudah jadi salah satu mata pencaharian, mari biar saya antarkan ke rumah saya.” Ajaknya

“Oiya, ayo Pak, jauh ya Pak dari pantai?” Tanyaku

“Tidak Bu, sekitar 10 menit sudah sampai.” Jawabnya tenang.

“Esok pagi akan ada kegiatan rutin di bibir pantai menjelang Bulan purnama. Sebelum para nelayan beristirahat cukup lama dari melaut. Besok saya akan ajak ibu untuk melihatnya sekaligus menyaksikan matahari terbit di dermaga. Biar kesampaian keinginannya.” sambung Pak Tolu

“Wah, saya sudah yakin sekali Pak, tempat ini pasti menyimpan banyak tradisi yang bernilai budaya tinggi untuk bisa saya tuliskan. Terimakasih banyak Pak sudah bersedia saya repotkan.” Ucapku di perjalanan menuju rumah Pak Tolu.

“Sama-sama Bu, saya pun berterimakasih sudah sudi menuliskan kisah kami para nelayan disini.” Jawab Pak Tolu.

Setelah berjalan kaki sekitar 10 menit, aku pun sampai di kediaman Pak Tolu. Tampak Bu Langga keluar dari pintu rumah bebak milik mereka dengan senyuman tulus yang menyambutku, sesampainya di depan pintu rumah mereka, Bu Langga mengejutkanku dengan menempelkan ujung hidungnya dengan hidungku, awalnya aku merasa bingung, namun setelahnya Pak Tolu menjelaskan bahwa yang di lakukan Bu Langga adalah tradisi masyarakat Rote Ndao dalam menyambut tamu yang disebut Henge'do[1]. Aku pun tersenyum girang, merasa sangat diterima dengan baik sebagai seorang pendatang jauh dari ibukota. Ditempat ini akan ada banyak cerita untuk ku bawa pulang. 

“Salam saya Bu, perkenalkan saya Langsana  dari Jakarta.” Sapaku kepada Bu Langga

“Salam kembali Bu Langsana .” Jawabnya

“Sebenarnya saya sedikit canggung kalau dipanggil ibu, karena sepertinya usia saya dengan anak bapak dan ibu sama.” Jawabku

“Saya panggil ibu, karena bapak juga panggil ibu. Jadi bagaimana kalau saya dan bapak panggil Langsana saja?” Tanya Bu Langga

“Langsana  jauh lebih baik Bu” jawabku tersenyum

“Baiklah, Langsana usianya berapa?” tanya Bu Langga

“Saya menginjak usia 28 tahun Bu.” Jawabku

“Ooh, benar seusia dengan Zega. Anak kami juga berusia 28 tahun, tapi sedang bekerja di Jakarta, dia bekerja di salah satu perusahaan swasta tapi anak perusahaannya. Saya lupa namanya. Perusahaan apa Pak namanya?” Tanya Bu Langga pada Pak Tolu yang sedang di dapur entah melakukan apa. 

“Saya juga lupa. Tapi kalau tidak salah perusahaannya bergerak dibidang tekstil” Jawab Pak Tolu sembari membawakan saya segelas teh hangat.

“Wah, jangan repot-repot Pak, saya segan sekali.” Ucapku

“Tak apa, biar sekalian di siapkan sarapannya.” Ucap Pak Tolu


Bu Langga bergegas menuju dapur dan menghidangkan sebuah masakan khas Rote kepadaku, Lawar ikan namanya, sebuah hidangan yang berbahan dasar ikan segar mentah yang dipotong tipis-tipis dengan bumbu rempah khas pulau ini. Bagi orang Mandailing sepertiku makanan ini sangat tidak biasa, bahkan belum pernah ku coba. Tapi setelah mendengarkan penjelasan Bu Langga dan Pak Tolu, ternyata ikan mentah ini sudah matang karena di rendam cuka dan perasan jeruk nipis sebelum diolah dengan bumbu lainnya. Dan rasanya benar-benar diluar dugaanku. Lezat dan segar sekali apalagi dihidangkan dengan nasi hangat.

“Setelah makan, mau ikut saya dan ibu membuat gula aren? Tapi kita harus mengambil air niranya terlebih dulu. Atau ibu mau istirahat dirumah saja? Aduh saya lupa, Langsana maksud saya.” Tanya Pak Tolu padaku

“Saya ikut Pak, rugi sekali rasanya kalau saya di rumah saja, nanti malam saja saya istirahatnya Pak” jawabku girang

“Kalau begitu ibu dan Langsana  boleh pergi lebih dulu, saya menyusul, ada yang mau saya siapkan.” Ucap Pak Tolu

“Iya Pak, ayo Langsana . Namanya bagus ibu suka” ucap ibu membuatku tersipu

Pohon nira atau pohon lontar yang akan dideres adalah milik Pak Tolu, pohon ini bisa tumbuh mencapai ketinggian 30 meter dari permukaan tanah, masyarakat Rote menyebut pohon ini sebagai pohon Al-Hayat atau pohon kehidupan. Bagaimana tidak, seluruh bagian dari pohon ini sangat bermanfaat bagi kehidupan. Mulai dari buahnya yang menghasilkan nira untuk diolah menjadi gula aren dan minuman, daunnya yang digunakan untuk atap rumah, tulang daunnya yang digunakan menjadi lidi, batangnya yang dijadikan kayu pembangun rumah dan kayu perabotan, akar mudanya yang bermanfaat mengobati pernapasan, hingga arang kulit batangnya digunakan untuk menyembuhkan sakit dan berkhasiat sebagai obat pembersih mulut.

Di sepanjang perjalanan menuju kebun lontar, aku sempat bertanya pada Bu Langga tentang cara mereka berbahasa yang berbeda sekali dengan penduduk Rote lainnya, gaya bahasa yang mereka gunakan sama sekali tidak menunjukkan bahwa mereka penduduk asli Rote Ndao, karena bagiku tata bahasa Pak Tolu dan Bu Langga sangat baik seperti orang kota pada umumnya, mereka juga jarang sekali menggunakan bahasa Rote selama berbincang denganku melainkan lancar sekali berbahasa Indonesia yang baku.

“Oiya Bu, saya mau tanya” ucapku pada Bu langga

“Silahkan, bertanya saja kok permisi” jawabnya tersenyum

“Sejak pertama kali saya bertemu bapak, saya merasa gaya bahasa yang bapak gunakan tidak terlalu kental dialek rotenya. Dan ternyata setelah bertemu ibu, saya justru lebih yakin kalau bapak dan ibu berbahasa Indonesia sehari-hari bukan bahasa Rote. Apa ini hanya asumsi saya saja ya Bu?” tanyaku

“Langsana  pasti mengira kami bukan penduduk asli ya. Bahasa daerah tetap kami gunakan, tetapi memang karena desa ini sering kedatangan penduduk kota terkhusus Jakarta yang melakukan penelitian dan pengabdian, saya dan bapak jadi secara tidak langsung lancar bicara bahasa Indonesia. Lagi pula Zega juga kalau menelpon pakai bahasa Indonesia, tapi ya ini hanya berlaku kepada siapa kami bicara saja, kalau kepada sesama penduduk desa tetap bahasa daerah.” Jawab Bu Langga

“Ooh begitu Bu, pantas saja dialeknya fasih sekali” sahutku

“Iya, lagi pula, saya asli Jawa Tengah, hanya saja berjodohnya dengan orang Rote” jawab Bu langga

“Wah, sudah pas kalau begitu Bu, terpecahkan sudah rasa penasaran saya” jawabku

Setelah menderes pohon nira milik Pak Tolu. Kami bergegas pulang kerumah untuk mengolahnya menjadi gula. Awalnya ku pikir Pak Tolu yang akan memanjat pohon niranya, tetapi ternyata ada Ringgas anak laki-laki usia 18 tahun yang memanjat pohonnya. Tanpa rasa takut, Ringgas memang ahlinya untuk menderes nira.

Waktu menunjukkan pukul 15.00 WITA, air nira  yang sudah disaring kemudian di masak menggunakan wajan di tunggu. Bu Langga bilang butuh waktu sekitar 4-5 jam untuk mengubah air nira menjadi gula aren. Kemudian gula yang masih panas akan di tuang ke dalam cetakan bulat untuk di dinginkan agar mengeras. Sembari menunggu nira menjadi gula, aku pun bergegas mandi dan mengerjakan tugas utamaku datang ke tempat ini yaitu menulis. Rasanya terlampau banyak hal-hal luar biasa yang ku dapatkan selama berada di tempat ini, masih tersisa satu minggu lagi untukku menjelajahi kehidupan para nelayan di pulau Rote. bertemu dengan Pak Tolu adalah rejeki bagiku, selain mendapatkan keluarga baru, aku juga lebih mudah untuk bisa banyak bertanya tentang ini dan itu. Di sela-sela menulis, Bu Langga menyuguhkanku segelas teh jahe dan bubur jagung untuk di santap, agar lancar.

            “Ini dimakan dan diminum dulu, biar lancar menulisnya” ucap Bu langga

            “Terimakasih banyak Bu, ini apa Bu?” tanyaku

            “Ini teh jahe gula aren dan bubur jagung gula aren, ini gula aren yang kita buat tadi”jawab Bu Langga

            “Wah senangnya, bisa langsung dinikmati begini. Terimakasi banyak ya Bu, Pak.”Jawabku bahagia

“Sama-sama, ibu istirahat lebih dulu ya.” Ucap Bu Langga

“Iya Bu, silahkan. Bapak juga kalau mau istirahat, tidak apa-apa Pak” ucapku

“Iya sebentar lagi, menghabiskan teh jahe dulu” jawab bapak

“Oiya Pak, biar tubuh hangat” jawabku

            Alunan sasando mengalun dengan begitu hikmat, membawakan sebuah nada yang kupikir merupakan nada puji-pujian. Dan ternyata benar, Pak Tolu bilang, nada yang mengalun itu adalah syair lagu Ova Langga dan Manahello, syair puji-pujian untuk Sang Pencipta atas segala nikmat dan karunia yang telah diberikan.

            “Nadanya enak sekali di dengar, Pak.” Ucapku

            “Nada seperti ini memang hanya ada di syair puji-pujian saja, memang hikmat sekali”

            “Iya Pak, hikmat. Tapi alunan musiknya sepertinya berasal dari laut ya Pak” tanyaku

            “Iya, yasudah kita kesana saja, biar bisa menyaksikan matahari terbit, nanti kelewatan lagi” ucap Pak Tolu tersenyum

 Aku dan Pak Tolu bergegas menuju laut dengan membawa lawar ikan dalam porsi banyak yang dimasak Bu Langga pagi subuh tadi. Selain untuk menyaksikan matahari terbit, hari ini juga akan dilakukan tradisi syukuran warga desa sebelum bulan purnama menjelang. Hal ini dikarenakan jika bulan purnama datang, para nelayan tidak bisa melaut karena cahaya bulan yang terang membuat ikan-ikan enggan muncul ke permukaan, setiap purnama air laut juga akan pasang dan menyebabkan ombak tidak bersahabat untuk di ajak berlayar. Untuk itu para nelayan di desa ini mengadakan syukuran dengan makan bersama. Masing-masing nelayan membawa lauk dan nasinya untuk saling bertukar dengan yang lainnya. Kegiatan ini benar-benar mengandung makna yang luar biasa untukku.

            “Luar biasa” ucapku spontan ketika menyaksikan matahari terbit tepat di pelupuk mataku

“Ini gradasi terbaik yang pernah saya saksikan Pak” Sambungku

“Pancaran sinar matahari saat terbit memang selalu indah, Langsana . tidak semua orang bisa mendapatkan pancaran sinar yang sempurna, terkadang mereka yang sudah jauh-jauh datang kemari, justru menyaksikan sinarnya di langit yang mendung, tidak seperti saat ini. Bisa dikatakan, kamu beruntung” ucap Pak Tolu padaku

 “Ini akan menjadi cerita perjalanan yang takkan pernah saya lupakan Pak, berkat bapak dan ibu” jawabku

Alunan sasando yang masih dimainkan, membuat suasana pada hari itu benar-benar hikmat dan menyenangkan. Ku lihat dari jauh Bu Langga berjalan menuju tempat penduduk desa berkumpul di bibir pantai. Disana para penduduk desa yang bermata pencaharian sebagai nelayan tertawa sukacita sembari berbagi hidangan satu sama lainnya. Aku pun turut menikmati hidangan lain yang mereka suguhkan. Nanti malam adalah waktu dimana bulan akan muncul dengan sempurna, bulan purnama. Bulan dimana aku, Pak Tolu dan Bu Langga banyak berbincang tentang perjalanan hidup yang aku dan mereka lalui sejauh ini.

 Ada banyak sekali suka, duka, jatuh, bangun hingga rasa ingin menyerah yang terlontar dari bibir kami. Namun satu hal yang membuatku justru merasa sangat tertampar yaitu saat aku merasa begitu sepi dan biasa saja dengan hidup yang ku jalani. Pak Tolu dan Bu Langga justru ingin hidup seribu tahun lagi karena terlampau mensyukuri dan menikmati. Bukan tak ada yang dikeluhkan, bukan pula tak ada yang ingin di capai, namun satu-satunya cara mereka menikmati hidup sangatlah sederhana, cukup bangun di subuh hari, membuka pintu, membantu Bu Langga menghidupkan tungku, memanaskan air untuk menyeduh teh, kemudian melaut, pulang dengan selamat dan menyantap makan malam bersama.

Bukan uang yang dicari, tapi kenyamanan hidup dan masih diberi keberkahan untuk saling membersamai dalam kondisi apapun. Hal ini juga dilakukan oleh penduduk desa. Pak Tolu benar, menulis bukan caraku mencintai diri sendiri, namun caraku melarikan diri untuk tetap terlihat bahagia. Dari Pak Tolu aku banyak belajar bahwa perjalananku di wilayah paling selatan Indonesia adalah perjalanan yang membuatku menemukan jati diri, tulisan yang ku tuangkan tidak semata-mata hanya sebatas bacaan, namun pelajaran hidup untuk bisa lebih menghargai apa yang saat ini kita miliki.


HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun