Alunan sasando yang masih dimainkan, membuat suasana pada hari itu benar-benar hikmat dan menyenangkan. Ku lihat dari jauh Bu Langga berjalan menuju tempat penduduk desa berkumpul di bibir pantai. Disana para penduduk desa yang bermata pencaharian sebagai nelayan tertawa sukacita sembari berbagi hidangan satu sama lainnya. Aku pun turut menikmati hidangan lain yang mereka suguhkan. Nanti malam adalah waktu dimana bulan akan muncul dengan sempurna, bulan purnama. Bulan dimana aku, Pak Tolu dan Bu Langga banyak berbincang tentang perjalanan hidup yang aku dan mereka lalui sejauh ini.
 Ada banyak sekali suka, duka, jatuh, bangun hingga rasa ingin menyerah yang terlontar dari bibir kami. Namun satu hal yang membuatku justru merasa sangat tertampar yaitu saat aku merasa begitu sepi dan biasa saja dengan hidup yang ku jalani. Pak Tolu dan Bu Langga justru ingin hidup seribu tahun lagi karena terlampau mensyukuri dan menikmati. Bukan tak ada yang dikeluhkan, bukan pula tak ada yang ingin di capai, namun satu-satunya cara mereka menikmati hidup sangatlah sederhana, cukup bangun di subuh hari, membuka pintu, membantu Bu Langga menghidupkan tungku, memanaskan air untuk menyeduh teh, kemudian melaut, pulang dengan selamat dan menyantap makan malam bersama.
Bukan uang yang dicari, tapi kenyamanan hidup dan masih diberi keberkahan untuk saling membersamai dalam kondisi apapun. Hal ini juga dilakukan oleh penduduk desa. Pak Tolu benar, menulis bukan caraku mencintai diri sendiri, namun caraku melarikan diri untuk tetap terlihat bahagia. Dari Pak Tolu aku banyak belajar bahwa perjalananku di wilayah paling selatan Indonesia adalah perjalanan yang membuatku menemukan jati diri, tulisan yang ku tuangkan tidak semata-mata hanya sebatas bacaan, namun pelajaran hidup untuk bisa lebih menghargai apa yang saat ini kita miliki.