Mohon tunggu...
Ismail Holis
Ismail Holis Mohon Tunggu... 24107030150

Kehidupan diatur oleh kalian bukan orang lain

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Takbiran; Kesedihan bagi perantau ,kebahagian di Kampung Halaman

5 Juni 2025   21:35 Diperbarui: 5 Juni 2025   21:35 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto mekah di malam Hari 

Di tengah gema takbir dan bunyi petasan di malamLebaran yang menghiasi kota, terlihatlah kebahagiaan universal: jutaan orang mudik, berkumpul kembali dengan keluarga di kampung halaman untuk merasakan hangatnya hari raya ,tawa sanak saudara mulai ramai, dan persiapan baju baru sudah di tangan. Namun, di balik sukacita ini, ada kenyataan pahit bahwa kenikmatan yang seringkali tak disadari ini tidak dapat dinikmati oleh semua orang Di balik semarak kebahagiaan Lebaran, sebagian orang justru harus merayakan jauh dari keluarga. Mereka menahan rindu karena terpisah jarak dan keadaan, merayakan hari raya di perantauan.

Lebaran tahun ini di perantauan terasa sangat berbeda. Dulu, Lebaran kita selalu bersama orang tua dan keluarga di kampung. Sekarang, kita merayakannya bersama teman-teman baru. Perasaan kita campur aduk: senang menjajal hal baru di tempat asing, tapi di sisi lain juga sangat rindu keluarga di kampung. kita harus pandai mengatur emosi agar betah dan kuat menahan rindu tersebut

 Malam jum'at pada tanggal 5 juni 2025 kerinduan muncul sebagai perasaan paling kuat saat Lebaran di perantauan. Kita kangen pelukan ibu, tawa ayah, dan keramaian keluarga , Kita rindu rumah yang ramai sanak saudara, tempat berbagi cerita dan kebahagiaan. Melihat foto atau video kampung halaman di media sosial serasa menusuk hati, bikin mata perih menahan tangis.Bau opor ayam dari tetangga, lagu religi yang menenangkan, atau bahkan sekadar melihat keluarga lain mengadakan bakar- bakar sate , semua itu bisa membangkitkan rindu yang luar biasa. Ada rasa pahit menyadari bahwa hal-hal kecil yang dulu sering kita abaikan, kini terasa begitu berharga dan tidak bisa dinikmati. Seringkali, para perantau merasa sendiri di tengah keramaian kota yang Udara malamnya terasa dingin menusuk dalam hati. kebiasaan pada saat lebaran di kampung sering membantu Ibu memasak opor ayam, dan juga mebantu ayah menata hidangan di meja tamu . Sekarang, yang ada hanyalah keheningan kamar kos yang sempit dan sepi dan memikirkan apa yang di kerjakan ayah dan ibu.Dari seberang telepon, sayup-sayup terdengar suara riuh rendah, tawa renyah adik,dan Ayah yang menanyakan kabar. Tiap cerita tentang masakan Ibu dan kumpulnya saudara terasa menusuk hati ,mati-matian menahan tangis agar suara tak bergetar, lalu berkata lirih, "Aku baik-baik saja, Bu. Di sini juga seru,"sebuah kebohongan padahal menangis dalam hati dan menitiskan air mata.

Setelah menutup telepon, tangis pecah terisak dalam diam, menenggelamkan wajah ke bantal agar suara tangis tidak terdengar tetangga kos. Tiap sudut kamar terasa hampa, mengingatkan pada keceriaan rumah yang kini hanya bisa dibayangkan. Aroma masakan Lebaran dari kamar sebelah bukannya membangkitkan selera, malah menambah pedih rindu yang tak tertahankan.

Namun,Meski rasa rindu tidak berhenti kita sadari bahwa Lebaran di perantauan bukan hanya soal kesedihan. Justru, dalam keterbatasan, banyak cara untuk menciptakan kebersamaan. Mahasiswa, pekerja, atau bahkan sesama penghuni kos sering berinisiatif merayakan Lebaran bersama. Mereka patungan masak hidangan khas, shalat Id berjamaah di dekat sana, atau sekadar berkumpul untuk berbagi cerita dan saling menguatkan. momen ini menjadi kesempatan untuk menyembuhkan rasa rindu walaupun masih terbayang-banyang dan ini juga jesempatan kita untuk merasakan solidaritas antar perantau. Sehingga kita bisa memahami betul,bahwa semuanya ada di "kapal" yang sama, jauh dari keluarga,dengan Kebersamaan ini sering kali membentuk ikatan persaudaraan yang kuat, menciptakan keluarga baru di perantauan dan Pengalaman ini mengajarkan bahwa kebahagiaan tidak selalu harus sempurna seperti di rumah, tapi bisa ditemukan dalam hangatnya persahabatan dan dukungan satu sama lain.

Merayakan hari raya di perantauan itu penuh dilema. Di satu sisi, ada rindu mendalam akan kehangatan keluarga, tradisi, dan suasana rumah yang tiada ganti. Bau masakan khas, takbir yang akrab di telinga, atau sekadar melihat kebersamaan orang lain bisa memicu gelombang nostalgia yang menusuk hati. Seringkali, rasa sendiri muncul di tengah ramainya kota.

Namun, di sisi lain, pengalaman ini juga mengajarkan banyak hal. Meskipun terbatas dan jauh dari keluarga, perantau menemukan cara untuk menciptakan kebersamaan baru dan menjalin solidaritas erat. Mereka membentuk "keluarga" di tanah rantau, saling menguatkan, dan berbagi cerita. Momen ini membuktikan bahwa kebahagiaan tak harus sempurna seperti di kampung halaman, tapi bisa ditemukan dalam hangatnya persahabatan dan dukungan satu sama lain.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun