Mohon tunggu...
Alifis@corner
Alifis@corner Mohon Tunggu... Seniman Serius :)

Sebagaimana adanya, Mengalir Seperti Air | Blog : alifis.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Saat Isoman, Ditemani...

9 Juli 2021   03:42 Diperbarui: 10 Juli 2021   12:36 198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menjadi penyintas covid, seperti yang dirasakan anak saat ini, menjadi cobaan yang tidak ringan. Semuanya berpengaruh pada fisik dan psikis. Mental, spiritual bahkan kultural. Hmm. Atau ini fikiran serius ortu saja. Saya tidak sok tahu, tapi hanya membayangkan saja. Apa saja yang terjadi pada anak, saat isolasi mandiri (isoman). 

Sebagai ortu dalam situasi seperti ini, panik iya. Apalagi jauh domisili berada sebagaimana di tulisan pertama. Hari kedua setelah swab positif, saya meminta dukungan doa di WAG keluarga di Jawa sebagai salah satu cara menguatkan moril anak, saat kapanpun dia membacanya. Tapi tidak kepada Yangti, yang sejak kelas 1 SMA anak selalu didekatnya. Itu akan menjadi beban fikiran berat bagi Yangti, termasuk situasi makin runyam jika Yangti tiba-tiba berinisiatif sendiri, memaksakan diri ke Depok tanpa koordinasi.

Kami juga harus belajar cepat, terkait masa isolasi penyintas covid. Hal-hal yang harus diperhatikan baik penyintas sendiri, pemenuhan obat, vitamin, minuman serta asupan makanan termasuk cara kami sendiri dalam berkomunikasi dengan anak. Kami mungkin menjadi ortu yang kuat, cerewet dan sedikit otoriter dimata anak, tapi rapuh  dihadapan Allah SWT. Lebih-lebih dalam munajat kami. Setiap saat ibunya bisa saja terisak dalam gerak atau diamnya. Sesaat yang lain bisa begitu bersemangat memotivasi anak. 

Secara medis masih belum ada obat khusus covid semacam obat flu untuk influenza. Perilaku virus yang mudah menular jarak dekat inilah, yang memaksakan penyintas harus isolasi diri. 

Dalam benak kami, secara teori anak harus memaksakan diri secara fisik dan mental melawan kecenderungan tubuh yang nyeri, lemah, sesak dengan bantuan obat-obatan yang sesuai. Tetap menjaga asupan gizi dan air walau hambar tidak terasa apa-apa, bahkan jikapun sepahit empedu dan sehitam jelaga. 

Secara mental anak harus menguatkan diri, karena  jauh dari sanak saudara. Tidak berharap untuk dilayani. Harus swalayan. Seberat apapun. Kekuatan itu akan hadir dari keyakinan, kesabaran yang berproses. Ortu hanyalah deru angin yang sesaat membuat terjaga melalui suara atau chat WA. 

Malam sebelum test swab, tepatnya 27 Juni 2021 itu, anak sudah dipindah ke rumah berbeda. Berarti ini rumah kedua yang didiami. Masih milik orang budiman tersebut. Disana pindah bersama 2 teman yang laki-laki. 

Setelah test hasilnya positif, kami bertanya pada anak,

 "Trus bagaimana kelanjutannya nak?"

"Akan diantar di rumah lainnya lagi untuk isoman. Aku sendiri. Jika masih di rumah yang sama, terlalu beresiko untuk teman lainnya"

Menjelang malam itu anak di antar ke rumah yang ketiga. Rumah yang menurut anak juga masih milik orang budiman tersebut. Kami bersyukur ada orang baik dan berada merelakan rumah miliknya ditempati isoman. Pandemi ini menggugah empati dan simpati tanpa pandang bulu, memafhumi bahwa penyintas covid perlu dibantu.

Malam itu anak sendirian. Nikmatilah tafakkurmu nak. Engkau sudah besar. Engkau harus menempa kebesaran jiwamu dibalik besar tubuhmu. Mau tidak mau, sukarela atau terpaksa anak harus menjalaninya. Toh sudah terbiasa kos sendiri semenjak kuliah. Pasti mampu sekedar mengelola kegelapan, keheningan dan tanpa teman hadir menemani. Hanya kali ini ditambah dengan nyeri, pusing, sesak, lemas yang sepwnuhnya adalah ketidaknyamanan.

Setiba disana, potret keadaan dalam rumahnya dibagi ke kami. Seperti rumah aula. Satu ruang sedang tanpa kamar. Kata anak lokasi di dekat mushola atau masjid. Kamar mandi luar bergandeng dengan tempat wudlu jamaah. Kami lega.

Anak menyebutnya rumah kebun, karena mungkin disekelilingnya banyak tumbuh tanaman peliharaan. Tetapi dalamnya sangat layak. Ventilasi bagus, terbuka. Baik untuk isoman. 

Malam itu anak menikmati kesabarannya menahan nyeri menderu hadir di otot dan tulang. Kepala pusing tak tertahan. Demam panas dingin hadir tanpa diundang. Nafas sesak ditanggung sendirian. Badan lemas tak mampu dan tak kuasa untuk beringsut apalagi berjalan. Merasakan sendiri, jauh dari segalanya. Hanya angin malam dan mungkin semakin nelangsa rasa dijauhi teman, seperti pesakitan yang membahayakan. 

Malam pun lewat. Kami pun terlelap. Pagi dalam sujud subuh di masjid pun kutenggelamkan dahi dalam doa lebih lama.

"Ya Allah, pulihkanlah sehatnya tubuh ananda. Sembuhkan sakitnya. Kuatkanlah mental dan jiwanya untuk menerima cobaan ini dengan makin dekat padaMu"

Pagi itu tanggal 30 Juni 2021, Sapaan pertama kami adalah, 

"Bagaimana tadi malam lee, keadaannya ?"

"Tetap. tak ada perubahan. Sama dengan kemarin. Rasa makin hilang. tak mencium apa-apa". ini dikatakan dalam chat atau saat telfon dengan ibunya. 

Kemudian hari barulah saya faham, pertanyaan itu salah. Secara naluri fikiran anak yang sedang sakit, akhirnya bekerja untuk memerinci sakit-sakitnya. Itu berkontribusi negatif.

Hal itu semakin menyadarkan bahwa dirinya memang tengah sakit dan benar-benar sakit. Yang kami lupa, sembuh itu butuh proses. Harusnya kami lebih bijak dengan menggiring pikiran kepada hal yang jauh lebih positif. 

Begitulah, ortu pun dibelajarkan ilmu ilmu baru yang kadang terdengar sepele, tetapi sangat berdampak pada proses berfikir orang sakit. Psikologis dan kejiwaannya harus terus positif, yang ujung-ujungnya agar meningkatkan imun tubuh.

Lebih lanjut anak bilang,

"Tadi malam didatangi teman sekamar"

Jawabannya membikin kami terkesiap dan tak mampu berkata-kata. 

"Ya Allah, teman sekamar siapa? katanya sendiri?"

Segera jalan fikiran kami teringat dengan beberapa kejadian, pemudik bandel pulkam di masa pandemi, lalu diisolasi/ dikarantina di rumah kosong atau sekolah kemudian saat melalui keheningan malam,  lari tunggang langgang karena diganggu makhluk halus penghuni bangunan.

Untuk keadaan yang sama, saya dudukkan situasi anak. Anak tentu tidak mampu lari. Berdiri saja lemah, berteriak juga agak jauh dari sekitar. Dipaksa pun akan batuk-batuk duluan. Kasihan kau nak. Guman kami dalam hati. Yang terlontar akhirnya,

"Tapi tidak menganggu anak khan?"

Anak menjawab,"Ga ganggu kok !"

"Okelah, Alhamdulillah, lee"

Asal tidak menganggu, anggap saja sebagai teman. Walau saya sendiri tidak berfikir akan nyaman memiliki teman sejenis itu. Tanpa wujud saja terasa ganjil, apalagi ditampakkan jatidirinya. Ogah.

Yah, berpikir netral bahkan positif tentang sesuatu itu, perlu proses internalisasi yang agak rumit tapi taktis, sebagai bentuk penghiburan diri sekaligus pengalihan bahkan kompensasi dari situasi atau keadaan yang tidak lagi dikuasai. 

Kami tak menyinggung lagi tentang teman kamarnya yang mendatanginya malam itu. Otaknya terlalu rasional mungkin, tak menganggap serius hal-hal yang berbau halus.

Tapi akhirnya esok harinya kami tahu profilnya. Astaghfirullah !

Kami saja yang baper. Esoknya anak cerita profilnya. Bukan makhluk halus, tetapi sesama penyintas yang datangnya di tengah sunyinya malam. Salah satu pegawai dari orang budiman. Yang akhirnya menjadi teman seperjuangan.

300621
alifis@corner

[ KETIKA ANAK DISAPA DELTA ]

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun