Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Mohon Maaf, Saya Tidak Bisa Berhenti Merokok

8 Oktober 2021   19:25 Diperbarui: 8 Oktober 2021   19:38 666
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi merokok| dok. AFP dimuat kompas.com

Apakah mungkin seorang yang dari dulu hingga sekarang menetap di kampungnya sendiri untuk pulang kampung? 

Ya, tentu tidak mungkin. Yang namanya pulang kampung itu, harus merantau dulu, baru pada momen tertentu pulang ke kampungnya.

Tidak heran, teman saya yang orang asli Betawi, begitu suatu kali saya ajak mudik lebaran ke kampung saya di Payakumbuh, Sumbar, ia terlihat sangat menikmati.

Tapi, tetap saja teman saya itu tidak bisa disebut pulang kampung, karena ia bepergian ke kampung temannya.

Nah, mungkin tidak terlalu tepat, tapi begitulah saya menganalogikan kenapa saya membuat judul seperti terbaca di atas.

Jadi begini, karena saya bukan perokok, jelas kalau saya disuruh berhenti merokok, saya mohon maaf karena tidak bisa.


Logika saya, saya harus jadi perokok dulu, meskipun barang beberapa hari, baru boleh diminta berhenti merokok.

Sebetulnya, waktu sekolah dulu saya pernah coba-coba merokok, tapi saya tidak tahan dan batuk-batuk.

Lalu, seorang teman akrab saya yang memang perokok, menasehati saya agar tidak usah merokok kalau memang malah jadi menyiksa.

Herannya, saya sering jalan bareng dengan teman saya itu karena ia teman ngobrol yang asyik. Ia ngobrol sambil menghisap rokok, saya ngobrol tanpa merokok.

Nah, sejak itu saya tidak mau  mencoba merokok lagi, meskipun saya tidak terganggu dengan asap rokok teman-teman saya.

Belakangan setelah saya tahu betapa berbahayanya jadi perokok pasif karena sering dekat-dekat teman yang perokok, saya mulai menjaga jarak dengan para perokok.

Bagusnya, sejak tahun 2000, seiring dengan penerapan budaya kerja baru di kantor tempat saya bekerja, pekerja (termasuk juga tamu) sama sekali tidak boleh merokok di dalam gedung. 

Mereka yang tak tahan untuk merokok, terpaksa keluar untuk membakar rokoknya sambil duduk di bangku taman di belakang gedung.

Memang, demi kebersihan lingkungan dan kenyamanan bersama, para ahli isap harus dipersempit ruang geraknya.

Tapi, justru karena ruang gerak yang terbatas itu, hanya di ruang kecil di restoran dan executive lounge, sesama perokok terlihat semakin kompak. Tentu karena mereka merasa senasib. 

Kembali ke alasan saya tidak merokok, saya tidak mengaitkannya dengan kesehatan atau penghematan uang.

Alasan saya sangat sederhana, karena saya sama sekali tidak bisa merasakan di mana enaknya sebatang rokok.

Dari pengamatan saya sekilas, profil perokok itu tidak bisa dipetakan karena mewakili semua golongan, dari anak-anak hingga kakek-kakek.

Rokok katanya lambang kejantanan, tapi lelaki perokok yang "melambai" juga ada.  Kaum hawa juga tidak sedikit yang kecanduan.

Apalagi jika berbicara profesi, semua jenis profesi punya wakil di kelompok smokers.

Dari pejabat hingga pemulung, dari uztad hingga preman, dari musisi hingga peneliti, ada saja yang harus merokok dulu, baru bersemangat untuk bekerja.

Perokok katanya identik dengan tingkat kesehatan yang buruk. Kenyataannya, ada saja yang jadi pengecualian, yakni perokok yang sehat dan panjang umur.

Kata orang, merokok itu membakar uang, sangat boros dan mubazir. Tapi, perokok yang sejahtera lumayan banyak, dan yang tidak merokok namun miskin juga banyak.

Saya teringat sebuah cerita ketika seorang tenaga medis senior terlibat pembicaraan dengan seorang lelaki yang sangat kecanduan merokok.

"Sudah berapa lama Anda merokok?" tanya si tenaga medis.

"Sekitar 25 tahun," jawab si perokok.

Kemudian, setelah mengetahui berapa bungkus rokok yang dihabiskan si lelaki perokok per hari, tenaga medis tersebut dengan yakin mengatakan bahwa nilai uang yang "dibakar" lelaki itu sudah senilai sebuah hotel.

Lelaki itu balas bertanya sudah berapa lama si tenaga medis bekerja? Ternyata juga sudah sekitar 25 tahun.

"Apakah Anda sudah punya hotel?" tanya si lelaki perokok.

Si tenaga medis menggeleng dan mengatakan cicilan rumah yang ditinggalinya baru saja lunas.

Dari cerita di atas, si perokok boleh saja merasa menang dan merasa kebiasaannya tidak membuatnya miskin.

Apalagi, kalau seorang perokok tengah ngobrol dengan temannya saat melayat kerabatnya yang baru meninggal.

Yang meninggal tersebut diketahui sangat anti rokok. Si perokok dengan bangga mengatakan, ia karena merokok justru merasa sehat dan kuat.

Kesimpulannya, sulit memang meminta seseorang berhenti merokok, hingga mereka menemukan momen tertentu yang membuat mereka "hijrah".

Maka, bagi yang tidak bisa menemukan sisi enaknya merokok seperti saya, ya udah, tak usah lagi penasaran. 

Soalnya, jika mencoba lagi dan mencoba lagi, pasti masuk perangkap.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun