Belakangan setelah saya tahu betapa berbahayanya jadi perokok pasif karena sering dekat-dekat teman yang perokok, saya mulai menjaga jarak dengan para perokok.
Bagusnya, sejak tahun 2000, seiring dengan penerapan budaya kerja baru di kantor tempat saya bekerja, pekerja (termasuk juga tamu) sama sekali tidak boleh merokok di dalam gedung.Â
Mereka yang tak tahan untuk merokok, terpaksa keluar untuk membakar rokoknya sambil duduk di bangku taman di belakang gedung.
Memang, demi kebersihan lingkungan dan kenyamanan bersama, para ahli isap harus dipersempit ruang geraknya.
Tapi, justru karena ruang gerak yang terbatas itu, hanya di ruang kecil di restoran dan executive lounge, sesama perokok terlihat semakin kompak. Tentu karena mereka merasa senasib.Â
Kembali ke alasan saya tidak merokok, saya tidak mengaitkannya dengan kesehatan atau penghematan uang.
Alasan saya sangat sederhana, karena saya sama sekali tidak bisa merasakan di mana enaknya sebatang rokok.
Dari pengamatan saya sekilas, profil perokok itu tidak bisa dipetakan karena mewakili semua golongan, dari anak-anak hingga kakek-kakek.
Rokok katanya lambang kejantanan, tapi lelaki perokok yang "melambai" juga ada. Â Kaum hawa juga tidak sedikit yang kecanduan.
Apalagi jika berbicara profesi, semua jenis profesi punya wakil di kelompok smokers.
Dari pejabat hingga pemulung, dari uztad hingga preman, dari musisi hingga peneliti, ada saja yang harus merokok dulu, baru bersemangat untuk bekerja.