Mohon tunggu...
Irvan Kurniawan
Irvan Kurniawan Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis untuk perubahan

Pemabuk Kata

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Gibran, Romantisme Jokowi Effect yang Direka Ulang?

1 Agustus 2020   21:25 Diperbarui: 2 Agustus 2020   07:42 839
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bakal Calon Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka tiba di Kantor DPP PDI-P, Menteng, Jakarta, Senin (10/2/2020). Gibran datang untuk menjalani fit and proper test atau uji kelayakan dan kepatutan sebelum maju menjadi calon Wali kota pada Pilkada Solo 2020 (ANTARA FOTO/GALIH PRADIPTA via KOMPAS.com)

Jika melihat rekam jejak Gibran, sesungguhnya ia belum layak dinobatkan sebagai kader. Menjadi seorang kader bukanlah perkara gampang dalam partai. Gibran sendiri baru bergabung di PDIP pada September 2019 lalu.

Pada saat yang sama, sudah banyak kader-kader partai yang 'mengantre' untuk berkesempatan melanjutkan estafet kepemimpinan di Solo. Proses kaderisasi yang telah dijalani kader-kader lain pun tercoreng akibat embel-embel nama besar Jokowi dan tentu mengganggu iklim kaderisasi partai.

Pada akhirnya, proses penggemblengan kader dikalahkan oleh popularitas yang bermuara pada pragmatisme politik. Kalau begitu untuk apa susah-susah jadi kader? Tinggal perbanyak saja kunjungan ke pasar, bersih-bersih got, dan makan di warteg, sudah bisa menghipnotis rakyat. 

Saya sebetulnya yakin, dengan memborong 30 kursi dari total 45 kursi di DPRD Solo, peluang PDIP untuk menang Pilkada tanpa ekor jas Jokowi, sangat besar. Artinya, tanpa harus mencalonkan Gibran, PDIP bakal menang lagi.

Lalu fenomena apa sebenarnya yang bisa dibaca dari pencalonan Gibran? Mungkinkah Gibran akan dipersiapakan untuk menggantikan ayahnya pada Pilpres 2024 mendatang?

Romantisme Jokowi Effect
Selain menegaskan pragmatisme politik sebagaimana yang sudah diuraikan di atas, hemat saya pencalonan Gibran adalah nostalgia jejak kekuasaan Jokowi yang coba diulang kembali dalam karakter Gibran. 

Kemenangan berturut-turut Jokowi dalam Pilkada Solo, Pilgub DKI 2012, Pilpres 2014, dan 2019 tidak terlepas dari Jokowi Effect sebagai branding utama yang sudah ditanam dalam persepsi publik.

Harus jujur diakui, bahwa kemenangan PDIP dan partai pendukung lainnya dalam pileg juga tidak terlepas dari efek tersebut. Para elite partai maupun think tank Jokowi masih sangat yakin bahwa Jokowi Effect masih tertanam dalam persepsi massa rakyat. Lalu, apa sebenarnya citra dan reputasi Jokowi yang masih kuat melekat? 

Pertama, Jokowi dipersepsikan sebagai simbol pemimpin rakyat. Ia lahir dari bawah (bukan elite partai apalagi anak ketum partai). Citra dan reputasi ini kemudian menguat dengan gaya blusukan Jokowi yang berhasil menyentuh emosi rakyat.

Tak hanya itu, gaya bicara, berdandan dan berpakaiannya pun ikut mendukung narasi tersebut. Terlepas dari kemampuannya yang diragukan banyak orang bahkan dicap sebagai pemimpin boneka, namun kenyataan rakyat suka bahkan cinta mati sama Jokowi. Pengamat politik Boni Hargens bahkan menyebut keterpilihan Jokowi bukan hanya elektabilitas tetapi juga loveabilitas.

Kedua, dari Pilkada DKI jilid 1 dan 2 sampai Pilpres 2014 dan 2019, narasi yang dimainkan nyaris sama. Bedanya, sejak Ahok mencalonkan diri hingga puncaknya pada pilpres 2019, sangat kental dengan isu SARA dan radikalisme.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun