Mohon tunggu...
Dian S. Hendroyono
Dian S. Hendroyono Mohon Tunggu... Freelancer - Life is a turning wheel

Freelance Editor dan Penerjemah Kepustakaan Populer Gramedia | Eks Redaktur Tabloid BOLA | Eks Redaktur Pelaksana Tabloid Gaya Hidup Sehat | Eks Redaktur Pelaksana Majalah BOLAVAGANZA | Bekerja di Tabloid BOLA Juli 1995 hingga Tabloid BOLA berhenti terbit November 2018

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Tantangan Qatar untuk Dunia Arsitektur

22 November 2022   11:17 Diperbarui: 23 November 2022   08:00 1899
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Stadion Lusail, yang menjadi stadion utama di Piala Dunia 2022. (Sumber: KIRILL KUDRYAVTSEV/AFP via Getty Images) 

Ketika Qatar mendapat tugas untuk menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022, pada 2 Desember 2010, dunia rancang bangun pun kebagian peran, peran yang penting: merancang dan membangun stadion yang akan dipakai selama Piala Dunia digelar.

Dengan bentuk stadion yang lain daripada yang lain, mewah namun efisien dari sisi penggunaan energi dan membuat orang yang ada di dalamnya tetap merasa sejuk, sudah pasti Qatar tidak sembarang memilih firma arsitektur untuk merancangnya.

Uniknya, pada awalnya Piala Dunia 2022 masih direncanakan untuk digelar pada musim panas, sehingga biro arsitek yang ditunjuk untuk merancang stadion harus bisa menjawab tantangan untuk membuat arena open-air sekaligus melindungi penonton dan para pemain dari suhu lebih dari 40 derajat Celsius selama Juni dan Juli.

Mendesain dan membangun banyak stadion di sebuah negara dengan temperatur musim panas bisa melejit melebihi 40 derajat Celsius, hampir 50 derajat, adalah tantangan yang membuat para pekerjanya, dari level manapun, menjadi berkeringat deras.

Setiap stadion dirancang dan diawasi oleh firma-firma arsitektur dunia yang sebagian besar bukan nama asing dalam hal membangun stadion sepak bola dan gedung-gedung megah lainnya.

Kebanyakan dari firma itu khawatir dengan keselamatan para pemain dan penonton. Namun, untuk Qatar, sebuah negara yang termasuk 10 besar terkaya di dunia, bukanlah perkara berat.

Petunjuk awal kepada para arsitek adalah bangunlah sebuah stadion yang bisa menggelar pertandingan sepak bola di bawah langit tetrbuka pada pukul 2 siang. Itu adalah waktu di mana sinar matahari masih bersinar terang.

“Dilihat dari fisik stadion, rasanya mustahil untuk bisa diatasi,” kata direktur Zaha Hadid Architects, Jim Heverin, seperti dikutip dari situs Building. Biro arsitek itu merancang Stadion Al Janoub di Al Wakrah.

Memang sudah ada desain yang menyertakan pendingin udara di tiap stadion, namun pada musim panas, pendingin udara terkuat pun akan tersingkir oleh angin padang pasir yang panas.

Belum lagi ada yang namanya shamal, badai pasir yang sangat kuat dengan kecepatan hingga 70 km per jam. Badai pasir itu bisa menutupi semua yang dilewati dengan pasir, menyebabkan bandara harus menunda penerbangan dan fasilitas publik harus ditutup.

Mendengar tentang panasnya Qatar selama Juni dan Juli, FIFA lantas membentuk sebuah gugus tugas yang memikirkan kemungkinan jadwal Piala Dunia 2022 digeser menjadi musim gugur mendekati musim dingin.

Gugus tugas itu lantas memberi proposal untuk menggelar Piala Dunia 2022 pada November. Proposal itu diajukan pada 24 Februari 2015. Jadi, bukan Qatar yang mengusulkan untuk menggelar Piala Dunia 2022 pada November, melainkan FIFA.

Jadwal baru itu menjadi kontroversi, karena mengganggu gelaran liga-liga domestik di seluruh dunia. Setelah mempertimbangkan banyak hal, akhirnya diputuskan pada 19 Maret 2015, bahwa final Piala Dunia 2022 akan digelar pada 18 Desember. Tinggal hitung mundur untuk mendapatkan hari pembukaan dan didapatlah 20 November.

Ketika para arsitek mendapat berita bahwa bulan penyelenggaraan diundur menjadi November, mereka merasa sedikit lega. Sedikit, sebab pada November, matahari masih menyinari Qatar dengan cerah ceria dan suhu mencapai 30 derajat.

Karena itu, pendingin udara masih tetap dipasang di tiap stadion. Apalagi tuan rumah masih ingin memakai beberapa stadion setelah turnamen kelar dan kebanyakan kegiatan akan digelar pada musim panas. Jadi, tantangannya masih sama: Arena terbuka di mana para pemain dan penonton terlindung dari cuaca panas.

Ada satu hal yang mengejutkan. Supreme Committee for Delivery and Legacy, sebuah organisasi yang mewakili Qatar sebagai klien dan bertugas mengawasi semua pengerjaan stadion, tidak mengizinkan tim proyek berdiskusi satu sama lain. Arsitek, para insinyur, dan kontraktor hanya diizinkan untuk berbicara dengan klien, yaitu organisasi itu. Selain itu, mereka juga tidak boleh membagi hasil penelitian yang dilakukan tentang bagaimana cara membuat stadion-stadion itu bersuhu sejuk.

“Klien paham bahwa tidak ada cara untuk menyelesaikan masalah, selain dengan memasang atap tertutup di setiap stadion. Namun, saya rasa mereka juga ingin tahu solusi apa yang ditawarkan oleh tiap tim arsitek,” kata Dipesh Patel, ketua BDP Pattern, yang memimpin desain dua stadion, Stadion Ahmad Bin Ali dan Stadion Education City, keduanya di Al Rayyan.

“Mereka ingin setiap firma memiliki ide tersendiri. Mereka ingin semua memiliki cara untuk menyelesaikan masalah dan tidak terpengaruh oleh cara tim lain,” kata Heverin.

Hasilnya, meski semua memakai sistem pendingin udara, namun tiap stadion memiliki cara tersendiri untuk mengurangi efek panas. Misalnya Stadion Al Janoub rancangan Zaha Hadid Architects. Fasad bergelombang didesain agar angin tak langsung mengenai atap stadion yang terbuka. Stadion juga tertutup dengan panel aluminium untuk memantulkan sinar matahari.

Stadion Iconic Lusail, yang menjadi centerpiece di mana final Piala Dunia 2022 akan diselenggarakan, bagian depan stadion dipenuhi dengan ribuan lubang-lubang berbentuk segitiga, yang menjadi ventilasi udara di tribun atas.

Teknologi pendinginan udara menjadi elemen utama untuk mendapatkan udara sejuk di semua stadion, meski semua tim arsitek berusaha untuk mengurangi penggunaannya dengan inovasi desain, seperti yang telah disebutkan beberapa contohnya.

Berikut ini adalah perancang setiap stadion yang digunakan selama Piala Dunia di Qatar.

Stadion Ahmad Bin Ali (di Al Rayyan) oleh BDP Pattern

Pattern didirikan pada 2009 dan menjadi bagian dari BDP pada 2021. Sekarang, BDP Pattern menjadi salah satu firma terdepan dalam hal rancang bangun stadion.

BDP Pattern memakai inspirasi dari padang pasir dan karya seni tradisional lokal untuk stadion berkapasitas 40.000 itu. Di bagian eksterior, feature paling menonjol adalah kisi-kisi berbentuk cadar raksasa yang juga berfungsi sebagai peneduh dari sinar matahari.

Ada lima pola di kisi-kisi itu, termasuk pola perisai, atau Dirau, yang merupakan simbol pertarungan terkenal yang terjadi pada 1893, di mana Keluarga Al-Thani, penguasa Qatar saat ini, mengalahkan Kekaisaran Ottoman. Kebanyakan orang Qatar menganggap kemenangan itu sebagai awal dari negara modern. Pola lainnya adalah mawar padang pasir, yang menjadi ornamen di tenda-tenda dan rumah kaum Badawi.

Menurut perancangnya, desain itu juga menggambarkan “fatamorgana dan halimun, flora dan fauna, serta metode navaigasi astronomi tradisional”. Masterplan termasuk fasilitas latihan sepak bola dan tempat terbuka publik berukuran besar, menghasilkan sebuah “karavan atau petualangan” di lansekap padang pasir.

Stadion Ahmad Bin Ali (Anthony Dibon/Icon Sport via Getty Images)
Stadion Ahmad Bin Ali (Anthony Dibon/Icon Sport via Getty Images)

Stadion Al Bayt (di Al Khor) oleh Dar Al-Handasah

Dar Al-Handasah didirikan oleh empat profesor dari American University di Beirut pada 1956 sebagai firma teknik arsitektur. Sekarang telah berkembang menjadi biro konsultasi desain multidisiplin dengan cabang-cabang di Timur Tengah, Eropa, dan Afrika.

Seperti desain yang dibuat oleh Fosters dan Zaha Hadid Architects, Stadion Al Bayt juga mengambil inspirasi dari budaya lokal. Meski demikian, referensi tak terlalu abstrak dan lebih harafiah, yang menghasilkan sebuah stadion yang berbentuk tenda raksasa.

Tenda bayt al sha’ar biasa dipakai oleh kaum nomaden di Qatar dan di Jazirah Arab pada umumnya. Stadion Al Bayt menerima rating lima bintang untuk desain dan konstruksi dari Global Sustainability Assessment System (GSAS). GSAS dipakai untuk menilai bangunan dan infrastruktur yang dibangun secara spesifik untuk Timur Tengah dan utara Afrika. Pada 2016, disetujui untuk dipakai sebagai standar penilaian untuk Pala Dunia 2022.

Stadion Al Bayt (Julian Finney/Getty Images)
Stadion Al Bayt (Julian Finney/Getty Images)

Stadion Al Janoub (di Al Wakrah) oleh Zaha Hadid Architects bersama Aecom

Menggairahkan dan mudah dikenali, Stadion Al Janoub barangkali adalah stadion paling menarik dibanding stadion lain. Zaha Hadid, atau yang bernama lengkap Dame Zaha Mohammad Hadid, oleh The Guardian dijuluki sebagai “ratu lengkungan”. Stadion ini dirancang sebelum ia wafat pada 31 Maret 2016, bersama Patrick Schumacher.

Saat ini, stadion ini masih berkapasitas 40.000 penonton. Namun, setelah Piala Dunia kelar, memasuki legacy mode, kapasitas dikurangi menjadi 20.000.

Stadion ini berlokasi di kota pesisir Al Wakrah, yang membuat klien meminta sebuah desain yang berbau kehidupan di laut. Zaha Hadid Architects (ZHA) mengambil inspirasi dari bentuk lambung kapal tradisional dhow, sebuah tipe kapal yang dipakai para pedagang Arab.

Intisari dari rancangan itu adalah sebagai berikut: “Desain atap stadion adalah penggambaran abstrak lambung-lambung dhow terbalik dan disatukan menyajikan perlindungan dan naungan. Ini ditunjukkan melalui geometri stadion, material yang detail dan pilihan, termasuk struktur tiang atap yang memiliki kemiripan dengan struktur bagian dalam lambung dhow”.

Stadion dilengkapi dengan atap seberat 378 ton yang bisa dibuka dan ditutup dan, seperti semua stadion lain, ventilasi di bawah kursi untuk pendingin udara, memungkinkan stadion ini dipakai sepanjang tahun.

Stadion Al Janoub (David Ramos/Getty Images)
Stadion Al Janoub (David Ramos/Getty Images)

Stadion Al Thumama (di Doha) oleh Ibrahim M. Jaidah bersama Heerim

Stadion Al Thumama didesain oleh Ibrahim M. Jaidah, arsitek utama Arab Engineering Bureau, sebuah konsultan desainer asal Oman yang didirikan pada 1971. Seperti halnya dengan desain beberapa stadion lain, stadion ini juga memiliki referensen karya seni Arab tradisional. Kali ini, inspirasi itu berasal dari “gahfiya”, topi putih yang biasa dipakai kaum pria di Jazirah Arab. Saya pikir istilah bahasa Indonesia untuk “gahfiya” adalah kopiah alias peci. Tolong beri tahu kalau saya salah, ya.

Jaidah menyatakan bahwa desain yang dibuatnya tidak hanya menggambarkan Qatar, tapi juga seluruh Jazirah Arab. “Di budaya kami, gahfiya adalah bagian penting dari seorang anak laki-laki menuju masa dewasa,” kata Jaidah.

Hasilnya adalah Al Thumama berbentuk seperti topi raksasa, dikelilingi taman seluas 50.000 meter persegi, berisi 400 pohon. Ketika Piala Dunia kelar nantinya, 20.000 dari 40.000 kursi akan dilepas sebagai tanda bahwa Stadion Al Thumama memasuki legacy mode.

Stadion Al Thumama (Pablo Morano/BSR Agency/Getty Images)
Stadion Al Thumama (Pablo Morano/BSR Agency/Getty Images)

Stadion Education City (di Al Rayyan) oleh Fenwick Iribarren bersama BDP Pattern

Stadion ini awalnya dirancang oleh firma arsitektur Spanyol, Fenwick Iribarren. Namun, ketika klien (Qatar) mengubah rute pengadaan menjadi desain dan membangun, desain akhir dan implementasi proyek ini diserahkan ke BDP Pattern. Meski bentuk stadion sebagian besar tak berubah, namun BDP Pattern mengurangi ukurannya.

Fenwick Iribarren mengerjakan dua stadion lainnya, dan BDP Pattern juga merancang Stadion Ahmad Bin Ali. Kontras dengan Ahmad Bin Ali, yang memiliki fasad yang ringan dan lebih banyak “pori”, maka Education City lebih “berotot”. Bagian luarnya tidak aneh-aneh dibanding stadion-stadion lainnya. Education City jelas adalah stadion dengan arsitektur yang lebih koheren, dengan garis-garis yang jelas dan desain yang tak rumit.

Setelah Piala Dunia selesai, kapasitas akan dikurangi dari 40.000 menjadi 20.000. Dan, stadion akan digunakan oleh cabang-cabang olahraga lain dan juga dipakai oleh institusi pendidikan sebagai bagian dari kampus Education City.

Lalu, 20.000 kursi yang dilepas akan disumbangkan dan dipakai ulang untuk stadion baru di negara berkembang.

BDP Pattern mengatakan bahwa stadion ini awalnya dirancang sebagai “berlian yang berkilau”. Namun, bentuk akhirnya malah lebih mirip bangunan industri atau di film-film fisik ilmiah ketimbang batu permata.

Stadion Education City (Christian Charisius/picture alliance via Getty Images)
Stadion Education City (Christian Charisius/picture alliance via Getty Images)

Stadion Khalifa International (di Al Rayyan) oleh Dar Al-Handasah bersama Fenwick Iribarren

Stadion ini pertama kali diresmikan pada 1976. Desain aslinya adalah tempat terbuka dengan sedikit atap atau pelindung di atas tribun-tribun. Stadion ini pernah menjalani renovasi pada 2005 untuk persiapan Asian Games 2006.

Lalu, untuk Piala Dunia 2022, renovasi diawasi oleh Dar Al-Handasah bersama Fenwick Iribarren Architects, sebuah firma asal Spanyol dengan portfolio mengesankan dalam hal stadion sepak bola.

Dari sudut pandang arsitektur, stadion ini memiliki desain yang paling tak ambisius. Para arstitek terbentur pada struktur yang sudah ada. Namun, tetap saja ada perbedaan antara desain lama dan baru, terutama di bagian dalam, di mana terdapat atap bergelombang yang menciptakan ketenangan.

Ada satu tingkat yang ditambahkan di stadion, menambah 12.000 kursi. Sehingga, kapasitas total menjadi 40.000 penonton.

Stadion Khalifa International (Simon Stacpoole/Offside/Offside via Getty Images)
Stadion Khalifa International (Simon Stacpoole/Offside/Offside via Getty Images)

Stadion Lusail (di Lusail) oleh Foster+Partners

Stadion ini adalah venue centrepiece untuk Piala Dunia 2022. Berlokasi di Lusail, kota baru yang berkembang dengan cepat yang direncanakan bisa menampung penduduk hingga 450.000, stadion ini berkapasitas 80.000 dan akan dipakai untuk 10 pertandingan, termasuk laga final pada 18 Desember 2022.

Fosters tidak dikenal sebagai perancang stadion. Hasil sebelumnya, yang bisa dibilang terkenal, adalah Stadion Wembley di London, yang lebih mirip tumpukan baja. Wembley didesain bersama Populous (dulu HOK Sport). Fosters dan Populous bergabung lagi di Qatar, namun dengan hasil lebih memuaskan.

Lusail dirancang dengan bebas, mungkin karena dibangun di lokasi yang masih kosong, tidak ada ikatan sejarah dan infrastruktur lama. Fosters sepertinya telah belajar banyak sejak Wembley. Lusail adalah stadion yang elegan. Kalau Wembley terasa terpecah-pecah, tidak menyatu, maka Lusail tampak lebih utuh.

Lusail mengambil tema mangkuk logam khas Arab. Menurut Luke Fox, Kepala Studio di Fosters+Partners, ambisi mereka adalah menciptakan sebuah stadion yang megah namun sederhana, yang lebih merefleksikan fungsinya dan bisa sesuai dengan cuaca Qatar.

Di bagian luar, bentuk seperti mangkuk itu dibungkus dengan panel aluminium berwarna emas yang menjadi pelindung bagian dalam, juga tetap bisa mendapat cahaya alami. Melayang di atas stadion adalah atap jaringan kabel berdiameter 307 meter, salah satu atap terbesar di dunia. Atap ini tidak membutuhkan tiang, karena diikat oleh jaringan kabel menuju ke bukaan atap di tengah.


Stadion 974 (di Doha) oleh Fenwick Iribarren

Tampak dalam stadion ini biasa saja, seperti stadion umumnya. Namun, kisah yang berbeda menyelimuti bagian luarnya. Dibangun dekat dengan pesisir Doha di Teluk Persia, Stadion 974 adalah stadion temporer pertama yang pernah dibangun untuk Piala Dunia. Sebelumnya, stadion sementara seperti ini hanya ada di benak para arsitek, namun Piala Dunia 2022 menyajikannya.

Dinding luar stadion ini terdiri dari 974 peti kemas, seperti namanya, yang juga merupakan kode telepon international Qatar. Peti kemas dipakai oleh Fenwick Iribarren seperti halnya peti kemas di pelabuhan. Sebagian dari peti kemas yang dipakai disulap menjadi toilet dan keperluan hospitality.

Setelah Piala Dunia selesai, stadion ini akan dibongkar dan kursinya akan dikirimkan (bersama kursi-kursi dari Stadion Education City) untuk dipakai kembali di stadion baru di negara berkembang.

Meski sudah direncanakan untuk menghilang secara permanen, namun Stadion 974 akan menjadi bagian kenangan para suporter ketika mereka berada di Qatar selama Piala Dunia.

Stadion 974 (Christian Charisius/picture alliance via Getty Images)
Stadion 974 (Christian Charisius/picture alliance via Getty Images)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun