Baru-baru ini kasus penyalahgunaan obat setelan kembali ditemukan oleh BPOM dan Balai Besar POM Serang di area Cilegon, Banten. Temuan penyalahgunaan obat setelan ini dilakukan oleh sebuah apotek dengan membuka obat dari kemasan aslinya, kemudian obat-obat tersebut dikemas kembali dalam sebuah plastik klip.
Kasus obat setelan ini sebetulnya tidak bisa disebut fenomena baru karena beberapa tahun belakangan kasus obat setelan memang sudah menjadi satu polemik yang cukup disoroti. Meski demikian, mungkin belum banyak orang yang mengetahui atau pernah mendengar istilah obat setelan ini, karena biasanya obat setelan diedarkan di daerah pedesaan atau pinggiran kota besar.
Jika obat setelan merupakan obat yang dikeluarkan dari kemasan aslinya, lalu mengapa tindakan tersebut dianggap sebagai penyalahgunaan? Apa sebetulnya obat setelan itu dan apakah obat setelan berbahaya bagi kesehatan? Mari kita bahas satu per satu.
Sekilas tentang Obat Setelan
Sebetulnya terminologi obat setelan bukanlah istilah baku yang sudah disepakati dalam dunia kefarmasian. Namun obat setelan didefinisikan secara tidak resmi sebagai bentuk penyajian obat yang umumnya berisi campuran beberapa jenis obat dalam berbagai sediaan berupa pil, tablet, atau kapsul yang dikemas dalam satu plastik dengan klaim sebagai obat yang dapat menyembuhkan penyakit tertentu seperti, nyeri, sakit gigi, demam, alergi, dan lainnya. Selain itu untuk saat ini BPOM memasukkan obat setelan dalam kategori obat palsu.
Baca juga: Hati-hati, Yuk Kenali Ciri Obat Ilegal/Palsu.
Ada dua jenis obat setelan yakni obat setelan bermerek dan obat setelan tidak bermerek. Kombinasi obat ini biasanya dikemas dalam satu plastik klip, dengan atau tanpa kemasan aslinya.Â
Obat setelan tidak bermerek biasanya tidak mencantumkan informasi nama produk, komposisi, nomor izin edar (NIE) produk, aturan pakai, nomor bets dan tanggal kedaluwarsa. Sementara obat setelan bermerek biasanya berupa gabungan beberapa jenis obat dengan kemasan/penandaan yang belum disetujui oleh BPOM yang dibungkus dalam satu plastik.
Kombinasi obat setelan ini tidak sedikit yang mengandung obat keras yang seharusnya diperoleh berdasarkan resep dokter. Beberapa contoh kombinasi obat setelan misalnya:
- Obat demam/meriang: Paracetamol, Methampyrone, Vitamin B Kompleks
- Obat pegal linu: Piroxicam, Dexamethasone, Allopurinol, Vitamin B1
- Obat asam urat: Piroxicam, Natrium Diklofenak, Asam Mefenamat, Dexamethasone
- Obat sakit gigi: Kalium Diklofenak, Methampyrone, Dexamethasone, Ciprofloxacin
- Obat batuk pilek: Cefadroxil, Paracetamol, Chlorpheniramine Maleate
Peredaran obat setelan banyak ditemukan di tempat-tempat yang mudah dijangkau oleh masyarakat seperti warung atau toko-toko yang bukan merupakan sarana distribusi obat resmi, hingga platform e-commerce. Sarana distribusi/pelayanan farmasi resmi yang dimaksud misalnya toko obat, apotek, atau rumah sakit. Harga jual obat setelan juga terbilang murah yakni berkisar Rp. 10.000 - Rp. 25.000 dan dapat diperoleh tanpa harus disertai resep dokter.
Jika apotek merupakan sarana resmi, lalu bagaimana dengan kasus obat setelan yang ditemukan di apotek tadi? Penyalahgunaan obat setelan yang ditemukan pada apotek seperti pada kasus di atas, merujuk pada tindakan mengeluarkan obat-obat dari kemasan aslinya dan mengemasnya kembali (repacking) dalam sebuah plastik klip.Â
Sejauh pemahaman penulis terhadap regulasi terkait produksi dan peredaran obat, hal yang dilakukan apotek ini dianggap ilegal karena beberapa alasan antara lain:
1. Sarana apotek tidak diperbolehkan melakukan aktivitas repacking. Proses repacking produk obat yang sampai membuka kemasan primer (kemasan yang bersentuhan langsung dengan produk obat) hanya boleh dilakukan oleh fasilitas produksi yang menerapkan standar Cara Produksi Obat yang Baik (CPOB).
2. Apotek mengedarkan kembali obat yang telah dikemas kembali, bahkan mengkombinasikannya dengan obat lain tanpa penandaan yang jelas dan resmi. Padahal seharusnya suatu produk obat wajib memiliki NIE yang telah disetujui BPOM lebih dulu, sebelum diedarkan ke masyarakat.
Proses pengemasan ulang yang dilakukan pada obat setelan dapat menyebabkan penurunan mutu obat dan akan semakin berisiko terhadap kesehatan jika dicampur dengan obat-obat lain. Apalagi jika tidak disertai informasi yang jelas bagi penggunanya, sehingga tidak tepat indikasi, tidak tepat dosis dan lama penggunaannya.
Mispersepsi Obat Setelan
Penggunaan obat setelan tidak lepas dari upaya pengobatan mandiri yang juga dikenal dengan swamedikasi. Hal ini dilakukan untuk peningkatan kesehatan, mengobati penyakit-penyakit ringan tanpa harus berkonsultasi dengan dokter terlebih dahulu. Oleh sebab swamedikasi hanya boleh dilakukan dengan menggunakan obat-obat golongan obat bebas terbatas dan obat bebas, serta obat bahan alam, dan suplemen kesehatan.
Baca juga: Mengenal Penggolongan Obat Itu Penting Lho!
Masyarakat yang menggunakan obat setelan juga umumnya bertujuan untuk mengatasi penyakit-penyakit ringan. Namun sebagian masyarakat membeli obat setelan karena mereka menganggap bahwa obat setelan relatif lebih murah, mudah didapatkan, dan lebih cepat menghilangkan penyakit. Selain itu informasi dari mulut ke mulut (rekomendasi dari orang terdekat) juga mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap efektivitas obat setelan. Hal ini jelas merupakan pemahaman yang salah kaprah di masyarakat.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh sejumlah mahasiswa/mahasiswi dan akademisi Universitas Airlangga (Sitompul, P.B.E., et al) terhadap 100 orang responden di Surabaya dengan metode survey cross-sectional, ada beberapa faktor yang mempengaruhi penggunaan obat setelan antara lain:
1. Usia
Mayoritas responden (44%) yang menggunakan obat setelan adalah lansia berusia 45--59 tahun. Pertambahan usia dapat menjadi salah satu faktor yang meningkatkan risiko salah penggunaan obat (drug misuse). Pasien lansia cenderung tidak aware dengan bahaya penggunaan obat setelan karena yang paling penting adalah menghilangkan gejala penyakit dengan cepat.
2. Pendidikan
Tingkat pendidikan rendah juga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi pasien dalam menggunakan obat setelan. Mereka yang memiliki tingkat pendidikan rendah tidak memiliki pengetahuan yang cukup untuk mengetahui dan memahami bahwa obat setelan berisiko terhadap kesehatan karena keamanan, mutu, dan khasiatnya tidak terjamin.
Selain itu mereka juga cenderung memiliki kesadaran yang rendah terkait aspek legal produk obat, seperti izin edar obat maupun sarana legal tempat memperoleh obat.
3. Pekerjaan
Selain pendidikan, lingkungan pekerjaan juga dapat mempengaruhi seseorang dalam mengambil keputusan untuk menggunakan obat setelan. Sebanyak 70% responden dalam penelitian, bekerja di sektor informal. Sektor pekerjaan informal cenderung memiliki keterbatasan akses terhadap validitas informasi terkait kesehatan sehingga meningkatkan penggunaan obat secara irasional, termasuk obat setelan.
4. Pendapatan
Sejalan dengan pekerjaan, mereka yang memiliki pendapatan rendah cenderung lebih banyak yang menggunakan obat setelan. Oleh sebab itu harga yang terjangkau menjadi salah satu alasan, mengapa masih banyak orang yang memilih untuk membeli obat setelan.
5. Kemudahan akses
Biasanya fasilitas pelayanan farmasi cukup jarang ditemui di daerah-daerah terpencil atau pinggiran kota besar. Entah itu karena akses logistik yang sulit atau padat modal mengingat ada banyak syarat yang harus dipenuhi terkait perizinan sarana.Â
Orang-orang yang memiliki keterbatasan informasi dan finansial, akan memilih untuk membeli obat setelan yang dijual di warung atau toko-toko yang tidak resmi, dimana aksesnya lebih mudah untuk dijangkau. Tak terkecuali e-commerce yang kini semakin menjamur.
Manfaat vs Risiko Obat Setelan
Prinsip penggunaan obat seharusnya dilakukan dengan rasional yakni, tepat indikasi, tepat obat, tepat dosis, serta tepat cara dan lama pemberian obat. Selain itu setiap obat yang digunakan juga harus terjamin keamanan (safety), mutu (quality), dan khasiatnya (efficacy).Â
Proses penjaminan ini dilakukan melalui proses evaluasi pre-market oleh BPOM yang didukung dengan bukti-bukti ilmiah yang memadai. Nomor izin edar (NIE) yang tercantum pada kemasan obat menjadi bukti bahwa suatu produk obat telah melewati proses evaluasi tersebut.
Dibandingkan manfaatnya, obat setelan justru memiliki risiko yang lebih besar terhadap kesehatan. Berikut alasannya:
1. Kombinasi dan komposisi obat tidak diketahui
Seperti yang sudah disinggung di atas bahwa obat setelan dikemas tanpa penanda yang jelas. Oleh sebab itu kita tidak mengetahui apa saja kombinasi atau komposisi bahan aktif obat-obat tersebut. Bahkan dari contoh kombinasi obat setelan di atas, umumnya terdapat obat keras bahkan antibiotik.Â
Penggunaan obat keras secara sembarangan berpotensi menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan. Apalagi jika digunakan jangka panjang dapat berisiko merusak organ tubuh seperti ginjal, hati, dan jantung. Bahkan dapat mengancam nyawa bila terjadi syok anafilaktik (syok akibat alergi hebat) pada orang yang alergi terhadap obat tertentu. Tak hanya itu, penggunaan antibiotik secara sembarangan juga dapat menimbulkan resistensi antibiotik.
Baca juga: Ancaman Serius Resistensi Antimikroba sebagai Silence PandemicÂ
2. Kualitas dan legalitas obat tidak diketahui
Setiap kemasan obat dipilih sedemikian rupa oleh produsen obat untuk menjaga kestabilan dan menjamin mutu obat selama masa simpan. Selain itu, lama masa simpan obat juga ditentukan berdasarkan uji data stabilitas yang dilakukan produsen dengan menggunakan bahan kemas yang telah dipilih.Â
Oleh sebab itu ketika obat dikeluarkan dari kemasan aslinya dan dikemas kembali dengan menggunakan kemasan lain, akan berpotensi merusak fisik obat karena terpapar suhu, cahaya, dan kelembaban yang tidak sesuai. Selanjutnya kualitas obat akan menurun dan efeknya tidak maksimal.
Selain itu, obat setelan yang tidak disertai penandaan yang jelas atau tidak memiliki NIE dapat dikatakan sebagai obat palsu atau ilegal, dan sudah pasti tidak dapat dijamin keamanan, mutu, dan efikasinya.
Baca juga: Karena Obat adalah Racun, Jangan Simpan dengan Sembarangan YaÂ
3. Tidak ada keterlibatan tenaga profesional yang kompeten
Salah satu peran apoteker di fasilitas pelayanan kefarmasian adalah memberikan layanan komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) kepada pasien terkait produk obat, cara pakai, penyimpanan, hingga cara membuang sisa obat yang baik. Namun, berhubung peredaran obat setelan dilakukan dalam jalur distribusi tidak resmi, maka tidak ada keterlibatan apoteker sebagai tenaga profesional yang berkompeten. Hal ini akan membuat pasien tidak mendapatkan informasi yang tepat terkait obat yang akan dia gunakan.
4. Risiko penggunaan obat yang tidak rasional
Obat setelan boleh dibilang merupakan obat yang tidak rasional karena ada potensi penggunaan obat keras yang tidak tepat indikasi, tepat obat, tepat dosis, serta tepat cara dan lama pemberian. Penggunaan obat yang tidak rasional dapat berujung pada kegagalan terapi, sehingga meningkatkan lama dan biaya pengobatan.
Baca juga: Jangan Sembarangan Memodifikasi Dosis, Yuk Patuh Saat Minum Obat
Menjadi Apoteker yang Bertanggung Jawab dan Konsumen yang Kritis
Hingga saat ini memang belum ada regulasi khusus yang mengatur peredaran obat setelan. Tapi penulis melihat adanya urgensi agar para pemangku kebijakan mulai mengupayakan peningkatan pengawasan obat setelan ini, sebelum terjadi dampak yang lebih serius. Selain itu seluruh tenaga kefarmasian sudah seharusnya meningkatkan pengetahuannya mengenai regulasi terkait pembuatan, penyimpanan, dan peredaran obat.
Apoteker sebagai garda terdepan dalam praktik swamedikasi juga harus memiliki kesadaran yang tinggi untuk mengutamakan keselamatan dan kesehatan pasien, sesuai dengan sumpah dan kode etik profesi. Bukan semata-mata mencari keuntungan bisnis semata, karena bagaimanapun profesi apoteker erat hubungannya dengan kemanusiaan.
Tidak hanya apoteker, kita sebagai konsumen juga harus cerdas dalam menggunakan obat karena sejatinya obat adalah racun. Pastikan kita memperoleh obat dari sarana-sarana resmi, sehingga keaslian obat dapat terjamin. Jangan malas membaca penandaan atau informasi pada kemasan obat supaya tidak salah dosis atau cara penggunaan. Bila perlu tanya pada apoteker apabila ada yang tidak dipahami.
Simpan obat pada kemasan aslinya dan pada kondisi penyimpanan yang sesuai supaya obat tidak rusak. Jangan berikan sisa obat yang diresepkan dokter kepada orang lain walaupun memiliki gejala penyakit yang mirip. Dan terakhir, buang sisa obat rusak atau kedaluwarsa dengan cara yang benar supaya tidak disalahgunakan oleh pihak yang bertanggung jawab, atau mencemari lingkungan.
Tanya obat, tanya apoteker.
Referensi: Jurnal Praktik & Persepsi Masyarakat terhadap Penggunaan Obat Setelan | BBPOM Serang | BPOM
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI