Mohon tunggu...
Irfan Suparman
Irfan Suparman Mohon Tunggu... Penulis - Fresh Graduate of International Law

Seorang lulusan Hukum yang hobi membaca dan menulis. Topik yang biasa ditulis biasanya tentang Hukum, Politik, Ekonomi, Sains, Filsafat, Seni dan Sastra.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen Perjuangan Cinta "Jauh di Savana"

24 November 2021   17:30 Diperbarui: 24 November 2021   18:25 780
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi cerpen savana. Pixabay.com/astama81

Angin kencang itu membawa kenangan tentang Erisa namun kesedihannya ditinggalkan. Dua tetes air mataku jatuh pada kanvas. Erisa, semoga engkau bahagia dengan Tuan barumu.

Savana ini begitu tenang dan sangat memabukan. Engkau bisa menyaksikannya sendiri, mungkin membayangkannya dari kapal yang engkau tumpangi saat ini, yang tujuannya entah kemana. Tapi yang jelas di bawah pohon ini dari savana yang membentang luas aku merindukanmu. 

Seperti Ophelia merindukan Hamlet atau seperti Hamlet yang merindukan Ophelia. Erisa, kalau saja lukisan ini masih saja di pelukanmu aku tidak akan mungkin menemui savana ini. Aku akan melihatmu saat kau memetik kapas bersama temanmu. Savana ini ikut menyaksikan aku merindukanmu, Erisa. 

Mataharinya tidak enggan cepat turun, anginnya semakin kencang. Hamparan rumput hijau ini terus diayun dengan oleh angin, menari dan sinar matahari semakin menguning dan menyorot dari sudut tenggelamnya. Mungkin, Erisa tenggelam bersama kapalnya dan Si Pengepul itu atau Erisa sedang memeluk Si Pengepul itu. 

Sebagaimana ia memeluk lukisanku, mungkin tangannya sudah fasih berbahasa. Sinar matahari semakin menyorot ke pohon, aku, serta tas kayu berisi alat lukis. Sudah menyinari, sekarang aku beri sinar itu isyarat cinta. Dari jariku yang tidak sempurna. Tapi cinta ini begitu sempurna untukmu, Erisa. 

Senja sudah mau tiba, pohon ini satu-satunya di hamparan savana yang luas membentang dan cakrawala hadir bersama senja yang hangat. Sejak senja itu tiba aku mulai sadar, kalau memikirkan kamu dan masa lalu adalah hal yang sia-sia. Bagi hatiku, pikiranku, dan kamu yang mungkin sudah tenggelam atau mahir berbahasa. 

Saat ini yang harus aku lakukan adalah terus melangkah, entah kemana yang pasti tidak untuk putar arah ke belakang. Ku pakai tas kayuku, menghadap ke arah pohon itu. Terus aku taruh lukisan itu di bawah dan ku sandarkan ke pohon sebagaimana tadi aku bersandar. Setelah mundur empat langkah, aku tatap pohon itu dan menyaksikan lukisan itu. 

Sebagai penghormatan untuk Erisa, kesayangan aku. Aku tertawa kemudian menangis untuk itu. Sudah cukup, aku harus berjalan memikul lukisan ini. 

Aku berjalan dengan arah yang tidak jelas, dengan perasaan yang tidak karuan.Ini semua tentang, Erisa. Ku putuskan untuk kembali ke pohon itu, dan mengikat dengan tambang ke pohon itu. Akhirnya, lukisan itu sudah diikat di pohon. Semoga saja kehilanganmu bukanlah suatu perkara sulit. 

Kemudian sekarang aku benar-benar melangkah, tidak akan aku putar arah. Walaupun aku harus menyesal dan menikmati perjalanan penuh penderitaan. 

Senjanya sudah merah membara, di sudut cakrawala dan savana yang tenang. Karena angin sudah mulai lelah mengiringi. Aku berjalan sambil memikul tas kayu penuh lukisan dan dua kanvas kosong. Bayangan tentang kapal tenggelam dan Erisa lama-lama memudar. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun