Sudah sepekan berlalu, namun gadis itu masih duduk di kursi kosong. Kursi yang seolah bersumpah tak mau di sentuh siapa pun. Di sanalah ia duduk, menunduk, menatap lantai keramik biru muda yang dinginnya menyalip tulangnya. Rambutnya berantakan, wajahnya layu, seperti bunga yang menolak disiram hujan. Tak pernah sekali pun ia meninggalkan ruang kelas itu, seakan waktu membelenggunya di sana.
Pukul satu siang matahari menusuk bumi dengan sinarnya. Cahaya itu menabrak kaca-kaca jendela, memantul ke dinding, dan melukis ruangan dengan cahayanya yang menyilaukan. Akan tetapi bagi gadis itu, terang hanyalah tirai tipis yang menutupi kelam di hatinya.
Ruang kelas XII Akuntansi itu dihiasi oleh tanaman Jion. Tanaman langkah yang hanya tumbuh di pegunungan Kota Tsubaki. Daunnya biasanya berkilau bagaikan permata basah embun, aromanya menenangkan seolah bisikan surga. Jion berarti "bersinar". Tetapi kini Tanaman Jion seolah murung melihat gadis itu yang berduka. Gadis itu seperti gugur bersama daun-daun Jion yang membusuk di tanah.
Sekolah itu kini sunyi. Biasanya di jam siang, riuh tawa masih berjalan di koridor. Tetapi kini seolah seluruh bangunan berduka. Semua hening setelah kehilangan siswa emas mereka. Ia juga merupakan putra dari keluarga Machiu-keru. Nama lengkapnya adalah Minato Machiu-keru. Ayahnya, Yaman Machiu-keru, dan ibunya, Mirei Tetsuya. Sebuah keluarga terpandang karena Yaman adalah Jenderal Tentara Tsubaki dan ibunya CEO di perusahaan Kiyomi.
Peristiwa yang menyayat hati keluarga itu telah mendapatkan keadilan. Semua pelaku atas hilangnya nyawa putra mereka telah ditangkap. Namun, keadilan itu hanyalah bayangan. Sebab sekali pun dunia berlutut, nyawa anak mereka tak akan pernah kembali.
Di tengah peristiwa itu, gadis tersebut masih membisu. Matanya kosong, bibirnya pucat, wajahnya seperti kanvas yang dihapus warnanya. Ia menatap lantai seakan di sana masih terbaring jasad Minato. Ia membeku dalam penyesalan.
Di depan pintu kelas, Yori tersedu. Air matanya deras, suara tangisnya lirih, seperti hujan yang tak mampu menyuburkan tanah kering. Dia mengingat saat Yumi berusaha menjelaskan semua peristiwa itu. Setiap harinya Yumi terus berkata, "Bu tolong Minato Machiu-keru. Dia butuh pertolongan kita bu, Dia penuh luka bu!" Suaranya tertekan.
Terkadang dia juga menyebut nama Hiroshi dan teman-teman Hiroshi bahwa mereka penyebab Minato meninggal. Yori memeluknya, "Nak Hiroshi itu sepupu kamu. Dia juga sangat baik kepada keluarga kita. Jadi gak mungkin dia menyakiti Minato. Apalagi melenyapkannya."
"Bu, aku mendengar mereka mengkroyok Minato. Terus aku lihat dia terluka parah. Mereka menyakitinya bu. Aku merasa bersalah karena tak bisa menolongnya." ucap Yumi menarik tangan Yori ketika peristiwa itu terjadi pada Minato.
Yori menggelengkan kepala dan melepaskan tangan Yumi. Ia berkata, "Kalau Hiroshi ditangkap, kamu juga akan terbawa nak karena kamu ada di lokasi ketika peristiwa itu terjadi. Tapi itu bukan salah mu nak. Ibu hanya gak ingin kamu terseret-seret ke kantor polisi." Suaranya berat dan memilih diam.
Tak lama berselang, kabar getir datang. Hiroshi dan teman-temannya ditangkap. Kabar itu menyebar dengan cepat. Membuat semua orang di Kota Tsubaki mengumpat mereka.
Hari-hari berlalu Yumi makin pendiam dan tertutup. Mirei mendengar kabar itu dan menjumpainya di kelas Minato. Di luar kelas, Mirei menepuk lembut pundak Yori. Ia menganggukkan kepala dan mengusap kedua tangannya. Lalu membawanya masuk. Mereka menatap Yumi dengan iba.
"Yumi sayang!" Panggil Yori dengan nada lembut.
Yumi tidak menoleh. Perlahan mereka berjalan menghampirinya. Mereka sama-sama memegang tangan Yumi. Di sebelah kanan Yumi, Mirei mencium tangannya yang dingin. "Yumi, nak, katakan padaku apa yang kamu lihat di sana? Kenapa kamu sampai begini?"
Keheningan masih terjadi. Lalu Yori menggigit pelan bibir bawahnya. Wajahnya tertekan, alis matanya berkerut dan matanya sudah berkabut. Ia membuang wajahnya. Tak bisa menunjukkan air matanya yang teramat sakit melihat anak tunggalnya begitu.
Mirei mengulang perkataan Minato yang lalu. Katanya, "Yumi adalah gadis cantik ma. Dia sangat cantik di kota kecil Tsubaki ini. Setiap hari aku menantinya di Halte Akayashi. Menatapnya dengan sangat hormat. Bibirku tersenyum ketika bayangannya berdiri tegak bergandengan dengan bayanganku. Terkadang rambutnya tertiup angin hingga menyentuh wajahku, terkadang aku juga berkhayal membangun perahu rumah tangga bersamanya." Ungkap Mirei tak kuat menahan tangisnya.
Lalu melanjutkan lagi ungkapan hati Minato. Kali ini air mata Yumi jatuh. Tapi suaranya masih belum terdengar. Ibunya menoleh menatap Yumi yang sudah mengeluarkan ekspresi sedih. Biasanya hanya melihat wajah kosong tanpa napas kehidupan. Mirei melanjutkan lagi dengan suara bergetar, "Yumi selalu di Halte Akayashi pukul 06.30 Waktu TSubaki. Aku ingin bicara padanya, ma. Tapi aku selalu didahului oleh Hiroshi. Mungkin Hiroshi mencintainya ma. Makanya dia selalu ada di dekat Yumi. Ya mereka sangat dekat ma. Aku kadang gak bisa bicara karena Hiroshi dan teman-temannya selalu ada di sekeliling Yumi, Aku agak kecewa ma. Tapi aku yakin seiring waktu aku bakal bisa bicara dengan Yumi."
Saat Mirei hendak melanjutkan, Yumi menoleh. Bibirnya bergetar. Satu kata meluncur, "Minato..."
Mirei tersenyum, memeluknya dengan wajah basah oleh air mata. Yori juga ikut memeluk. Dalam pelukan itu, Yumi berkata, "Aku tidak tahu kalau Minato selalu memperhatikanku. Aku dan Hiroshi udah seperti saudara, bu."
"Jadi selama ini Minato salah mengartikan," gumam Mirei.
"Aku yang salah. Coba saja aku tidak terlambat datang waktu kejadian itu. Coba saja aku tidak cuek pada Minato. Coba aja aku berani berteman dengannya. Tapi aku waktu itu pemalu. Apalagi Minato cowok populer di sekolah. Terus waktu itu aku kebetulan datang ke kelasnya karena aku sedang mencari Hiroshi. Temannya bilang Hiroshi di kelas Minato."
Tangisnya pecah.
Ternyata Minato bukan hanya laki-laki yang tak beruntung bisa bersamanya sepanjang usianya. Tetapi Minato juga tak beruntung karena salah mengartikan hubungan Yumi selama ini dengan Hiroshi. Lebih tidak beruntungnya lagi adalah saat peristiwa yang menimpanya memenjarakan mental gadis yang ia puja.
Di kursi sebelah kiri, baris ke dua sejajar dengan meja guru. Tempat Minato biasa duduk untuk belajar hanya menjadi saksi untuk Yumi yang hampir menyerah dengan hidup. Walaupun dia bukan pelaku atas kepergian Minato, tetap saja dia merasa semua atas kesalahannya.
Sebelum semua itu terjadi. Di Halte Akayashi Yumi seperti biasa menanti jemputan Hiroshi. Di tangan kanannya ia memegang sekeranjang mawar putih. Kulitnya yang putih sejernih awan di pagi hari terkena pantulan matahari yang hangat.
Selama sepuluh menit Minato menatapnya dari sisi kanan, ia tak menoleh sekedip mata pun padanya. Minato hendak menyapa. Memulai obrolan lucu, barangkali dengan lelucon yang bisa makin membuat lesung pipinya menggelitik sukma Minato.
"Alangkah indah kedua bola mata itu menyaksikan gerak-gerik ku yang menuai aksi konyol. Bahkan membawa mentari untuk ku selipkan di rambut hitam yang terurai manja. Aku menundukkan wajahku ketika ku sadari bahwa gadis itu sudah naik ke sepeda milik Hiroshi," pikir Minato buyar menatap punggung Yumi dari kejauhan.
Minato menatapnya bagaikan sebuah fajar yang kehilangan sinarnya. Ia tersenyum getir dan segera naik ke bus yang telah berhenti di depannya. Saat hendak naik bus, ia mengambil mawar putih yang terjatuh di tempat Yumi berdiri tadi. "Bunga mawar putih ini terjatuh seperti aku yang selalu ingin bersamanya," lirihnya menghirup aromanya sambil melangkah menaiki bus.
"Tak ada yang lebih cantik darimu karena ku tahu hati mu putih. Barangkali kita adalah asing di sudut kota kecil Tsubaki. Tak bisa menyentuh kelembutan jiwa mu dan tak juga bisa menyeka air mata mu di kala malam menjelma. Nama ku adalah Minato Machiu-keru. Aku tergila-gila dengan sketsa yang tiap hari ku temui di Halte Akayashi. Sebut saja Yumi si gadis Jelita yang terkenal pintar dan pendiam," gumamnya.
"Ssttt kamu mau duduk terus di bus Minato?"
Dia adalah Mika. Gadis yang juga populer di sekolah Minato. Tingginya setara dengan Yumi 160 cm dan kulitnya juga sama-sama putih. Keduanya terlihat punya keunggulan masing-masing. Paling menonjol dari Mika adalah dia adalah putri dari pelatih Minato. Kemudian cara berpenampilannya juga elegan terus kelihatan seperti putri mahkota dari Kota Kirei.
"Mika! Berapa kali papa bilang jangan naik bus terus!" Pinta Chisen yang menanti di depan gerbang.
Mika hanya tersenyum sambil menanti Minato jalan bareng. Minato yang tak bisa berpura-pura ramah hanya menatapnya saja. Langkah Minato terhenti ketika Chisen menepuk siku kirinya. Ia meminta Minato untuk menjaga Mika karena ia tahu Mika sangat suka dengan Minato. Minato diam saja. Mereka makin bingung untuk membuat Minato setuju. Hingga pada akhirnya bel berbunyi. Tiada alasan lagi untuk menjawab permintaan Chisen. Meskipun dia pelatih Minato, tapi ia tak bisa membuat Minato tunduk pada Mika.
Di lorong menuju kelas Dua Belas Akuntansi, perempuan telah berbaris-baris hingga ke kursi Minato biasa duduk. Mereka menyodorkan bekal sarapan, bunga, bahkan secarik surat, sambil tersenyum kikuk. Minato hanya melewati mereka tanpa menoleh. Ia berusaha tak terganggu oleh hiruk-pikuk itu.
Tiba-tiba, sebuah benda keras menghantam pundak Minato. Minato menoleh. Kelas mendadak hening. Semua orang mundur beberapa langkah, seolah tahu apa yang akan terjadi. Di sana, berdiri seorang laki-laki yang pernah Minato lihat di Halte Akayashi. Dia adalah Hiroshi. Tatapannya miring, senyumannya tipis.
"Minato! Ambilkan penghapus papan tulis itu," katanya enteng, seakan Minato hanyalah pesuruhnya.
Saat pintu kelas ditutup keras dari luar, Minato sadar sedang terkunci bersama lima belas orang. Tatapan mereka bukan tatapan sebagai teman, melainkan kawanan pemangsa yang baru saja menemukan buruannya. Hiroshi melangkah mendekat. Bisiknya mengiris telinga, "Kalau kau patuh padaku, wajah polosmu itu tidak akan rusak."
Tawa kawanannya pecah. Riku tiba-tiba melempar kursi, dentumannya memantul di dinding kelas. Tubuh Minato tersentak, tapi Minato berusaha tegak. Sota meraih ikat pinggang, mengayunkannya ke udara hingga berbunyi "Plak!" dan membuat Minato merinding. Minato mencoba melawan, tetapi Riku dan Junichi mencekal kedua tangannya.
Hiroshi mendekat dengan pisau kecil di tangannya. Cahaya mentari membuat bilahnya berkilat. Nafas Minato tercekat. "Tutup mulutnya!" Suara Ryu terdengar dingin, tak kenal ampun.
Minato meronta, lututnya gemetar, dan kepalanya pusing. Ketika Minato hampir mencapai pintu, sesuatu menghantam pundaknya. Dunia langsung berputar. Samar-samar, Minato mendengar suara Hiroshi mengatakan, "Kan sudah ku bilang jangan pakai itu." Suaranya bergetar. Lalu berubah jadi tawa yang mengerikan.
Tubuh Minato terjatuh. Pandangannya makin kabur. Lalu ia melihat seutas tali melingkar di lehernya. Kemudian terdengar suara tawa bercampur bisik-bisik penuh rahasia. Di tengah kesadaran Minato yang meredup, ia dengar juga suara seorang gadis dari luar. Suara yang Minato rindukan, Yumi. Suaranya panik, memanggil nama Hiroshi.
Hiroshi menoleh pada Minato, mata melotot penuh amarah. "Makanya jangan jadi orang populer, Minato. Semua cewek memujamu, semua guru membanggakanmu, kau pikir aku takut padamu karena kau anak orang kaya hah? Kau kira itu tidak membuatku muak?"
Ryu menimpali, "Yumi untukku. Mika untukmu, Hiroshi."
Aku ingin tertawa. Jadi semua ini bukan tentangku, melainkan tentang mereka, tentang perebutan kekuasaan dan perempuan.
Yumi berlari masuk ke dalam kelas, wajahnya pucat. "Hiroshi!" jeritnya menatap Minato yang sudah terluka parah. Tapi Hiroshi segera menutup mulutnya, menenangkan dengan kata-kata manis yang palsu.
"Tenanglah Yumi. Semua akan baik-baik saja. Jangan khawatir. Ayo kita keluar sekarang!" Bujuknya membawa Yumi yang masih panik.
Saat semua orang keluar, tiga orang tersisa bersama Minato. Mereka merapikan pakaian, menyingkirkan bukti, membuat Minato seolah-olah seperti bunuh diri, lalu saling berpandangan tegang.
"Bagaimana kalau ketahuan?" bisik Sota dengan wajah pucat.
"Takkan ada yang tahu. CCTV juga tidak ada. Kejadian hari ini hanya kita yang tahu," jawab Ryu dingin.
Lalu mereka pergi. Meninggalkan Minato tergeletak, antara sadar dan tidak, di ruang kelas yang kini terasa seperti ruang eksekusi. Selebihnya hanya gelap. Minato tak tahu apakah masih hidup saat itu, atau sudah tiada. Lebih jelasnya ia merasakan seperti terawang-awang di udara dingin. Kini, semua kenangan itu menghantam Yumi kembali. Membuatnya tak mampu berdiri dari kursi kosong tempat ia meratapi kepergian Minato.
Written by Ira Uly Wijaya
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI