Tapi seminggu setelah dilantik, Bang Rizal datang lagi.
"Mustofa, ada kerjaan baru. Sekarang kita harus bela bos dari kritik. Media mulai ngangkat isu tender proyek yang tidak transparan. Lo harus gencarkan narasi bahwa itu hoax. Itu ulah lawan politik."
"Tapi Bang, kalau memang ada masalah tender, kenapa kita tutupin?"
"Lo tanya kenapa? Gampang. Karena lo dibayar buat tutupin. Lo mau kerja apa nggak?"
Aku diam. Aku melihat laptop di depanku. Sepuluh akun Twitter palsu masih login. Keyboard menunggu untuk dijentikkan.
"Gaji lo naik jadi delapan juta kalau lo mau lanjut," tambah Bang Rizal.
Delapan juta. Aku termenung sesaat. Operasi ibu sudah selesai. Berhasil tidak ada kendala. Tapi sekarang adikku mau masuk kuliah. Butuh biaya. Tentu saja.
"Gue... gue pikir-pikir dulu, Bang."
Bang Rizal mengernyitkan keningnya. "Pikir? Woi... kalau lo masih mau kerja jangan kebanyakan mikir. Besok gue mau hasilnya."
Dia pergi. Aku sendirian di warmindo tempat biasanya kami berdiskusi tentang isu-isu yang harus dikerjakan.
Aku ingat wajah Pak Jahil. Aku ingat video hoax yang kubuat. Aku ingat hashtag yang kubikin trending. Aku ingat semua kebohongan yang kusebar.