AKU tahu namaku kedengaran kampungan, bahkan teman-teman sekelasku sering tertawa ketika guru memanggil namaku saat absen. "Painem!" teriak Bu Ratna. Lalu kudengar kekehan dari belakang.
"Namanya kayak pembantu jaman dulu, ya!" bisik Clarissa sambil nyengir ke Jessica. Sepertinya mereka tidak tahu kalau aku mendengar percakapan itu. Atau mungkin memang mereka sengaja berbisik dengan suara keras supaya aku dengar.
Aku tidak peduli. Sudah terbiasa. Aku hanya peduli pada satu hal saat ini, yaitu sepatu yang kupakai hari ini. Sepatu olahraga putih yang sudah menguning, solnya mulai terkelupas di bagian depan. Lem Alteco sudah tidak lagi mempan mengigit bagian yang sudah lapuk. Setiap kali aku melangkah, solnya berbunyi cit-cit seperti suara tikus yang terjepit himpitan hutang saja suaranya.
"Pak, sepatuku sudah rusak," kataku semalam pada Bapak.
Bapak menatapku lama. Matanya terlihat lelah. "Sabar ya, Nem. Akhir bulan Bapak baru dapet duitnya. Sekarang masih tanggal 10. Uang bapak sudah habis buat bayar kontrakan sama beli beras."
Aku mengangguk. Aku paham. Bapak kerja sebagai tukang parkir di mall. Bukan di dalam mall, tapi parkir liar. Penghasilannya pas-pasan. Karena hasil parkir sehari harus disetor kepada petugas, kata Bapak begitu. Aku pun tidak tahu petuga yang mana. Mama sudah meninggal dua tahun lalu karena sakit, seharusnya bisa sembuh tapi, tidak sempat diobati tidak ada biaya. Sejak saat itu, hanya kami berdua saja bertahan di Jakarta.
Pagi ini aku sampai di sekolah paling awal. Sengaja. Supaya tidak ada yang melihat sepatuku yang cit-cit itu. Tapi sialnya, Clarissa dan gengnya sudah datang duluan.
"Painem! Sepatu lo kenapa bunyinya lucu gitu?" teriak Clarissa sambil nunjuk-nunjuk sepatuku.
Aku diam saja, pura-pura acuh, dan terus berjalan menuju kelas. Tapi Jessica menghadangku. "Eh, gue lagi nanya! Lo tuli ya?"
"Maaf, sepatuku emang lagi rusak," jawabku pelan.