Aku ikuti Pak Budi ke rumahnya yang terletak di belakang pasar. Dia menyuruhku duduk di ruang tamu, lalu dia masuk ke dalam, tidak lama setelah itu dia membawa sebuah kotak dari dalam. Kotaknya agak besar berwarna cokelat.
"Ini... sepatu bekas anak Bapak. Masih bagus. Kebetulan ukurannya kayaknya pas sama kamu. Mau?"
Aku menatap kotak itu. Dadaku sesak. Antara malu atau harus berterima kasih. "Terima kasih, Pak. Tapi..."
"Tidak apa-apa, Nem. Anggap saja pinjam. Nanti kalau kamu sudah bisa beli sepatu baru, kembalikan saja sepatu ini. Bagaimana?"
Aku mengangguk. Air mataku jatuh. Pak Budi menepuk kepalaku pelan.
Hari itu aku pulang dengan membawa kotak sepatu. Aku tidak langsung pulang ke kontrakan. Aku jalan ke mall tempat Bapak kerja. Aku ingin menunjukkan sepatu ini padanya. Ingin melihat wajahnya senang.
Tapi setibanya di parkiran, aku melihat kerumunan orang. Ambulans. Juga ada polisi. Jantungku berdegup kencang. Aku berlari mendekat.
"Ada apa?" tanyaku pada seorang satpam.
"Tukang parkir kecelakaan, Dek. Tertabrak motor."
Aku dorong kerumunan itu. Aku berusaha melihat siapa orang yang tertabrak. Aku panik. Aku berharap orang itu bukan Bapak!
Sorang laki-laki terbaring di aspal. Darah mengalir dari kepalanya. Matanya terpejam.