"BAAPPPAAAK!" teriakku. Aku jatuh berlutut di sampingnya.
Orang-orang di sekitar mengangkat tubuh Bapak ke tandu. Salah satu petugas bertanya padaku, "Kamu keluarganya?"
Aku mengangguk sambil terisak. "Aku anaknya."
"Kami akan bawa ke RS Cipto. Ikut di ambulans, ya!"
Di dalam ambulans, aku genggam tangan Bapak yang dingin. Kotak sepatu masih kupeluk di dadaku. Sepatu yang tidak akan pernah ia lihat.
Tiga hari kemudian, Bapak meninggal. Cedera kepala parah. Aku bahkan tidak sempat mendengar suaranya lagi.
Pemakaman Bapak sangat sederhana. Tidak ada satupun saudara Bapak atau Ibu yang datang, hanya ada tetangga, Pak RT, Pak Budi dan beberapa teman Bapak, serta Bu Ratna. Tidak ada Clarissa. Tidak ada Jessica. Tentu saja. Kenapa mereka harus peduli?
Setelah pemakaman, Pak Budi mengantarku pulang ke kontrakan. "Painem, kamu mau tinggal dengan siapa sekarang?"
Aku diam. Aku tidak tahu jawabannya. Aku tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini.
"Besok Bapak akan urus supaya kamu bisa tinggal di panti asuhan. Kamu masih sekolah. Harus ada yang mengurus kamu."
Aku mengangguk lemas.