Mohon tunggu...
Muhammad Isnaini IqbalAlfarisi
Muhammad Isnaini IqbalAlfarisi Mohon Tunggu... Mahasiswa - iqbal

pelajar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Munasabah Al-Qur'an

16 Agustus 2021   07:26 Diperbarui: 16 Agustus 2021   07:29 1205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

                Dalam pengertian Terminologi (peristilahan), ada beberapa pendapat yang dikemukakan para ahli bahasa. Menurut Manna al-Qaththan, Munasabah berarti segi-segi hubungan antar satu kata dan kata lainnya dalam satu ayat, antar satu ayat dan ayat lainnya, antar satu satu surah dan surah lainnya. M. Hasbi Ash Shiddiqy, membatasi pengertian munasabah ialah hubungan yang mencakup antar ayat antar surah. Ibn Al-Arabi: Munasabah adalah keterikatan ayat-ayat Al-Qur'an sehingga seolah-olah merupakan suat unngkapan yang mempunyai kesatuan makna dan keteraturan redaksi. Munasabah merupakan ilmu yang sangat agung. Al-Biga'i, Munasabah adalah suat ilmu yang mencoba mengetahui alasan-alasan dibalik susunan atau urutan bagian-bagian Al-Qur'an, baik ayat dengan ayat atau surat dengan surat. Az-Zarkasyi: munasabah adalah suatu hal yang dapat dipahami. Tatkala dihadapkan kepada akal, pasti akal itu akan menerimanya.

                Dari beberapa pengertian diatas dapat dipahami bahwa munasabah adalah ilmu yang membahas tentang segi-segi hubungan antar ayat atau beberapa surah Al-Qur'an. Apakah hubungan itu berupa kaitan antara 'am (umum) atau khas (khusus) atau antara abstrak dan konkrit, atau antara sebab akibat, atau antara illat dan ma'lulnya, atau antara rasionil dan irasionilnya, atau antara dua hal yang kontradiktif.

                Jadi pengertian munasabah itu tidak hanya sesuai dalam arti yang sejajar atau paralel saja, melainkan yang kontradiksi pun termasuk munasabah, seperti sehabis menerangkan orang-orang mukmin, lalu orang-orang kafir dan sebagainnya. Sebab ayat-ayat  Al-Qur'an itu kadang-kadang merupakan takhsish (pengkhususan) dari yang umum dan kadang-kadang sebagai penjelasan yang kongkrit terhadap hal-hal yang abstrak. Sering pula sebagai keterangan sebab dari sesuatu akibat seperti kebahagiaan setelah amal sholeh dan seterusnya. Jika ayat itu hanya dilihat sepintas, memang seperti tidak ada hubungan sama sekali antara ayat yang satu dengan ayat yang lain, baik dengan yang sebelumnya maupun dengan yang sesudahnya. Karena itu tampaknya ayat atau surah itu seolah-olah terputus dan terpisah satu sama lain. Tetapi kalau diamati secara teliti, akan tampak adanya munasabah atau kaitan yang erat antara yang satu dengan yang lain.

               Karena itu, ilmu munasabah merupakan ilmu yang penting, karena ilmu ini bisa mengungkapkan hikmah korelasi urutan ayat al-Qur'an, rahasia kebalaghahan al-Qur'an dan menjangkau sinar petunjuknya. Lebih dari pada itu dengan ilmu ini, akan menghindarkan seseorang untuk terjerumus pada pemahaman-pemahaman yang keliru, par-sial (sepotong-sepotong) terhadap berbagai ayat Allah. Manfaat lain dengan ilmu ini, rahasia ilahi dapat terungkap dengan sangat jelas yang dengannya sanggahan dari-Nya bagi mereka yang selalu meragukan keberadaan al-Qur'an sebagai wahyu akan tersampaikan.

Sejarah Perkembangan Munasabah.

                Menurut asy-Syahrastani, seperti yang dikutip oleh az-Zarkasyi dalam al-Burhan, orang pertama yang menampakkan munasabah dalam penafsiran Al-Qur'an adalah Abu Bakar an-Nasaiburi (w.324H). Sayang kitab tafsir an-Nasaibury yang dimaksud sangat sulit dijumpai sekarang seperti yang dinyatakan oleh Adz-Dzahibi. Sedemikian besar perhatiannya An-Nasaiburi terhadap munasabah tampak jelas pada ungkapan as-Sayuthi:"Setiap kali ia (An-Naisaburi) duduk diatas kursi, bila dibacakan al-Qur'an kepadanya, beliau berkata: mengapa ayat ini diletakkan disamping ayat ini dan apa rahasia diletakkan surat ini disamping surat ini?. "beliau sering mengkritik ulama baghhdad karena mereka tidak mengetahui (tentang masalah itu).

                 Tindakan an-Naisaburi merupakan kejutan yang sangat menarik dan langkah baru dalam dunia tafsir waktu itu. Beliau mempunyai kemampuan yang istimewa untuk menyingkap persesuaian, baik antarayat maupun antarsurat, terlepas dari segi tepat-tidaknya dan pro-kontra terhadap apa yang dicetuskan beliau. Atas dasar prestasi itu,beliau dipandang sebagai Bapak Ilmu Munasabah.

                 Dalam perkembanganya munasabah meningkat menjadi salah satu cabang dari ilmu-ilmu al-Qur'an. Ulama yang datang kemudian menyusun pembahasan munasabah secara khusus. Diantara kitab yang secara khusus membicarakan munasabah ialah al-Burhan fi Munasabati tartib al-Qur'an susunan Ahmad Ibn Ibrahim al-Andalusi (w.807 H). Menurut pengarang tafsir an-Nur, penulis yang membahas munasabah dengan sangat baik ialah Burhanuddin al-Biqa'i dalam kitab Nazhm ad-Durar fi Tanasubil Ayati was Suwar.

                  As-Suyuthi membahas tema munasabah dalam kitab al-Itqan dengan topik khusus yang berjudul Ma'rifatul Munasabat Bainal Ayati sesudah membahas Asbab An-Nuzul. Subhi al-Shaleh memasukan pembahasan munasabah dalam bagian ilmu Asbab An-Nuzul, meskipun tidak dalam satu pasal tersendiri. Manna' al-Qaththan yang menulis terkemudian dari subhi al-Shaleh tetap menempatkan munasabah dalam satu pasal tersendiri. Sebaliknya, Said Ramadlan al-Buthi tidak membicarakan munasabah dalam buku Min Rawai'il Quran.

                   Ada beberapa istilah yang digunakan para mufasir mengenai munasabah Ar-Razi menggunakan istilah ta'aluq sebagai sinonimnya. Ketika menafsirkan ayat 16-17 surat Hud (12) beliau menulis: " Ketahuilah bahwa pertalian (ta'aluq) antara ayat ini dengan ayat sebelumnya sudah sangat jelas, yaitu apakah orang kafir itu sama dengan orang yang mempunyai bukti yang nyata dari Tuhannya; apakah sama dengan orang-orang yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya; dan mereka tidaklah memperoleh diakhirat kecuali neraka".

                    Sayyid Quthub menggunakan lafal irthibath sebagai pengganti munasabah. Tentang masalah ini dijumpai ketika beliau menafsirkan surat al-Baqarah (2) ayat 188: "Pertalian (irthibath) antara bagian ayat tersebut sudah sangat jelas, yaitu antara bulan baru (ahillah) waktu bagi manusia dan haji, serta antara pendapat Jahiliyah, khususnya dalam masalah haji, serta antara pendapat jahiliyah, khususnya dalam masalah haji sebagaimana yang diisyaratkan dalam bagian ayat kedua". Jika Sayyid Quthub hanya menggunakan satu istilah, Sayyid Rasyid Ridha menggunakan dua istilah, yaitu al-ittishal dan at-ta'lil. Ini terlihat jelas ketika murid Muhammad Abduh yang menulis kitab al-manar ini menafsirkan surat an-Nisa (4) ayat 30:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun