Mohon tunggu...
I Nyoman  Tika
I Nyoman Tika Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

menulis sebagai pelayanan. Jurusan Kimia Undiksha, www.biokimiaedu.com, email: nyomanntika@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Presiden Jokowi Perlu Membangun Multiliterasi

23 Oktober 2021   09:01 Diperbarui: 23 Oktober 2021   09:14 526
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Potret resmi Presiden RI Joko Widodo tahun 2019, yang diunggah oleh Kementerian Sekretariat Negara Republik Indonesia 

Udara siang itu  mendesir sejuk, Bale  Bengong itu, menjadi saksi bisu pergantian suasana dari PPKM level 4 ke 3  dan seterusnya. Dia bisa hadir sebagai penanda zaman. Bisa juga  menjadi rumah kedua bagi yang suka berdialektika, meminjam tesis Hegel, filsuf Jerman yang kesohor itu., menyebut "Kontradiksi adalah munculnya alasan atas keterbatasan pikiran" yang biasanya rame didiskusikan di tempat itu  

 Kerterbatasan pikiran itu muncul kini dimana-mana, atas nama demokrasi itu  dianggap sah, karena demokrasi  sejatinya  seru Bertrand Russell,  proses di mana orang-orang memilih seseorang yang kelak akan mereka salahkan. Sama seperti Jokowi, kita pilih untuk banyak orang menyalahkan nya. Karena kepentingan tak semua bisa diakomodir, karena satu keinginan  terpenuhi bisa memunculkan  puluhan keinginan lain untuk dipuaskan.

Itu sebabnya , mahasiswa demo dengan mengabaikan prestasi kepemimpinan Jokowi selama 7 tahun  memimpin negeri ini adalah, proses dialektika karena banyak keterbatasan mencerna, berbagai sudut pandang, di sana berpendar bahwa Negara adalah realitas gagasan moral. Maka dari itu, dialektika menjadi penciri manusia berpikir, untuk membuat banyak orang  sadar ikut  untuk menganalisis di setiap  sudut -sudut yang belum terjamah oleh nalar.

Tak ada yang perlu dipersalahkan dalam hal ini karena, Hegel benar ketika dia berkata bahwa kita belajar dari sejarah bahwa manusia tidak pernah bisa belajar apapun dari sejarah , itulah pernyataan jernih dari George Bernard Shaw, seorang pengkritik dan juga penulis , yang meraih  Nobel sastra (1925) dari Irlandia dan Inggris.

 Kini pernyataan itu  mendekati  realitas.   Karena nalar  manusia menjadikannya  eksistensinya dihargai, di ruang itu seakan, suara-suara sumbang menjadi katalis untuk berbuat lebih banyak, agar para kritikus tetap ada bahan untuk dicerna, Karena Pemerintahan manusia harus menjadi monarki nalar: itu terlalu sering demokrasi nafsu atau anarki humor yang menggeliatkan syahwat politik., karena disitu juga membangun dialektika literasi pemikiran publik

Literasi harus terus menjadi tujuan, agar nalar publik semakin meningkat, dan memunculkan sebuah diskursus baru bahwa  literasi dapat dipandang sebagai cara untuk menemukan dan membuat makna dari berbagai bentuk representasi yang ada di sekitar kita, salah satu diantaranya  membaca perilaku dan progresifitas Presiden Jokowi dalam menakhodai kapal besar yang berjuluk NKRI ini. Untuk bisa memaknai nya, maka   mono sudut pandang akan melahirkan kesalahan paralaks.

Pada aspek itu maka dibutuhkan multiliteracy  yang merupakan  sebuah wujud kemampuan memandang pengetahuan secara integratif, tematik, multimodal dan interdisciplinary. Pada sisi itu, proses dialektika tak bisa diabaikan.

Dialektika adalah sebuah metode yang didapuk  untuk memikirkan dan mengartikan dunia baik yang mewujud dalam alam maupun dalam masyarakat. Menggeneralisasi bahwa Jokowi itu gagal adalah cara berpikir yang  menyelaraskan  dan membenarkan proses membangun ide tertentu dengan ribuan metode berpikir yang khas, Jokowi, dan dia  pernah berucap jernih bahwa "demokrasi adalah mendengarkan suara rakyat dan melaksanakannya.

 Pada sisi itu, seakan mengiyakan bahwa  ide tentang generalisasi, atau keumuman menjadi tiang penyangga pemikiran kriti. Maka dari itu, tak salah memang  generalisasi, bisa dimaknai sebagai  a properti pemikiran. Untuk menggeneralisasi berarti berpikir. Dalam terminal ini lah  argumen analisentrik seakan tak berkembang, berhenti di jalan yang buntu. Sebab  analycentric argumently, suatu argumen kebijakan yang menggunakan  satu atau lebih pembenaran atau dukungan yang mengacu pada aturan  atau prinsip-prinsip  metodologi untuk memberikan alasan bahwa suatu pernyataan yang diadakan pada pemberian alasan bahwa suatu pernyataan yang didasarkan pada metode itu secara nalar  benar.

Di terminal itu,  negara seakan seperti Bale bengong. Tempat untuk merenung sendiri, berdiskusi dari kepenatan hidup karena  beberapa gagasan tak bisa diolah. Maka bale Bengong identik dengan  kekhasan nya ruang tanpa sekat pikiran seakan hadir dalam bentuk negara demokrasi, sehingga bebas berujar,  sehingga bulir-bulir bernas kerap muncul dari pengadukan pikiran inti di ruang yang bebas dengan predikat  sebagai pengampu sejarah bangsa, maka  tak salah bahwa sejarah dunia tidak lain adalah kemajuan kesadaran akan kebebasan.

Preside Jokowi dihujani kritik,  kini semakin sering ketika, dana pembangunan  kereta api cepat Bandung Jakarta,  dapat di alokasikan dari APBN, yang dahulunya, diingkari oleh Presiden. Itu juga sebuah strategi dengan banyak analisis kebijakan.

Di sini Presiden seakan menerapkan satu kriteria, yakni  Kaldor Hicks Criterion', apa itu?  Suatu kriteria keadilan yang  menyatakan bahwa  suatu kondisi sosial lebih baik  dari pada  yang lain jika ada efisiensi bersih (total manfaat dikurangi total biaya)  dan jika  mereka yang memperoleh keuntungan dapat memberi kompensasi bagi pihak yang kehilangan. Atas dasar itu mungkin, kritik kita haruslah berjarak karena sektor dari kereta api itu tak mampu memberikan keuntungan secara langsung , namun efek jalur itu meningkatkan ekonomi masyarakat sekitar yang padat, maka ekonomi hidup  dan tentu pajak akan  bisa meningkat.

Lalu di sana kita bisa mengurai bahwa yang dibutuhkan Jokowi adalah  sebuah respon kognitif yang dapat memberikan efek  membangun multi literasi masyarakat. Meminjam tesis tentang respon kognitif maka psikologi kognitif modern, yakni  salah satu komponen memterjadikan  sikap yang dikonseptuliasasikan sebagai pengetahuan faktual seseorang terhadap  sebuah situasi, objek, atau orang lain.

Sampai di terminal ini, berlaku adagium, tentang terapi  kognitif, yakni sebuah strategi  untuk meringankan tekanan psikologis dengan memperbaiki konsepsi yang salah dan sinyal diri. Apalagi di saat pasca di landa pandemi Covid-19, proses koreksi  itu, bukan pekerjaan mudah,  sebab bila kita abai maka kita dapat meningkatkan  reaksi berlebihan atau sebaliknya.

Pengalihan itu karena  pandemi, meruntuhkan sektor usaha swasta. Barang kalai dari pada mangkrak, lebih baik dicari solusi.  Pada diskursus ini, mungkin Jokowi ingin menunjukkan bahwa kebutuhan rakyat bisa hadir dengan sebuah teori bahwa, Apa yang rasional itu aktual, dan apa yang aktual itu rasional.

Unsur-unsur pembangun  sikap ini, hilirisasinya adalah terbentuknya  "cognitive schemata" yang berfungsi mengontrol dan memandu aneka proses  informasi yang berhubungan  dengan perhatian, interpretasi, dan pembentukan kembali stimulus. Kinerja presiden Jokowi , membentuk pola cognitive schemata pada sang rakyat, untuk melahirkan respons, dan melahirkan neurologi perilaku sosial, kini semakin menguat, yang pada akhirnya semua menyadari apapun yang dilakukan presiden demi untuk rakyat banyak.

Respon kognitif itu perlahan tapi pasti, yang meliputi berbagai macam pemikiran yang mendukung pesan (support arguments) maupun pemikiran yang menolak pesan (counterarguments). Keduanya kini semakin jelas. Presiden melakukan strategi persuasi  lewat kerja nyata  dan tulus. Persuasi dikatakan terjadi manakala pengirim pesan sang presiden  mendorong penerima pesan untuk menghasilkan respons kognitif yang baik terhadap pengirim pesan.

Sebagian besar rakyat bangga memiliki Presiden Jokowi.  Sosoknya   yang pintar, hebat, tegas, jenius, anti korupsi, merakyat berani mengambil risiko dalam bertindak selalu diperhitungkan secara matang. Namun tak banyak orang bisa menyelami sedalam itu, karena budaya berpikir yang berbeda. Dalil pentingnya adalah kepemimpinan adalah karakter. Orang dengan karakter yang hebat, tumbuh dan berkembang sejalan dengan pertambahan waktu, secara alami, tak bisa disangkal menjadi para pemimpin.

Hal itu dibuktikan dengan karakter Jokowi yang kuat,  kalau punya kehendak A maka A itu harus terlaksana dan selalu terwujud, dalam mengambil suatu kebijakan selalu dijalankan, dengan keteguhan  prinsip. Kerjanya yang selama 7 tahun ini, menunjukkan dalil bahwa, Kesabaran, keteguhan hati, dan keringat menghasilkan senyawa baru yang  tak terkalahkan bagi kesuksesannya.

Sekali lagi pencapaian ini tertangkap jelas pada  mereka yang memiliki multiliterasi. Sisi literasi inilah agaknya  perlu rangkai  proses yang tidak tunggal untuk  dibangun.

Namun ibarat mendirikan  sebuah negara bahwa, kembali saya kutipkan sebuah pesan  untuk memaknai pemikiran Hegel, sesudah  negara didirikan dan bangkit, tidak akan ada lagi pahlawan. Mereka datang ke tempat kejadian hanya dalam kondisi yang tidak beradab. Itu pun masih dimaafkan karena proses kesantunan politik yang dianut. Namun Hegel  menyatakan sesuatu seakan menjawab pesan itu, pesan yang menggurat bahwa  Manusia memiliki banyak dimensi.  Setinggi pikiran berdiri di atas alam, demikian pula keadaan berdiri di atas kehidupan fisik. Karena itu manusia harus memuliakan negara sebagai dewa sekular. Pawai Tuhan di dunia, itulah Negara. Salam rahayu******

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun