Penundaan Pilkades memang dimungkinkan oleh regulasi (misalnya UU Desa No. 6/2014 dan Permendagri terkait) dalam kondisi force majeure seperti bencana alam atau gangguan keamanan skala besar. Namun, penundaan tersebut haruslah bersifat sementara, memiliki alasan yang objektif dan transparan, serta diikuti dengan penetapan jadwal baru yang jelas. Penundaan tak berujung seperti di Sampang jelas keluar dari koridor ini dan berpotensi kuat melanggar hak-hak konstitusional tersebut.
Dampak Domino Penundaan Pilkades
Penundaan Pilkades Sampang yang berlarut-larut menimbulkan efek domino yang merugikan berbagai aspek kehidupan desa:
- Vakum Kepemimpinan Definitif: Desa dipimpin oleh Pj Kades yang memiliki kewenangan terbatas, terutama dalam mengambil kebijakan strategis jangka panjang. Legitimasi Pj Kades juga seringkali dipertanyakan oleh sebagian warga karena tidak dipilih langsung.
- Terhambatnya Perencanaan dan Pelaksanaan Pembangunan Desa: Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) bisa terganggu. Pj Kades mungkin ragu mengambil keputusan alokasi anggaran strategis tanpa mandat penuh dari rakyat. Akibatnya, program pembangunan infrastruktur, pemberdayaan masyarakat, dan layanan publik bisa mandek atau berjalan lambat.
- Menurunnya Kepercayaan Publik: Ketidakpastian dan minimnya transparansi dari Pemkab dapat menggerus kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah daerah. Hal ini bisa memicu apatisme politik atau bahkan potensi konflik sosial di tingkat desa.
- Kerugian bagi Calon Kades: Para calon yang sudah mengeluarkan biaya dan energi untuk sosialisasi dan kampanye dirugikan secara materiil dan moril. Ketidakpastian membuat mereka sulit merencanakan langkah selanjutnya.
- Potensi Penyalahgunaan Wewenang: Posisi Pj Kades yang diisi oleh Aparatur Sipil Negara (ASN) bisa rawan intervensi atau politisasi, terutama jika penunjukannya tidak transparan dan akuntabel.
Dampak ini menunjukkan bahwa penundaan Pilkades bukan sekadar isu elite politik, tetapi berdampak langsung pada hajat hidup orang banyak di desa.
Sikap Membisu Kemendagri: Restu Terselubung?
Di tengah polemik penundaan Pilkades Sampang, sorotan tajam juga diarahkan ke Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) sebagai instansi pemerintah pusat yang memiliki fungsi pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah, termasuk Pilkades. Sesuai amanat UU Desa dan peraturan turunannya, Kemendagri memiliki peran strategis:
- Menetapkan Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria (NSPK): Kemendagri membuat aturan main pelaksanaan Pilkades secara nasional.
- Melakukan Pembinaan dan Pengawasan: Memastikan Pemda menyelenggarakan Pilkades sesuai aturan.
- Memberikan Arahan dan Solusi: Jika terjadi masalah atau sengketa dalam penyelenggaraan Pilkades, Kemendagri diharapkan dapat memberikan panduan atau memfasilitasi penyelesaian.
Namun, dalam kasus penundaan Pilkades Sampang yang tak berujung ini, sikap Kemendagri terkesan pasif dan cenderung membisu. Belum ada pernyataan resmi, teguran, atau langkah konkret dari Kemendagri untuk mendorong Pemkab Sampang segera memberikan kepastian jadwal Pilkades.
- Keheningan Kemendagri ini menimbulkan berbagai interpretasi:
- Pembiaran: Kemendagri mungkin menganggap ini masalah lokal yang harus diselesaikan sendiri oleh Pemkab Sampang, tanpa melihat adanya potensi pelanggaran konstitusional yang lebih luas.
- Kurangnya Informasi atau Prioritas: Dimungkinkan, Kemendagri belum mendapatkan laporan lengkap atau menganggap isu ini belum cukup mendesak dibandingkan agenda nasional lainnya.
Dukungan Tersirat (Implied Support): Yang paling mengkhawatirkan, sikap diam ini bisa diartikan sebagai bentuk "persetujuan" atau setidaknya tidak adanya keberatan dari pemerintah pusat terhadap kebijakan penundaan tersebut. Ini mengirimkan sinyal berbahaya bahwa penundaan Pilkades tanpa alasan kuat dan tanpa batas waktu bisa ditoleransi.
Sikap Kemendagri ini kontras dengan fungsi pengawasan yang seharusnya dijalankan. Ketika hak konstitusional warga terancam oleh kebijakan pemerintah daerah, seharusnya pemerintah pusat hadir sebagai penjamin tegaknya aturan dan konstitusi. Bungkamnya Kemendagri dalam kasus Sampang adalah preseden buruk bagi demokrasi lokal di Indonesia.
Apa Kata Regulasi tentang Penundaan Pilkades?
Regulasi utama yang mengatur Pilkades adalah UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa dan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) yang secara spesifik mengatur tata cara pemilihan kepala desa.
Secara umum, regulasi memungkinkan penundaan Pilkades dalam kondisi tertentu, seperti:
- Bencana Alam: Gempa bumi, banjir, atau bencana lain yang melumpuhkan wilayah pemilihan.
- Gangguan Keamanan: Konflik sosial berskala luas atau situasi keamanan lain yang tidak memungkinkan pemungutan suara.
- Force Majeure Lainnya: Kondisi luar biasa yang ditetapkan oleh pejabat berwenang.
Namun, perlu digaris bawahi:
- Alasan Harus Jelas dan Objektif: Penundaan tidak boleh didasarkan pada alasan politis atau kesiapan anggaran semata (anggaran seharusnya sudah direncanakan).
- Bersifat Sementara: Penundaan dimaksudkan untuk sementara waktu hingga kondisi memungkinkan, bukan tanpa batas waktu.
- Harus Ada Penetapan Jadwal Baru: Pemerintah daerah wajib segera menetapkan jadwal baru setelah kondisi memungkinkan.
Penundaan Pilkades Sampang yang tak berujung (indefinite postponement) jelas tidak sejalan dengan semangat regulasi tersebut. Tidak adanya bencana alam masif atau gangguan keamanan berskala luas yang dilaporkan secara resmi membuat alasan penundaan menjadi kabur dan patut dipertanyakan legitimasinya.
Mencari Solusi: Mengembalikan Hak Rakyat Sampang
Situasi genting ini membutuhkan langkah konkret dari berbagai pihak untuk mengembalikan hak demokrasi warga Sampang: