Mohon tunggu...
Intan M Lewiayu Vierke
Intan M Lewiayu Vierke Mohon Tunggu... Dosen Politeknik APP Jakarta, Doktor Manajemen Bisnis SB IPB

Akademisi dengan latar belakang komunikasi, ekonomi, dan manajemen strategik

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Srikandi Era Digital: Saat Ibu Melawan Algoritma Global

22 April 2025   07:38 Diperbarui: 22 April 2025   10:47 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari Kartini dan Wajah Baru Emansipasi

Peringatan Hari Kartini tidak hanya mengajak kita mampertegas perjuangan perempuan untuk meraih akses pendidikan, yang saat ini menghadapi tantangan kontemporer yang jauh lebih kompleks. Salah satu tantangan terbesar saat ini adalah bagaimana perempuan---terutama para ibu ---berperan sebagai benteng  bagi generasi muda dalam menghadapi serangan masif dari dunia digital.

Hari ini, anak-anak dan remaja tumbuh dalam dunia yang tidak lagi netral. Aplikasi-aplikasi digital yang mereka gunakan sehari-hari---dari media sosial, game online, hingga platform belanja---digerakkan oleh algoritma yang secara aktif mempelajari dan membentuk pola pikir serta perilaku mereka.

TikTok hanyalah salah satu contoh paling mencolok. Lebih dari sekadar hiburan, platform ini bekerja dengan algoritma canggih yang merespons emosi, kebiasaan, bahkan kelemahan pengguna untuk mengoptimalkan keterlibatan. Pola algoritmis seperti ini juga digunakan oleh banyak platform digital lainnya---dari media sosial hingga e-commerce---yang secara halus namun konsisten membentuk perilaku konsumsi, preferensi, dan bahkan cara pandang generasi muda. Dampaknya? Minat baca menurun, proses berpikir menjadi instan, dan banyak keputusan penting---termasuk pilihan gaya hidup atau nilai hidup---diambil hanya dari tayangan video satu menit. 

Dampak algoritma dalam kehidupan digital anak-anak tak berhenti di minat baca yang menurun atau keputusan yang diambil dari video satu menit. Lebih dari itu, mereka jadi mudah bosan dan kurang tahan terhadap proses panjang---semua ingin serba instan. Tekanan untuk mengikuti tren juga bikin anak kehilangan jati diri, merasa harus selalu tampil "seperti yang sedang viral." Belum lagi iklan terselubung yang masuk lewat konten, tanpa disadari memengaruhi apa yang mereka beli, tonton, bahkan percayai. Dan ketika validasi diri bergantung pada jumlah like atau komentar, rasa percaya diri pun jadi rapuh. Perlahan, fokus dan konsentrasi pun ikut tergerus---membaca satu halaman buku saja jadi terasa berat.

Srikandi Rumah Tangga: Aktor Strategis di Era Digital

Sebagai Srikandi dalam keluarga, ibu  memiliki peran strategis dalam membimbing anak-anak agar menjadi individu yang kritis dan bijak dalam menghadapi arus informasi dan teknologi. Dengan meningkatkan literasi digital dan ekonomi, para ibu dapat membantu anak-anak memahami dan menyikapi pengaruh globalisasi dengan lebih baik.

Peran ini tidak hanya sekadar membatasi waktu penggunaan gawai, tetapi juga mengarahkan dialog keluarga pada pertanyaan-pertanyaan reflektif: dari mana informasi ini datang, siapa yang diuntungkan, dan apakah nilai yang terkandung selaras dengan identitas kita sebagai bangsa?

Ibu bisa memulai dari diri sendiri dengan meningkatkan literasi digital, termasuk memahami bagaimana data pribadi diproses oleh aplikasi. Dalam keluarga, ibu dapat menciptakan kebiasaan diskusi terbuka tentang teknologi, dan saat anak ingin mengunduh aplikasi baru, ibu bisa mengajak mereka membaca terms & conditions bersama---mengenalkan bahwa persetujuan digital bukan sekadar formalitas, tetapi bentuk kesadaran akan hak dan risiko. Sikap kritis ini penting untuk ditanamkan sejak dini. Di lingkungan, ibu dapat menjadi inisiator ruang belajar bersama, berbagi pengetahuan tentang cara kerja platform digital dan bagaimana keluarga bisa tetap berdaulat di tengah gempuran algoritma global.

Kartini di Era Algoritma

Hari Kartini adalah momen yang tepat untuk menegaskan bahwa emansipasi hari ini bukan hanya soal ruang kerja dan representasi politik, tetapi tentang kuasa pengetahuan di ranah digital. Di era algoritma ini, jempol tak bisa lagi bertindak sendiri. Apa yang dulu hanya dianggap sebagai aktivitas spontan---scroll, klik, bagikan---kini harus dikawal oleh kesadaran penuh. Perilaku jempol dalam mengelola gawai harus bergeser ke otak: ke refleksi, ke logika, ke nilai. Sebab setiap sentuhan layar adalah keputusan---dan keputusan membentuk arah hidup. 

Dulu, jempol kita bebas bergerak sesuka hati: like sana, share sini. Tapi sekarang, tiap sentuhan di layar perlu dipikirkan. Jempol boleh tetap gesit, tapi arah dan niatnya harus dikendalikan otak. Misalnya, sebelum beli barang karena tergoda iklan, tanya dulu ke diri sendiri: butuh atau cuma ikut tren? 

Bayangkan dampaknya apabila setiap jempol bebas klik tanpa berpikir---bisa jadi kita membentuk kebiasaan konsumtif, ikut menyebar hoaks, atau membiarkan anak terpapar konten yang mengikis nilai. Tapi saat jempol dikendalikan oleh otak, kita mulai memilah mana yang perlu ditonton, dibeli, atau dibagikan.

Ingat apa yang sedang terjadi di Amerika Serikat sekarang? Pola hidup konsumtif yang serba instan---tinggal klik, bayar, kirim---bikin jutaan orang terjebak utang kartu kredit. Banyak dari mereka membeli hal-hal yang sebenarnya nggak benar-benar dibutuhkan. Lebih parahnya lagi, negara sebesar AS pun bergantung pada pasokan bahan pangan dari luar, mulai dari beras, udang, sampai barang-barang sehari-hari. Artinya, kalau ada gangguan pasokan global, mereka bisa kelabakan. Kita bisa belajar dari situ: jangan sampai pola konsumsi kita dikendalikan jempol, sementara isi kepala dan dompet tidak diajak mikir bareng.

Ibu harus menjadi agen literasi baru, yang bukan hanya mengasuh, tetapi juga membentuk benteng nilai di tengah badai algoritma.

Dengan memahami bagaimana teknologi bekerja dan siapa yang mengendalikannya, para ibu dapat menjadi penjaga masa depan yang bukan hanya penuh kasih, tetapi juga cerdas dan strategis. Karena itu, mari kita bangun kesadaran baru---bahwa ibu masa kini bukan sekadar penonton, tetapi aktor penting dalam menghadapi tantangan zaman.

Kartini masa kini tak lagi hanya bicara soal buku dan sekolah, tapi juga soal bagaimana kita---khususnya para ibu---memandu anak-anak menghadapi dunia digital yang serba cepat dan cenderung manipulatif. Jika Anda adalah seorang ibu, calon ibu, pendidik, atau siapa pun yang peduli akan masa depan anak-anak Indonesia, inilah saatnya kita bergerak bersama. Mari bantu anak-anak kita tumbuh bukan sebagai target pasar algoritma, tetapi sebagai manusia utuh yang berpikir, memilih, dan mencintai dengan sadar. Karena masa depan tak dibentuk oleh layar, tapi oleh nilai-nilai yang ditanam dari rumah, sejak dini.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun