Dulu, jempol kita bebas bergerak sesuka hati: like sana, share sini. Tapi sekarang, tiap sentuhan di layar perlu dipikirkan. Jempol boleh tetap gesit, tapi arah dan niatnya harus dikendalikan otak. Misalnya, sebelum beli barang karena tergoda iklan, tanya dulu ke diri sendiri: butuh atau cuma ikut tren?Â
Bayangkan dampaknya apabila setiap jempol bebas klik tanpa berpikir---bisa jadi kita membentuk kebiasaan konsumtif, ikut menyebar hoaks, atau membiarkan anak terpapar konten yang mengikis nilai. Tapi saat jempol dikendalikan oleh otak, kita mulai memilah mana yang perlu ditonton, dibeli, atau dibagikan.
Ingat apa yang sedang terjadi di Amerika Serikat sekarang? Pola hidup konsumtif yang serba instan---tinggal klik, bayar, kirim---bikin jutaan orang terjebak utang kartu kredit. Banyak dari mereka membeli hal-hal yang sebenarnya nggak benar-benar dibutuhkan. Lebih parahnya lagi, negara sebesar AS pun bergantung pada pasokan bahan pangan dari luar, mulai dari beras, udang, sampai barang-barang sehari-hari. Artinya, kalau ada gangguan pasokan global, mereka bisa kelabakan. Kita bisa belajar dari situ: jangan sampai pola konsumsi kita dikendalikan jempol, sementara isi kepala dan dompet tidak diajak mikir bareng.
Ibu harus menjadi agen literasi baru, yang bukan hanya mengasuh, tetapi juga membentuk benteng nilai di tengah badai algoritma.
Dengan memahami bagaimana teknologi bekerja dan siapa yang mengendalikannya, para ibu dapat menjadi penjaga masa depan yang bukan hanya penuh kasih, tetapi juga cerdas dan strategis. Karena itu, mari kita bangun kesadaran baru---bahwa ibu masa kini bukan sekadar penonton, tetapi aktor penting dalam menghadapi tantangan zaman.
Kartini masa kini tak lagi hanya bicara soal buku dan sekolah, tapi juga soal bagaimana kita---khususnya para ibu---memandu anak-anak menghadapi dunia digital yang serba cepat dan cenderung manipulatif. Jika Anda adalah seorang ibu, calon ibu, pendidik, atau siapa pun yang peduli akan masa depan anak-anak Indonesia, inilah saatnya kita bergerak bersama. Mari bantu anak-anak kita tumbuh bukan sebagai target pasar algoritma, tetapi sebagai manusia utuh yang berpikir, memilih, dan mencintai dengan sadar. Karena masa depan tak dibentuk oleh layar, tapi oleh nilai-nilai yang ditanam dari rumah, sejak dini.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI