"Ya iyalah. Sama siapa lagi. Namanya sekretaris."
"Awas ya! Kalau sampai saya tahu kau selingkuh, rasakan akibatnya nanti!"
Ketika paman sudah tidak kuat menghadapi omelan bibi, paman akan ke teras dan memandangi gembel yang tertawa itu. Paman akan ikutan tertawa, seolah-olah hanya itu satu-satunya hiburan di rumah ini.
Simpati saya lama kelamaan beralih dari bibi ke paman. Betapa hebatnya paman, bisa bertahan hidup bersama bibi yang mata duitan dan posesif itu. Raut muka paman tidak pernah bahagia setiap masuk rumah. Selalu saja bibi menyemprotnya dengan tuduhan tidak berdasar.
Tidak bisa saya bayangkan apa enaknya hidup dengan perempuan semacam itu. Kalau saya, mungkin sudah stres seperti gembel itu.
"Paman mengapa tidak menceraikan bibi?" saya melanjutkan pertanyaan. Paman masih memandang gembel itu. Gembel itu membalas dengan senyuman.
"Kalau bisa, dari dulu, Rendi."
"Terus, apa masalahnya?"
"Paman hanya menjaga nama baik keluarga besar Paman. Betapa malunya orang tua paman nanti kalau tahu anak satu-satunya yang sudah menjadi direktur utama ini bercerai."
Saya terdiam sejenak. Saya pikir, masih ada ya orang mau menderita, mengalah tanpa bahagia, demi nama baik keluarga. Ah, kalau-kalau masih ada kursi di surga, saya rasa paman berhak menempatinya.
"Lantas, mengapa paman tidak melawan bibi? Bagi saya, paman seperti direndahkan!"