Mohon tunggu...
Inosensius I. Sigaze
Inosensius I. Sigaze Mohon Tunggu... Lainnya - Membaca dunia dan berbagi

Mempelajari ilmu Filsafat dan Teologi, Politik, Pendidikan dan Dialog Budaya-Antaragama di Jerman, Founder of Suara Keheningan.org, Seelsorge und Sterbebegleitung dan Mitglied des Karmeliterordens der Provinz Indonesien | Email: inokarmel2023@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Warung Kelontong Flores 1998, Sederhana tapi 24 Jam

26 November 2022   12:43 Diperbarui: 26 November 2022   12:50 338
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Warung kelontong Flores 1998, sederhana tapi 24 jam | Dokumen diambil dari travelingyuk.com

Dibalik bubur kacang ternyata ada  cerita tentang gagasan menjadi kreatif, sederhana, sesuai jangkau daya beli masyarakat dan juga tentang harga dari waktu yang diberikan.

Sajian topik pilihan Kompasiana kali ini menyeret saya kembali ke masa lalu, tahun 1998 di Ende, kota Pelajar di Flores, NTT. Krisis 1998 berjalan tanpa henti, bahkan aksi penjarahan meninggalkan debu asap, api dan trauma psikis yang tidak sedikit.

Waktu itu saya berada di bangku kelas tiga SMA, di sebuah SMA Swasta di kota Ende. Hidup susah di masa itu seperti sudah menjadi teman sehari-hari. 

Bubur kacang hijau dan roti tawar di tengah krisis 1998, sederhana tapi 24 jam tersedia

Saya masih ingat semangkok bubur kacang hijau dan sepotong roti tawar dari sudut kota dekat sekolah yang selalu siap melayani rasa lapar anak-anak sekolah selama 24 jam. Ya, terkenal 24 jam karena siapa saja yang datang pada jam setengah dua belas malam, ternyata ibu Asdah (bukan nama sebenarnya) masih juga menyiapkan bubur kacang dan sepotong roti tawar.

Tidak heran kalau kami saat itu pulang begadang dan lapar, maka kami selalu mampir di warung ibu Asdah dekat sekolah persis di bawah pohon mangga, jalan Woloare A persisnya, kelontong Flores 1998 itu.

Ibu Asdah itu rupanya cerdas membaca peluang di tengah krisis 1998. Memilih hidup dengan cara halal di tengah krisis itu tidak mudah. Ia sudah tampak tua, 60 tahunan. Punya gubuk yang sangat sederhana; beratapkan daun kelapa, dinding dari bambu yang sebagian sudah berlubang dan rusak.

Tapi bubur kacang karya tangannya itu telah mengukir kisah yang tidak bisa dilupakan oleh kami angkatan 1998. Kisah "ketersediaan" di saat lapar dan tidak punya harapan, di mana kami bisa mendapatkan sesuatu untuk bisa tidur semalam.

Unik bagi saya tentunya, bahwa ibu Asdah itu punya gagasan sesederhana itu. Idenya yang begitu sederhana sampai seperti tidak mungkin bahwa akan menjadi populer dikenang orang.

Nah, waktu terus berjalan sampai hari ini, saya bisa menulis kembali tentangnya itu bagi saya bernilai mahal dan indah. Sebuah keindahan dari gambaran situasi susah di tahun 1998.

Keindahan yang dihasilkan bukan dari cerita indah, tetapi dari pengalaman perjuangan seorang ibu tua demi anak-anaknya dan demi hidupnya di kala krisis melanda negeri tercinta, Indonesia.

Mengapa saya akhirnya mengagumi pilihan warung kelontong Flores 1998 itu?

Saya pernah melihat sendiri bagaimana orang-orang yang masih kuat bekerja pernah menjarah di kota. Datang ke kota dengan pakaian sederhana, namun mereka kembali berpakaian bak orang kaya.

Tidak hanya itu, mereka juga membawa untuk istri dan anak-anak mereka dari hasil jarahan itu. Ya, berbanding terbalik dengan ibu Asdah, yang begitu sepi dari keinginan menjarah, ia tekun memasak bubur kacang hijau untuk dijual.

Ia duduk dan berdiri hanya di sekitar rumahnya. Ia pergi palingan membeli kacang hijau dan roti tawar di pasar. Ia kembali dengan tenang lalu memasak bubur kacang untuk siapa saja yang bahkan datang kapan saja.

Nama warungnya memang tidak ada, tapi banyak orang mengenal bahwa di situ adalah jenis warung 24 jam. Mungkin itulah yang pantas disematkan sebagai warung kelontong Flores 24 jam.

Sebuah gagasan yang tidak disangka bahwa hanya ada di Jawa atau di tempat lainnya. Memang ibu Asdah datang dari Jawa, cuma sudah lama tinggal dan berkeluarga di sana.

Saya tidak tahu lagi, apakah sekarang masih ada? Tapi, sudah pasti kenangan masa krisis itu sudah bisa saya jelaskan sekarang. Dan hal ini bukan cuma sekedar sebuah cerita masa lalu yang pahit di tahun 1998, tapi lebih dari itu, ada beberapa pesan yang penting untuk zaman sekarang:

1. Konsep warung 24 jam itu dan konsep internasionalitas

Saya menyadari konsep itu bukan konsep murahan karena kalau dilihat bagaimana yang terjadi di Jerman, sebenarnya ada jenis 24 jam seperti di Stasiun Kereta atau di bandara.

Sebuah konsep berpikir yang optimis bahwa masih ada orang yang bepergian dan mencari makan sampai tengah malam. Dan ia mau menyediakan pelayanan untuk orang-orang yang lapar.

Konsep sederhana, tapi ia punya pilihan yang mungkin sejajar dengan cara berpikir orang barat dan orang-orang zaman sekarang. 

2. Kreativitas mengisi waktu yang dihadiahkan Tuhan

Konsep 24 jam, sama dengan sebuah aksi protes bahwa tidak ada waktu yang diberikan Tuhan itu sebagai waktu sia-sia. Mungkin bagi ibu Asdah, waktu adalah segalanya yang membuat hidup secara layak di tengah krisis.

Waktu itu selalu ada buat dia untuk melakukan sesuatu yang baik, bukan cuma untuk dirinya saja, tapi untuk orang yang membutuhkan bantuan dan pelayanannya.

Wajah krisis saat ini mungkin sudah samar-samar, karena itu tepat sekali Kompasiana menyoroti tema seperti warung kelontong, yang saya percaya bisa menjadi pilihan UMKM masyarakat biasa untuk bertarung hidup sampai sekarang.

3. Pilihan pekerjaan dan kreativitas

Kekaguman saya pada ibu Asdah itu tentu saja terkait dengan pilihan cerdasnya. Ia memilih pekerjaan yang memang cocok pada masanya. Bagaimana tidak?

Ia hidup dekat komplek sekolah. Ia tahu daya beli anak-anak sekolah, jadi harga bubur kacang tidak perlu mahal-mahal. Yang penting bahwa semakin banyak orang datang makan.

Dalam kesederhanaan logika ibu Asdah, sebenarnya ada hal yang besar sekali. Bukan mahalnya suatu jenis makanan, tapi kualitas dan pertimbangan jangkauan daya beli masyarakat.

Ya, ibu kreatif yang bisa hidup di sudut kota melalui kreativitas yang sederhana, tapi saat ini menjadi pilihan banyak orang. Mungkin cara kerja dan prinsipnya bisa menginspirasi orang.

Salam berbagi, ino, 26.11.2022.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun