Mohon tunggu...
Inosensius I. Sigaze
Inosensius I. Sigaze Mohon Tunggu... Lainnya - Membaca dunia dan berbagi

Mempelajari ilmu Filsafat dan Teologi, Politik, Pendidikan dan Dialog Budaya-Antaragama di Jerman, Founder of Suara Keheningan.org, Seelsorge und Sterbebegleitung dan Mitglied des Karmeliterordens der Provinz Indonesien | Email: inokarmel2023@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kuliner Kampung di Masa Krisis 1988 dan Roti Keju di Jerman

12 November 2022   19:05 Diperbarui: 12 November 2022   19:13 425
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kuliner kampung di masa krisis dan roti keju di Jerman | Dokumen diambil dari: Fb.Januar Land Nday

Ungkapan itu memang bisa menjadi umumnya di Flores. Hidup kami pahit, pahit karena diwarnai dengan perjuangan untuk mempertahan hidup itu sendiri.

Tahun 1988 saya masih di bangku Sekolah Dasar. Saat itu, saya pulang sekolah. Saya harus berjalan pulang dan pergi sejauh 14 km melintas hutan dan gunung. Ah cerita ini mirip di Papua saja.

Jarak 7 km pulang dari sekolah sudah bisa membuat bagaimana laparnya saat itu. Apa yang pernah saya harapkan pada saat itu, bukan sebuah kemustahilan, tetapi tentang "apa yang ada," yang disiapkan oleh orangtua saya.

Saya tidak pernah bermimpi bahwa akan ada roti dan keju, atau bakso urat, pecel, lalapan bebek bakar dan petai bakar, rawon dan lain sebagainya. Satu yang saya harapkan bahwa tidak menjumpai ayah dan ibu yang lagi sedih. 

Pisang rebus, sambal tomat dan daun pepaya rebus, itu makanan terenak, jika semula saya melihat wajah sang ayah dan sang ibu bahagia.

Bahagia lebih berarti daripada mimpi tentang makanan enak

Kebahagiaan seorang petani sederhana yang seharian di hutan sana, jauh lebih berarti dari mimpi-mimpi tentang makanan yang enak dan mahal.

Di samping sebuah pondok yang lusuh, terbentang tikar 2 x 3 meter. Sang ayah sedang mengumpulkan padi yang seharian dijemur. Saya datang dari belakang dan melihat sang ayah tertunduk pada tikar itu. 

Langkahku seperti lumpuh. Padahal, saya ingin beritahu pada sang ayah bahwa saya butuh uang Rp. 2.500. Mulutku tiba-tiba terkatup membisu. Bibirku bergetar bukan karena takut, tapi karena saya merasakan pahitnya hidup sang ayah waktu itu.

Saya terdiam dan pergi sambil membuka baju. Oh laparku waktu itu lenyap begitu saja. Saya merasakan kesedihan luar biasa. Kenapa saya harus melihat kenyataan seperti itu? Kenapa saya harus menjadi pemulung (der Sammler) dari cerita pahit sang ayahku?

Saya bersedih di bawah pohon kenari. Tidak ada cara lain, selain seharian saya mencari makan sendiri. Saya mengumpulkan kenari dan mulai memecahkan satu persatu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun