Ungkapan itu memang bisa menjadi umumnya di Flores. Hidup kami pahit, pahit karena diwarnai dengan perjuangan untuk mempertahan hidup itu sendiri.
Tahun 1988 saya masih di bangku Sekolah Dasar. Saat itu, saya pulang sekolah. Saya harus berjalan pulang dan pergi sejauh 14 km melintas hutan dan gunung. Ah cerita ini mirip di Papua saja.
Jarak 7 km pulang dari sekolah sudah bisa membuat bagaimana laparnya saat itu. Apa yang pernah saya harapkan pada saat itu, bukan sebuah kemustahilan, tetapi tentang "apa yang ada," yang disiapkan oleh orangtua saya.
Saya tidak pernah bermimpi bahwa akan ada roti dan keju, atau bakso urat, pecel, lalapan bebek bakar dan petai bakar, rawon dan lain sebagainya. Satu yang saya harapkan bahwa tidak menjumpai ayah dan ibu yang lagi sedih.Â
Pisang rebus, sambal tomat dan daun pepaya rebus, itu makanan terenak, jika semula saya melihat wajah sang ayah dan sang ibu bahagia.
Bahagia lebih berarti daripada mimpi tentang makanan enak
Kebahagiaan seorang petani sederhana yang seharian di hutan sana, jauh lebih berarti dari mimpi-mimpi tentang makanan yang enak dan mahal.
Di samping sebuah pondok yang lusuh, terbentang tikar 2 x 3 meter. Sang ayah sedang mengumpulkan padi yang seharian dijemur. Saya datang dari belakang dan melihat sang ayah tertunduk pada tikar itu.Â
Langkahku seperti lumpuh. Padahal, saya ingin beritahu pada sang ayah bahwa saya butuh uang Rp. 2.500. Mulutku tiba-tiba terkatup membisu. Bibirku bergetar bukan karena takut, tapi karena saya merasakan pahitnya hidup sang ayah waktu itu.
Saya terdiam dan pergi sambil membuka baju. Oh laparku waktu itu lenyap begitu saja. Saya merasakan kesedihan luar biasa. Kenapa saya harus melihat kenyataan seperti itu? Kenapa saya harus menjadi pemulung (der Sammler) dari cerita pahit sang ayahku?
Saya bersedih di bawah pohon kenari. Tidak ada cara lain, selain seharian saya mencari makan sendiri. Saya mengumpulkan kenari dan mulai memecahkan satu persatu.