Mohon tunggu...
Inosensius I. Sigaze
Inosensius I. Sigaze Mohon Tunggu... Lainnya - Membaca dunia dan berbagi

Mempelajari ilmu Filsafat dan Teologi, Politik, Pendidikan dan Dialog Budaya-Antaragama di Jerman, Founder of Suara Keheningan.org, Seelsorge und Sterbebegleitung dan Mitglied des Karmeliterordens der Provinz Indonesien | Email: inokarmel2023@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ada 3 Alasan Pemberlakuan Undang-undang Perlindungan Anak Tahun 2014, Selamatkan Guru?

27 November 2021   20:05 Diperbarui: 5 Desember 2021   17:45 375
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi tentang 3 alasan pemberlakuan Undang-undang perlindungan anak, selamatkan guru? | Dokumen diambil dari: unicef.org

"Guru adalah pelita bagi anak didik. Anak-anak didik membutuhkan terangnya."

Siapa saja yang sudah menjadi orang pasti pernah mengenal figur seorang guru. Demikian juga, setiap orang yang berpendidikan, pasti pernah mengenal guru. 

Guru dan pendidikan formal tidak bisa dipisahkan kedekatan hubungannya. Tidak ada pendidikan formal tanpa kehadiran seorang guru. Demikian juga tidak ada pencerdasan tanpa peran seorang guru.

Bagaimanapun lukisan wajah guru pasti berbeda-beda gaya dan cara dari masa ke masa. Sebagai seorang yang pernah mengalami pendidikan di masa 1980-an, saya mengenal guru sebagai pendidik yang pada tangannya selalu ada rotan atau mistar kayu.

Tidak heran pada masa itu gema dari pepatah "Di ujung rotan itu ada emas" terdengar begitu kencang membentengi metode pengajaran guru-guru di sekolah. Meskipun demikian, tidak sedikit juga bahwa tindakan keras guru di sekolah menuai protes dari orang tua.

Saya pernah menyaksikan bahwa hampir setiap acara pembagian rapor pada akhir semeter selalu saja ada diskusi dan pertengkaran antara orang tua terhadap guru-guru tertentu yang sering menggunakan "tangan besi."

Pertanyaannya, mengapa guru-guru pada masa itu merasa begitu nyaman dengan tindakan kekerasan? Apakah pada masa itu lebih dipengaruhi rezim pada saat itu?

Jika saya kembali mengenang tindakan tegas dan keras guru-guru pada masa itu, maka saya juga mengatakan bahwa guru-guru itu telah diselamatkan oleh Undang-undang tentang Perlindungan Anak Tahun 2014.

Pertanyaannya, mengapa Undang-undang Perlindungan Anak disebut telah menyelamatkan guru? Berikut ini ada 3 alasannya:

1. Melalui Undang-undang itu mulai ada penurunan kasus kekerasan di sekolah

Masa sebelum diberlakukannya Undang-undang Tahun 2015 adalah masa suram karena tindakan kekerasan di sekolah tanpa protes yang masif. bahkan anak didik lebih memilih diam dan menerima daripada protes atau memberitahu orang tua mereka dan melaporkan ke pihak yang berwenang.

Saya yakin kekerasan di sekolah itu selalu dianggap biasa pada saat itu. Ya, lagi-lagi guru-guru berlindung pada pepatah bijak "di ujung rotan ada emas." Apa jadinya jika semua tindakan itu dirujuk kembali, maka ada begitu banyak sekali guru-guru yang harus dikenakan pasal hukum.

Hasil penelitian  Plan Internasional dan ICRW tahun 2015 membuktikan bahwa ada 84 % pelajar di Indonesia mengalami kekerasan di sekolah. Padahal ada Undang-undang yang sudah mengatur tentang hal itu pada tahun sebelumnya.

Undang-undang No 35 Tahun 2014 pasal 54 ayat 1 sebenarnya sudah menjadi patokan formal terkait perlindungan Anak dari aneka tindak kekerasan fisik, psikis dan seksual.

Komisi perlindungan anak Indonesia pernah merilis laporan bahwa setelah tahun 2015 terjadi penurunan jumlah kasus kekerasan secara drastis dari 461 kasus pada tahun 2014 ke 220 kasus di pertengahan tahun 2015.

Ya, angka  penurunan kasus itu sangat mungkin karena adanya Undang-undang Perlindungan Anak. Bayangkan, apa jadinya jika tanpa Undang-undang perlindungan Anak?

2. Undang-undang Perlindungan Anak telah mengubah perspektif tentang pendidikan tanpa kekerasan (non violence)

Tidak bisa disangkal bahwa zaman dulu hampir semua orang hidup bersama dengan keyakinan bahwa yang sulit saat ini menjadi tanda untuk yang mudah nantinya. Demikian juga orang selalu mengulang kembali pepatah ini, "bersusah-susah dahulu, bersenang-bersenang kemudian.

Tafsiran yang keliru dalam hal ini adalah termasuk terkait dengan tindakan kekerasan dianggap akan memberikan kesenangan pada masa yang akan datang. Tidak jarang orang mendengar ucapan dari guru-guru dulu, "kalau dulu kami tidak keras, kamu pasti tidak bisa jadi orang."

Argumen apa yang bisa membantah hal itu? Kenyataan membuktikan bahwa dari latar belakang pendidikan yang keras itulah, lahir generasi yang disiplin, sukses dan lainnya sebagainya, bahkan pemimpin-pemimpin yang hebat.

Meskipun demikian, pertanyaannya apakah hanya melalui metode kekerasan itu yang menjadikan seseorang jadi orang sukses saat sekarang ini? Tentu tidak.

Tanpa mempermasalahkan cara pendekatan guru-guru pada masa dulu, bisa jadi metode pendidikan apa pun itu berjalan bersama seiring dengan perubahan zaman dengan segala macam kemajuannya.

Metode pendidikan anti kekerasan saat ini bisa saja menghasilkan generasi yang lamban, kurang punya tekad dan komitmen bahkan sangat mungkin tetap saja beda pada bagian hasilnya.

Meskipun demikian tidak bisa benar secara universal. Di daerah-daerah tertentu di Indonesia ini, bisa saja ditemukan sisi lemah dari Undang-undang yang mengatur tentang perlindungan anak.

Guru pada prinsipnya melindungi anak, namun pada batas mana perlindungan itu harus dipisahkan dari sebuah proses pendidikan. Mentalitas budaya anak pasti juga beragam. 

Bahkan anak-anak dengan sedikit cacat mental disekolahkan dan diperlakukan secara sama  seperti anak-anak lainnya. Tentu hal itu yang luput dari perhatian pemerintah atau guru itu sendiri.

Siapapun manusia atau siapapun guru itu pasti punya titik jenuh dan titik lemah, pada saat-saat itulah guru bisa melakukan tindakan kekerasan.

Perspektif apa yang penting dari Undang-undang perlindungan anak:

  1. Dalam hal apapun guru harus memperhitungkan kepentingan terbaik bagi peserta didik. 
  2. Guru perlu lebih mempertimbangkan aspek yang bukan hanya pertumbuhan yang tidak bisa balik lagi seperti semula (irreversible) seperti secara fisik mengenai kesehatan anak didik, tetapi juga perkembangan (reversible) peserta didik.
  3. Guru perlu kreatif mempertimbangkan tindakan yang bersifat edukatif dan inovatif.

Tiga perspektif itulah yang meredam dan menekan tindakan kekerasan di sekolah, atau sekurang kurangnya guru-guru lebih disadarkan tentang pentingnya martabat manusia.

3. Sejak munculnya Undang-undang perlindungan Anak, guru-guru belajar mengakhiri pendekatan yang diktator

Jika tanpa Undang-undang perlindungan Anak, maka pendidikan di Indonesia mewariskan pendekatan seorang diktator.

Undang-undang dan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia No 82 tahun 2015 tentang pencegahan dan penanggulangan tindak kekerasan di lingkungan satuan pendidikan sekaligus menjadi pemutus rantai kediktatoran di lingkup pendidikan.

Pendidikan tidak lagi membentuk manusia dengan suatu "keharusan" tetapi lebih dengan suatu "tawaran, kemungkinan, alternatif dan pilihan-pilihan dan bukan sebagai solusi tanpa ada kemungkinan lainnya.

Ya, terlihat sekali bahwa nafas reformasi ternyata bisa mengubah situasi dengan memperluas kebebasan hampir di semua bidang kehidupan pada satu sisi, dan perlahan-lahan mengakhiri era dan rezim diktator dalam semua bidang umumnya dan dalam bidang pendidikan khususnya pada sisi lainnya. 

Hembusan nafas reformasi itu rupanya memperoleh afirmasi dengan lahirnya Undang-undang perlindungan anak dan juga peraturan menteri pendidikan dan kebudayaan yang mengambil pendasaran dari Undang-undang No 35 Tahun 2014.

Saya merasakan kewaspadaan besar yang muncul dari para guru terkait efek positif dari Undang-undang No 35 Tahun 2014. Undang-undang itu tidak hanya menyadarkan guru-guru, tetapi juga membuka pintu kesadaran orang tua dan anak didik untuk merayakan kebebasan mereka di sekolah dalam menikmati ilmu.

Catatan kritis: Guru diselamatkan, muridnya yang kurang berdaya?

Tidak sedikit juga pernyataan-pernyataan informal dari para guru khususnya di Flores sejauh yang pernah saya dengar tentang kemerosotan kualitas pendidikan sejak pemberlakuan Undang-undang perlindungan anak.

Beda generasi, beda cara dan rupanya juga bisa beda kualitas. Ya, itu cuma sedikit ungkapan spontan dari para guru saja. Ketika anak-anak selalu berada di bawah payung Undang-undang perlindungan anak, maka anak-anak itu tampak tidak terlalu punya motivasi dan daya juang, bahkan cengeng dan lain sebagainya.

Berbeda dengan anak-anak pada masa orde baru, mereka terlihat lebih cekatan, disiplin dan taat. Rasanya jelas, beda generasi itu juga melahirkan perbedaan karakter manusia yang juga tentu punya kekuatan dan kelemahannya masing-masing.

Demikian tiga alasan mengapa Undang-undang perlindungan anak telah menyelamatkan guru dan juga membuka perspektif baru dalam bingkai pendidikan tanpa kekerasan. Tulisan ini tentu merupakan perspektif pribadi yang masih saja jauh dari gagasan sempurna. Oleh karena itu, komentar dan percikan gagasan lain dari penulis lain tentunya sangat berguna. Catatan ini akhirnya bermaksud agar memotivasi guru-guru supaya bisa menemukan titik keseimbangan antara cara lama dan kekinian, tanpa kekerasan.

Salam berbagi, ino, 27.11.2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun