Hembusan nafas reformasi itu rupanya memperoleh afirmasi dengan lahirnya Undang-undang perlindungan anak dan juga peraturan menteri pendidikan dan kebudayaan yang mengambil pendasaran dari Undang-undang No 35 Tahun 2014.
Saya merasakan kewaspadaan besar yang muncul dari para guru terkait efek positif dari Undang-undang No 35 Tahun 2014. Undang-undang itu tidak hanya menyadarkan guru-guru, tetapi juga membuka pintu kesadaran orang tua dan anak didik untuk merayakan kebebasan mereka di sekolah dalam menikmati ilmu.
Catatan kritis: Guru diselamatkan, muridnya yang kurang berdaya?
Tidak sedikit juga pernyataan-pernyataan informal dari para guru khususnya di Flores sejauh yang pernah saya dengar tentang kemerosotan kualitas pendidikan sejak pemberlakuan Undang-undang perlindungan anak.
Beda generasi, beda cara dan rupanya juga bisa beda kualitas. Ya, itu cuma sedikit ungkapan spontan dari para guru saja. Ketika anak-anak selalu berada di bawah payung Undang-undang perlindungan anak, maka anak-anak itu tampak tidak terlalu punya motivasi dan daya juang, bahkan cengeng dan lain sebagainya.
Berbeda dengan anak-anak pada masa orde baru, mereka terlihat lebih cekatan, disiplin dan taat. Rasanya jelas, beda generasi itu juga melahirkan perbedaan karakter manusia yang juga tentu punya kekuatan dan kelemahannya masing-masing.
Demikian tiga alasan mengapa Undang-undang perlindungan anak telah menyelamatkan guru dan juga membuka perspektif baru dalam bingkai pendidikan tanpa kekerasan. Tulisan ini tentu merupakan perspektif pribadi yang masih saja jauh dari gagasan sempurna. Oleh karena itu, komentar dan percikan gagasan lain dari penulis lain tentunya sangat berguna. Catatan ini akhirnya bermaksud agar memotivasi guru-guru supaya bisa menemukan titik keseimbangan antara cara lama dan kekinian, tanpa kekerasan.
Salam berbagi, ino, 27.11.2021