Saya yakin kekerasan di sekolah itu selalu dianggap biasa pada saat itu. Ya, lagi-lagi guru-guru berlindung pada pepatah bijak "di ujung rotan ada emas." Apa jadinya jika semua tindakan itu dirujuk kembali, maka ada begitu banyak sekali guru-guru yang harus dikenakan pasal hukum.
Hasil penelitian  Plan Internasional dan ICRW tahun 2015 membuktikan bahwa ada 84 % pelajar di Indonesia mengalami kekerasan di sekolah. Padahal ada Undang-undang yang sudah mengatur tentang hal itu pada tahun sebelumnya.
Undang-undang No 35 Tahun 2014 pasal 54 ayat 1 sebenarnya sudah menjadi patokan formal terkait perlindungan Anak dari aneka tindak kekerasan fisik, psikis dan seksual.
Komisi perlindungan anak Indonesia pernah merilis laporan bahwa setelah tahun 2015 terjadi penurunan jumlah kasus kekerasan secara drastis dari 461 kasus pada tahun 2014 ke 220 kasus di pertengahan tahun 2015.
Ya, angka  penurunan kasus itu sangat mungkin karena adanya Undang-undang Perlindungan Anak. Bayangkan, apa jadinya jika tanpa Undang-undang perlindungan Anak?
2. Undang-undang Perlindungan Anak telah mengubah perspektif tentang pendidikan tanpa kekerasan (non violence)
Tidak bisa disangkal bahwa zaman dulu hampir semua orang hidup bersama dengan keyakinan bahwa yang sulit saat ini menjadi tanda untuk yang mudah nantinya. Demikian juga orang selalu mengulang kembali pepatah ini, "bersusah-susah dahulu, bersenang-bersenang kemudian.
Tafsiran yang keliru dalam hal ini adalah termasuk terkait dengan tindakan kekerasan dianggap akan memberikan kesenangan pada masa yang akan datang. Tidak jarang orang mendengar ucapan dari guru-guru dulu, "kalau dulu kami tidak keras, kamu pasti tidak bisa jadi orang."
Argumen apa yang bisa membantah hal itu? Kenyataan membuktikan bahwa dari latar belakang pendidikan yang keras itulah, lahir generasi yang disiplin, sukses dan lainnya sebagainya, bahkan pemimpin-pemimpin yang hebat.
Meskipun demikian, pertanyaannya apakah hanya melalui metode kekerasan itu yang menjadikan seseorang jadi orang sukses saat sekarang ini? Tentu tidak.
Tanpa mempermasalahkan cara pendekatan guru-guru pada masa dulu, bisa jadi metode pendidikan apa pun itu berjalan bersama seiring dengan perubahan zaman dengan segala macam kemajuannya.