Mohon tunggu...
Inosensius I. Sigaze
Inosensius I. Sigaze Mohon Tunggu... Lainnya - Membaca dunia dan berbagi

Mempelajari ilmu Filsafat dan Teologi, Politik, Pendidikan dan Dialog Budaya-Antaragama di Jerman, Founder of Suara Keheningan.org, Seelsorge und Sterbebegleitung dan Mitglied des Karmeliterordens der Provinz Indonesien | Email: inokarmel2023@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Mengapa Ada "Familiarity Breeds Contempt" di Masa Pandemi Covid19 di Indonesia?

2 Agustus 2021   07:34 Diperbarui: 2 Agustus 2021   07:37 576
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi tentang Familiarity breeds contempt di masa pandemi covid19 di Indonesia | Dokumen diambil dari bali.polri.go.id

Kemampuan mengendalikan diri, mengontrol emosi dan waspada dalam situasi krisis covid19 sudah menjadi nilai yang tidak terbayarkan sama sekali. Ya, semua perlu memilikinya.

Pepatah dan ungkapan bisa saja menjadi semacam kesimpulan dari kenyataan riil yang sedang terjadi, meskipun demikian sebaliknya bisa juga bahwa pepatah dan ungkapan-ungkapan apa saja bisa dipakai untuk menjelaskan kenyataan aktual saat ini.

Nah ada ungkapan Inggris Familiarity breeds contempt yang akan dibahas dalam kaitannya dengan konteks krisis pandemi covid19 khususnya di Indonesia.

Ungkapan Familiarity breeds contempt umumnya untuk mengatakan bahwa jika seseorang mengenal sesamanya atau situasi dengan sangat baik, maka seseorang akan dengan mudah kehilangan respek terhadap orang itu atau menjadi ceroboh dalam situasi itu.

Sejak pandemi Covid19 menerpa jagat dunia termasuk Indonesia, baru kemarin benar-benar merasakan betapa covid19 telah mengacaukan semua.

Di tengah suasana caos itu, tampak manusia dengan berbagai cara baik secara formal maupun tidak formal berusaha menjaga hidupnya dan hidup orang lain.

Kehidupan dan nilainya di tengah pandemi covid19 ini menjadi begitu berarti, hingga manusia sendiri menciptakan perangkat aturan untuk semakin memperketat kompromi diri sendiri karena hanya ingin memenuhi keinginan yang egoistis.

Beribu-ribu alasan terdengar bertaburan di bandara Soekarno Hatta, namun tidak ada satupun yang lolos dari reksa perlindungan manusia dan strategi membatasi penyebaran covid19.

Ya, suatu solidaritas global atas nama kemanusiaan semakin dirasakan hingga menyebar ke seluruh pelosok dunia. Tak hanya itu, semakin manusia berusaha melindungi dirinya dengan menciptakan begitu banyak peraturan, ada pula kesan dan pengalaman yang lain bahwa semuanya menjadi begitu rumit dan penuh ketegangan.

Saat mendengar bagaimana persyaratan perjalanan ke luar negeri, sudah bisa membayangkan betapa rumitnya semua proses pemeriksaan di bandara. Ketika benar-benar mengalami perjalanan itu saat ini, saya benar-benar tidak menyukainya.

Ya semakin saya mengenal situasi saat ini, saya semakin tidak suka atau Familiarity breeds contempt. Saya tidak suka dengan situasi itu bukan berarti saya tidak suka dengan segala kebijakan terkait covid19.

Saya tidak suka karena saya sendiri tidak sanggup untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan itu, yang saya tahu sangat berguna bagi hidup sendiri dan hidup banyak orang lainnya.

Pertanyaannya, mengapa ungkapan Familiarity breeds contempt dalam konteks pandemi covid19 di Indonesia menjadi relevan? Ada beberapa alasan yang bisa ditemukan dalam 4 situasi berikut ini:

1. Bus pembawa penumpang dan halaman tunggu wisma atlet

Semakin orang mengenal ganasnya penyebaran covid19, semakin mudah pula orang jauh dari respek pada tuntutan kesehatan. Aneh bukan?

Selama ini saya hanya mengikuti perkembangan tentang situasi covid19 di tanah air hanya dari pemberitaan media; kemarin saya baru menyaksikan sendiri, seperti apa kenyataannya.

Betapa konyolnya tata aturan itu khususnya di dalam bus. Ada perbedaan yang sangat mencolok saat dari bandara ke wisma atlet. Terasa aneh sekali, kenapa setiap tempat duduk di dalam bus itu harus diisi?

Coba bayangkan di pesawat saja posisi duduk masih diatur sedemikian supaya tidak berdekatan bagi yang bukan serumah, nah berbeda dengan situasi konkret kemarin dari bandara ke wisma atlet, seakan di dalam bus itu aturan tidak berlaku lagi.

Terasa sekali bahwa semuanya punya resiko yang sangat besar. Jaga jarak rupanya tidak bisa dilakukan karena situasi, belum lagi penjual makanan datang menawarkan makanan dan itu semua tanpa ada jarak lagi.

Kesan saya seakan-akan semua pendatang baru yang masuk ke Indonesia selalu punya peluang terjebak situasi  hingga terpapar covid19. 

Semakin seseorang mengenal situasi, semakin seseorang itu kehilangan respeknya (Familiarity breeds contempt ) bukan lagi sebagai suatu ungkapan saja, tetapi suatu kenyataan.

Para penjual makanan, yang setiap hari mengadu nasib terkadang kehilangan respek pada tuntutan dan situasi krisis covid19. Ya itulah dilema kita semua, antara berjuang untuk hidup dan resiko yang bisa mengancam hidup hadir bersama, bahkan hampir tidak punya dinding lagi. 

Mau salahkan siapa? Saya yakin semua itu dilakukan hanya atas nama hidup, keluarga dan anak-anak. Mereka mengenal situasi, namun juga mereka seperti kehilangan respek pada protokol kesehatan (prokes) yang sedang berlaku.

2. Penipuan dalam bentuk yang paling halus pun berjalan bersamaan dengan situasi krisis ini

Di tengah situasi tidak punya connecting internet, muncullah seorang pemuda ramah, menyapa dengan sopan sambil menawarkan paket data smartfren super kuota seharga 100 ribu.

Beberapa teman yang seperjalanan juga membeli paket itu, rupanya kami semua punya kebutuhan sama. Dua puluh menit kemudian, setelah penjualnya pergi kami masing-masing sibuk memasukan sim card baru itu ke hp masing-masing.

Mula-mula terasa aneh karena sinyal saja tidak bisa tangkap apa-apa, berulang kali dan dengan berbagai cara dilakukan, namun tidak berfungsi.

Ternyata pengalaman yang sama bukan cuma saya, tetapi juga dialami semua teman yang membeli paket itu. Kami semua hanya bisa berkata, "nasib..nasib, biarlah untuk membantu yang susah, apalagi di saat krisis seperti ini."

"Semakin saya kenal, saya semakin tidak suka" ya bisa saja terjadi karena  kenyataan-kenyataan seperti orang memanfaatkan situasi dan kesulitan orang lain.

Pengalaman kecil yang tidak enak itu turut membentuk kesan dan rasa tidak suka. Tapi itulah kenyataan negeri ini yang selalu tidak mudah karena ada begitu banyak manusia dengan segala macam situasinya sendiri.

3. Umumnya orang tidak suka dikontrol

Kenyataan krisis saat ini telah mengubah situasi bandara hingga berlapis-lapis penjagaan dan aneka pertanyaan kepada para pendatang baru. Ya, kesan seperti suasana darurat, pemeriksaan berulang-ulang dan berkali-kali hingga pengarahan terkait tata aturan praktis kesehatan. 

Sesuatu yang patut diberikan apresiasi setinggi-tingginya kepada pihak Polri dan TNI yang bersedia setiap hari berdiri menjaga, mengawasi dan memperlancar program-program pemerintah terkait protokol kesehatan (prokes) di masa krisis covid19 ini.

Semakin saya kenal situasi itu, saya semakin tidak suka bukan karena hal-hal negatif di sana, tetapi karena saya membayangkan kelelahan mereka setiap hari berdiri menjaga dan mengawasi penumpang yang datang dan pergi di satu sisi. 

Sementara itu, tentu banyak orang tidak suka kalau selalu dikontrol dan harus berulang kali menjelaskan tujuan perjalanan, asal penerbangan dan lain sebagainya pada sisi yang lainnya.

4. Terpaksa mengikuti PCR Tes meskipun badan terasa lelah karena perjalanan jauh

Mengikuti tes PCR (Polymerase chain reaction) di hotel penginapan oleh tim satgas dan tim medis itu sebetulnya bukan merupakan persoalan, namun coba bisa dibayangkan setelah 17 jam perjalanan lalu sekitar 3 jam menunggu dan situasi lainnya.

Kemudian dengan situasi seperti itu, orang harus mengikuti tes PCR, benar-benar seseorang berada dalam situasi ketegangan dan kelelahan. Pertanyaannya apakah dengan situasi seperti itu merupakan situasi ideal untuk mengikuti suatu tes PCR.

Demi kepastian kondisi sehat, semua itu dilakukan, ya mesti dengan penuh pengertian dan kesabaran. Saya percaya bahwa semua aturan yang dibuat pemerintah di masa krisis covid19 ini bertujuan untuk hidup dan keselamatan manusia.

Semakin mengenal keadaan itu, saya semakin tidak suka, sebenarnya hanya karena cara tertentu saja, seperti misalnya tes yang dilakukan tidak dalam kondisi yang benar-benar siap, namun oleh karena situasi khusus dan untuk tujuan yang lebih besar dan demi kepentingan keselamatan banyak orang, maka mau tidak mau, saya belajar mengikuti dengan lapang hati.

Semakin mengenal situasi, maka semakin ceroboh bisa saja terjadi di mana saja dan kapan saja, lebih-lebih ketika kompromi kepentingan tertentu menyusup masuk ke sana. Itulah kenyataan, selalu saja ada yang ceroboh, tidak respek dan memanfaatkan situasi sulit orang lain.

Demikian beberapa alasan mengapa ungkapan Familiarity breeds contempt relevant. Meskipun ungkapan itu relevant, orang tidak diharapkan hidup dalam pengaruh ungkapan itu, tetapi orang perlu mengetahui agar semakin ia mengenal situasi, semestinya semakin orang punya respek pada orang lain, petugas satgas dan tim medis, juga respek pada situasi dan kebutuhan orang lain.

Salam berbagi, ino, 2.08. 2021.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun