Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Hanya Genjot Pembangunan Rumah Sakit, Lupa Meningkatkan Kesadaran Masyarakat terhadap Kesehatan

5 Januari 2016   22:17 Diperbarui: 29 Maret 2016   05:40 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Selama hampir 10 tahun memimpin Indonesia, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), mengaku sudah meningkatkan fasilitas kesehatan publik. Dia mengatakan, selama 10 tahun memimpin, ada peningkatan 600 persen dalam pembangunan rumah sakit.” Ini ada dalam berita “Presiden SBY: Pembangunan Rumah Sakit Meningkat 600 Persen” (detiknews, 14/7-2015).

Pernyataan di atas bukan kebanggaan, tapi keprihatinan karena jika dikaitkan dengan kesadaran masyarakat Indonesia dalam memelihara kesehatan data itu menunjukkan jumlah penduduk yang sakit terus bertambah. Dengan data itu pun ada kemungkinan tingkat rawat inap yang sangat tinggi karena penyakit-penyakit infeksi (menular) dan noninfeksi (tidak menular).

Tingkat kesadaran masyarakat untuk menjaga diri agar tidak sakit ternyata menjadi ‘sasaran tembak’ pengusaha. “Keberadaan rumah sakit swasta diprediksi akan mengalami kenaikan 5%-10% pada tahun depan. Namun, kemungkinan besar pertumbuhan hanya akan terjadi untuk kategori rumah sakit umum.” (bisnis.com, 14/7-2015).

Per Januari 2014 jumlah rumah sakit pemerintah (Kemenkes, pemprov, pemkab, pemkot dan instansi lain) tercatat 1.774 yang terdiri atas rumah sakit umum 1.604 dan rumah sakit khusus 170. Sedangan jumlah rumah sakit swasta yang terdaftar per 1 Januari 2014 sebanyak 542 rumah sakit umum dan 266 rumah sakit khusus. Selain itu ada 706 rumah sakit swasta nonprofit yang terdiri atas 539 rumah sakit umum dan 167 rumah sakit khusus. Ada lagi 62 rumah sakit BUMN yang terdiri atas 55 rumah sakit umum dan 7 rumah sakit khusus (sirs.buk.depkes.go.id).  Dengan jumlah ini tersedia 308.379 tempat tidur untuk rawat inap. Jumlah tenaga kesehatan yaitu dokter umum, dokter spesialis, perawat, dll. sebanyak 503.379.

Jumlah penduduk yang berobat al. bisa dilihat dari jumlah klaim rumah-rumah sakit dan fasilitas kesehatan lain ke Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan yaitu JKN (Jaminan Kesehatan Nasional). Dilaporkan dengan peserta BPJS Kesehatan yang mencapai 153 juta ada indikasi defisit neraca keuangan telah terlihat pada kuartal I/2015. Sepanjang periode tersebut, neraca BPJS Kesehatan membukukan pendapatan iuran Rp12 triliun dengan jumlah klaim yang diproyeksikan mencapai Rp13 triliun, sehingga neraca keuangan diperkirakan defisit Rp1 triliun (bisnis.com. 4/6-2015).

Maka, amatlah beralasan kalau kemudian disebutkan tingkat kesadaran masyarakat terhadap kesehatan sangat rendah. "Angka sekunder dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 kami mencoba menilai, ternyata hanya baru 20 persen masyarakat Indonesia yang sadar akan kesehatan. Ini tugas utama kita." Ini pernyataan Menteri Kesehatan Profesor Dr dr Nila Moeloek, SpM(K) dalam berita “Menkes: Baru 20 Persen Masyarakat Indonesia Sadar Kesehatan” (detiknews.com, 21/12-2015).

Untuk itulah diperlukan promosi kesehatan agar bisa menekan jumlah penduduk yang sakit, terutama karena penyakit tidak menular. Dalam tabel bisa dilihat dari 10 penyebab utama kematian di Indonesia tahun 1990 adalah 3 penyakit menular dan 7 penyakit tidak menular, sedangkan tahun 2013 hanya 2 penyakit menular.

Maka, inilah yang disebut Jokowi, dalam sebuah kesempatan ramah tamah pokja di “Rumah Transisi Jokowi-JK”,  aspek kespro (kesehatan reproduksi) juga menjadi masalah besar di Indoensia, seperti kematian ibu dan balita serta penyakit-penyakit yang menjadi penyebab kematian. “Itu benar. Masalah kesehatan merupakan salah satu persoalan besar yang akan dihadapi Jokowi-JK,” kata Prof Dr Ascobat Gani, MPH, DrPH, pakar kesehatan masyarakat di FKM UI.

Prof Ascobat menyebut selain penyakit menular ada penyakit degeneratif (penyakit yang tidak menular) menjadi persoalan besar di Indonesia, seperti darah tinggi, diabetes, dll. Untuk itulah Prof Ascobat, yang juga ikut dalam pokja Rumah Transisi Jokowi-JK, melihat perlu membalik pradigma berpikir terkait dengan pola hidup masyarakat.

Untuk menanggulangi kesehatan Prof Ascobat berharap ada perubahan besar terkait dengan puskesmas (pusat kesehatan masyarakat). Pada awalnya puskesmas dibangun sebagai ujung tombak untuk promosi dan pencegahan penyakit, tapi sepanjang perjalanannya justru berubah menjadi kuratif (pengobatan). Bahkan, ada puskesmas yang menyediakan rawat inap. “Kita harus kembalikan fungsi puskesmas menjadi ujung tombak yang mendidik masyarakat agar berperilaku sehat,” pinta Prof Ascobat.

Wakt itu Prof Ascobat berharap pemerintahan Jokowi-JK menyiapkan tenaga di puskesmas dengan kemampuan sosialisasi yang handal agar informasi tentang kesehatan bisa diterima masyarakat dengan akurat. Penyuluhan dilihat Prof Ascobat sangat penting karena diperlukan usaha untuk mendorong masyarakat memperbaiki pola hidup.

“Pemerintah membayar dokter yang bekerja di puskesmas minimal tiga tahun dan setelah selesai mereka diberikan penghargaan untuk melanjutkan pendidikan spesialis,” pinta Prof Ascobat. Untuk meningkatkan pelayanan Prof Ascobat berharap agar ada dokter spesialis anak, kebidanan dan penyakit dalam serta dokter gigi di setiap puskemas.

Maka, kalau sekarang puskesmas menjadi tempat pengobatan (kuratif), sudah saatnya mengembalikan peranan puskesmas sebagai ujung tombak promosi kesehatan yang mengajak penduduk memahami cara-cara menjaga kesehatan agar jumlah orang sakit terus berkurang.

Jika puskesmas menjalankan fungsinya menjadi promtor kesehatan, maka puskesmas akan mendeteksi penduduk dengan penyakit degeneratif agar ditangani dari awal sehingga mereka tidak sakit karena penyakit tsb.

Soalnya, BPJS Kesehatan akan klenger karena jumlah orang yang berobat dengan indikasi penyakit tidak menular terus bertambah. Celakanya, ada peserta BPJS Kesehatan yang baru bayar satu atau dua kali dengan tarif kelas tiga Rp 25.500 menjalani pengobatan dengan operasi yang memakan biaya puluhan bahan ratusan juta rupiah. Kondisinya kian runyam karena ada pula di antara mereka yang tidak membayar iuran setelah sembuh, dan akan mengaktifkan BPJS jika akan kembali berobat. ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun