Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Gadget

Perda AIDS Prov Banten: Menanggulangi AIDS dengan Pasal-pasal Normatif

5 Mei 2011   00:31 Diperbarui: 26 Mei 2018   00:51 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: ontopmag.com)

Sedangkan di pasal 29 ayat 1 huruf c disebutkan: “Masyarakat bertanggung jawab untuk berperan serta dalam kegiatan penanggulangan HIV dan AIDS serta perlindungan terhadap ODHA dan OHIDHA dengan cara meningkatkan ketahanan keluarga.” Ini pun normatif karena tidak ada kaitan langsung antara ’ketahanan keluarga’ dengan penularan HIV. Lagi pula tidak ada ukuran ’ketahanan keluarga’ yang konkret. Lagi-lagi pasal ini bisa menyudutkan Odha karena dianggap ketahanan keluarganya rendah sehingga tertular HIV.

Karena HIV/AIDS merupakan fakta medis, artinya bisa diuji di laboratorium dengan teknologi kedokteran, maka pencegahan dan penanggulangannya pun dapat dilakukan dengan cara-cara yang konkret. Tapi, karena sejak awal epidemi masalah HIV/AIDS di Indonesia dibawa ke ranah moral maka penanggulangannya pun dibumbui dengan norma, moral dan agama sehingga tidak konkret.

Salah satu langkah penanggulangan epidemi HIV yang ditawarkan dalam perda ini ada di pasal 6 ayat b: ”Pencegahan HIV dan AIDS dilakukan melalui menghindari seks bebas, setia pada pasangan yang sah dan menggunakan kondom bagi kelompok beresiko tinggi dalam setiap hubungan seks.”

Jika ’seks bebas’ di artikan sebagai zina yaitu hubungan seksual di luar nikah, seperti melacur, seks pranikah, ’jajan’, selingkuh, dll. maka pasal ini tidak akurat. Soalnya, tidak ada kaitan langsung antara ’seks bebas’ dengan penularan HIV. Penularan HIV melalui hubungan seksual (bisa) terjadi di dalam dan di luar nikah (sifat hubungan seksual) jika salah satu dari pasangan itu mengidap HIV dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali sanggama (kondisi hubungan seksual).

Fakta menunjukkan banyak kasus terdeteksi pada ibu-ibu rumah tangga. Ini membuktikan penularan HIV terjadi pada pasangan yang setia dan sah. Di Prov Banten sudah terdeteksi 10 ibu rumah tangga yang tertular HIV/AIDS. Pasangan yang sering kawin-cerai juga setia, tapi mereka berisiko karena sebelum mereka setia masing-masing dari mereka juga pernah mempunyai pasangan lain yang juga dalam ikatan pernikahan yang sah.

Langkah lain yang ditawarkan perda ini dalam penanggulangan epidemi HIV ada di pasal 6 ayat d: ”Pencegahan HIV dan AIDS dilakukan melalui pencegahan resiko penularan HIV dan AIDS dari ibu ke anak.” Celakanya, dalam perda ini tidak ada mekanisme yang sistematis untuk mendeteksi HIV pada ibu-ibu rumah tangga yang hamil. Di Malaysia ada survailans rutin terhadap perempuan hamil sehingga HIV/AIDS bisa terdeteksi.

Semangat moral menjadi ciri khas penanggulangan HIV dalam semua perda yang ada di Indonesia. Di pasal 20, misalnya, disebutkan: ”Setiap orang yang beresiko tinggi terjadi penularan IMS, HIV dan AIDS wajib memeriksakan kesehatannya secara rutin.”

Ini merupakan penanggulangan di hilir. Artinya, penduduk dibiarkan dulu tertular IMS atau HIV atau dua-duanya sekaligus baru ditangani. Sebelum orang-orang yang perilakunya berisiko memeriksakan diri mereka sudah menularkan IMS dan HIV atau dua-duanya kepada orang lain tanpa mereka sadari.

Selain itu tes HIV dengan reagent ELISA baru efektif bisa mendeteksi antibody HIV jika tertular HIV sudah lebih dari tiga bulan. Kalau tes HIV dilakukan pada masa jendela maka hasilnya bisa positif palsu (HIV tidak ada di dalam darah tapi hasil tes reaktif) atau negatif palsu (HIV sudah ada di dalam darah tapi hasil tes nonreaktif karena antibody HIV belum terbentuk).

Dua hasil tsb. sama-sama berdampak buruk. Bagi yang positif palsu berdampak terhadap kehidupannya karena akan menerima berbagai konsekuensi. Sedangkan yang negatif palsu akan berdampak pada penyebaran HIV karena dia dianggap tidak tertular HIV. Itulah sebabnya standar prosedur operasi tes HIV yang baku mengharuskan tes konfirmasi. Artinya, tes pertama dikonfirmasi dengan tes lain.

Maka, kalau saja perda ini dirancang dengan pijakan fakta medis maka yang perlu dilakukan adalah penanggulangan di hulu yaitu menurunkan insiden infeksi HIV baru, yaitu pada: (a) laki-laki dewasa melalui hubungan seksual, (b) perempuan dalam hal ini istri dari suami melalui hubungan seksual, (c) bayi dari ibu yang mengidap HIV, (d) penyalahguna narkoba dengan suntikan secara bergantian (e) transfusi darah, dan (f) jarum suntik dan alat-alat kesehatan. Penanggulangan pada enam sektor ini bisa dilakukan di hulu sehingga menurunkan insiden infeksi HIV baru melalui intervensi yang konkret, terutama pada sektor a, b dan c.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun