Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Gadget

Perda AIDS Prov Banten: Menanggulangi AIDS dengan Pasal-pasal Normatif

5 Mei 2011   00:31 Diperbarui: 26 Mei 2018   00:51 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: ontopmag.com)

Ketika banyak negara kelabakan menghadapi kenyataan berupa penemuan kasus HIV/AIDS yang terus bertambah, Indonesia justru menampik HIV/AIDS akan masuk ke Indonesia. Maka, ketika di banyak negara insiden infeksi HIV baru di kalangan dewasa mulai menunjukkan grafik yang mendatar di Indonesia justru kasus terus meroket. Bahkan, Indonesia merupakan salah satu dari tiga negara di Asia dengan percepatan kasus HIV, terutama melalui jarum suntik pada penyalahguna narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya), yang tinggi setelah Cina dan India.

Celakanya, tanggapan terhadap penyebaran HIV dilakukan dengan cara-cara yang tidak rasional. Salah satu di antaranya adalah menerbitkan peraturan daerah (Perda) penanggulangan HIV/AIDS. Tapi, lagi-lagi upaya penanggulangan tidak berhasil karena perda-perda itu hanya mengedepankan norma, moral dan agama sebagai pijakan penanggulangan HIV/AIDS. Itulah yang terjadi pada rancangan peraturan daerah (Raperda) AIDS Prov Banten (Baca juga: Rancangan Perda AIDS Prov Banten Tidak Menukik ke Akar Masalah AIDS).

Dalam Perda Prov Banten No 6 Tahun 2010 tanggal 19 November 2010, misalnya, pada bagian peran serta masyarakat dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS di pasal 29 ayat 1 huruf a disebutkan: “Masyarakat bertanggung jawab untuk berperan serta dalam kegiatan penanggulangan HIV dan AIDS serta perlindungan terhadap ODHA dan OHIDHA dengan cara meningkatkan iman dan taqwa serta pemahaman agama.”

Pasal ini normatif, karena:

(a) Tidak ada kaitan langsung antara penularan HIV dengan iman dan taqwa.

(b) Apa takaran atau parameter yang dipakai untuk mengukur (tingkat) iman dan taqwa?

(c) Berapa ukuran iman dan taqwa yang bisa mencegah penularan HIV?

(d) Siapa yang berkompeten mengukur atau menakar iman dan taqwa seseorang?

Jika dibawa ke realitas sosial maka pasal 29 ayat 1 huruf a ini justru bisa mendorong masyarakat melakukan stigmatisasi (pemberian cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan yang berbeda) terhadap orang-orang yang mengidap HIV (Odha-Orang dengan HIV/AIDS) karena ada anggapan Odha tertular HIV karena tidak beriman dan tidak bertaqwa.

Tentu ini menghujat, menghina dan melecehkan orang-orang yang tertular HIV di luar kemampuan mereka untuk mencegahnya, seperti istri yang ditulari suaminya, anak yang tertular dari ibunya, yang tertular dari transfusi darah, dll. Prov Banten sendiri dikabarkan masuk dalam tujuh daerah besar penyebaran HIV/AIDS (Baca juga: Menyoal Kerawanan Banten terhadap HIV/AIDS).

Di pasal 29 ayat 1 huruf b disebutkan: “Masyarakat bertanggung jawab untuk berperan serta dalam kegiatan penanggulangan HIV dan AIDS serta perlindungan terhadap ODHA dan OHIDHA dengan cara berperilaku hidup sehat.” Pasal ini pun tidak konkret karena tidak ada kaitan langsung antara ’perilaku hidup sehat’ dengan penularan HIV. Lagi pula, apa ukuran ’perilaku hidup sehat’ yang bisa mencegah seseorang tertular HIV?

Sedangkan di pasal 29 ayat 1 huruf c disebutkan: “Masyarakat bertanggung jawab untuk berperan serta dalam kegiatan penanggulangan HIV dan AIDS serta perlindungan terhadap ODHA dan OHIDHA dengan cara meningkatkan ketahanan keluarga.” Ini pun normatif karena tidak ada kaitan langsung antara ’ketahanan keluarga’ dengan penularan HIV. Lagi pula tidak ada ukuran ’ketahanan keluarga’ yang konkret. Lagi-lagi pasal ini bisa menyudutkan Odha karena dianggap ketahanan keluarganya rendah sehingga tertular HIV.

Karena HIV/AIDS merupakan fakta medis, artinya bisa diuji di laboratorium dengan teknologi kedokteran, maka pencegahan dan penanggulangannya pun dapat dilakukan dengan cara-cara yang konkret. Tapi, karena sejak awal epidemi masalah HIV/AIDS di Indonesia dibawa ke ranah moral maka penanggulangannya pun dibumbui dengan norma, moral dan agama sehingga tidak konkret.

Salah satu langkah penanggulangan epidemi HIV yang ditawarkan dalam perda ini ada di pasal 6 ayat b: ”Pencegahan HIV dan AIDS dilakukan melalui menghindari seks bebas, setia pada pasangan yang sah dan menggunakan kondom bagi kelompok beresiko tinggi dalam setiap hubungan seks.”

Jika ’seks bebas’ di artikan sebagai zina yaitu hubungan seksual di luar nikah, seperti melacur, seks pranikah, ’jajan’, selingkuh, dll. maka pasal ini tidak akurat. Soalnya, tidak ada kaitan langsung antara ’seks bebas’ dengan penularan HIV. Penularan HIV melalui hubungan seksual (bisa) terjadi di dalam dan di luar nikah (sifat hubungan seksual) jika salah satu dari pasangan itu mengidap HIV dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali sanggama (kondisi hubungan seksual).

Fakta menunjukkan banyak kasus terdeteksi pada ibu-ibu rumah tangga. Ini membuktikan penularan HIV terjadi pada pasangan yang setia dan sah. Di Prov Banten sudah terdeteksi 10 ibu rumah tangga yang tertular HIV/AIDS. Pasangan yang sering kawin-cerai juga setia, tapi mereka berisiko karena sebelum mereka setia masing-masing dari mereka juga pernah mempunyai pasangan lain yang juga dalam ikatan pernikahan yang sah.

Langkah lain yang ditawarkan perda ini dalam penanggulangan epidemi HIV ada di pasal 6 ayat d: ”Pencegahan HIV dan AIDS dilakukan melalui pencegahan resiko penularan HIV dan AIDS dari ibu ke anak.” Celakanya, dalam perda ini tidak ada mekanisme yang sistematis untuk mendeteksi HIV pada ibu-ibu rumah tangga yang hamil. Di Malaysia ada survailans rutin terhadap perempuan hamil sehingga HIV/AIDS bisa terdeteksi.

Semangat moral menjadi ciri khas penanggulangan HIV dalam semua perda yang ada di Indonesia. Di pasal 20, misalnya, disebutkan: ”Setiap orang yang beresiko tinggi terjadi penularan IMS, HIV dan AIDS wajib memeriksakan kesehatannya secara rutin.”

Ini merupakan penanggulangan di hilir. Artinya, penduduk dibiarkan dulu tertular IMS atau HIV atau dua-duanya sekaligus baru ditangani. Sebelum orang-orang yang perilakunya berisiko memeriksakan diri mereka sudah menularkan IMS dan HIV atau dua-duanya kepada orang lain tanpa mereka sadari.

Selain itu tes HIV dengan reagent ELISA baru efektif bisa mendeteksi antibody HIV jika tertular HIV sudah lebih dari tiga bulan. Kalau tes HIV dilakukan pada masa jendela maka hasilnya bisa positif palsu (HIV tidak ada di dalam darah tapi hasil tes reaktif) atau negatif palsu (HIV sudah ada di dalam darah tapi hasil tes nonreaktif karena antibody HIV belum terbentuk).

Dua hasil tsb. sama-sama berdampak buruk. Bagi yang positif palsu berdampak terhadap kehidupannya karena akan menerima berbagai konsekuensi. Sedangkan yang negatif palsu akan berdampak pada penyebaran HIV karena dia dianggap tidak tertular HIV. Itulah sebabnya standar prosedur operasi tes HIV yang baku mengharuskan tes konfirmasi. Artinya, tes pertama dikonfirmasi dengan tes lain.

Maka, kalau saja perda ini dirancang dengan pijakan fakta medis maka yang perlu dilakukan adalah penanggulangan di hulu yaitu menurunkan insiden infeksi HIV baru, yaitu pada: (a) laki-laki dewasa melalui hubungan seksual, (b) perempuan dalam hal ini istri dari suami melalui hubungan seksual, (c) bayi dari ibu yang mengidap HIV, (d) penyalahguna narkoba dengan suntikan secara bergantian (e) transfusi darah, dan (f) jarum suntik dan alat-alat kesehatan. Penanggulangan pada enam sektor ini bisa dilakukan di hulu sehingga menurunkan insiden infeksi HIV baru melalui intervensi yang konkret, terutama pada sektor a, b dan c.

Intervensi pada sektor a yaitu mewajiban setiap laki-laki dewasa memakai kondom jika melakukan hubungan seksual di dalam dan di luar nikah dengan PSK langsung atau PSK tidak langsung di wilayah Banten atau di luar Banten. Sektor b yaitu mewajibkan suami yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual dengan PSK langsung dan PSK tidak langsung memakai kondom jika sanggama dengan istrinya. Sedangkan sektor c yaitu menerapkan pencegahan dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya.

Upaya menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan PSK sudah berhasil dilakukan Thailand melalui program ’wajib kondom 100 persen’. Program ini juga dicangkok dalam perda-perda AIDS di Indonesia tapi dengan setengah hati. Ini terjadi karena perda bernuansa moral untuk menanggulangi fakta.

Lihatlah di pasal 21: ”Setiap pemilik dan/atau pengelola tempat hiburan, atau sejenisnya yang menjadi tempat berisiko tinggi, wajib memberikan infomasi atau penyuluhan secara berkala mengenai pencegahan HIV dan AIDS kepada semua pekerjanya.”

Penyebutan ’tempat berisiko tinggi’ merupakan konotasi yang mengaburkan makna. Jika dikaitkan dengan epidemi IMS dan HIV tentulah ’tempat berisiko tinggi’ adalah lokasi atau lokalisasi pelacuran serta losmen, motel, hotel melati dan hotel berbintang yang menyediakan PSK langsung atau PSK langsung (pekerja seks di lokasi atau lokalisasi pelacuran, cewek panggilan di losmen, hotel melati dan hotel berbintang) dan PSK tidak langsung (’cewek bar’, ’cewek kampus’, ’anak sekolah’, ’cewek SPG’, selingkuhan, WIL, perempuan pemijat di panti pijat plus-plus, waria pekerja seks, dll.).

Jika menoleh ke Thailand maka sektor inilah yang bisa diintervensi perda yaitu mewajibkan pemakaian kondom. Yang perlu diingat adalah yang menjadi objek bukan PSK tapi germo atau mucikar. Soalnya, kalau PSK yang menjadi objek maka mereka selalu berada pada posisis tawar yang lemah. Artinya, laki-laki ’hidung belang’ akan memakai tangan germo untuk memaksa mereka meladeni laki-laki tanpa kondom.

Nah, Thailand memberikan izin usaha bagi germo sehingga kegiatan tsb. merupakan kegiatan yang diregulasi. Secara rutin dilakukan tes IMS terhadap PSK. Kalau ada PSK yang terdeteksi mengidap IMS maka germo diberikan sanksi hukum mulai dari teguran sampai pencabutan izin usaha. Bisa juga dikembangkan dengan hukuman pidana kurungan agar mempunyai efek jera.

Tapi, karena semangat penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia dikibarkan dengan bendera moral, maka cara-cara yang dilakukan pun tidak realistis.

Lihat saja di pasal 22: ”Setiap pemilik dan atau pengelola tempat hiburan, atau sejenisnya yang menjadi termpat berisiko tinggi, wajbi mendata pekerja yang menjadi tanggungjawabnya untuk dilakukan pemeriksaan kesehatan oleh petugas secara berkala.”

Pertama, yang menularkan IMS dan HIV atau dua-duanya sekaligus kepada PSK yang bekerja di tempat berisiko itu adalah laki-laki penduduk lokal, asli atau pendatang. Dalam kehidupan sehari-hari mereka bisa sebagai seorang suami, pacar, selingkuhan, dua, lajang atau remaja. Mereka inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat.

Kedua, PSK yang ditulari IMS dan HIV atau dua-duanya sekaligus akan menularkannya kepada laki-laki yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan mereka. Laki-laki yang tertular itu pun dalam kehidupan sehari-hari mereka bisa sebagai seorang suami, pacar, selingkuhan, dua, lajang atau remaja. Mereka inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat.

Bertolak dari dua fakta di atas tentulah pemeriksaan kesehatan PSK tidak ada manfaatnya karena: (a) laki-laki yang menularkan IMS dan HIV tidak terdeteksi dan (b) laki-laki yang tertular IMS dan HIV juga tidak terdeteksi. Maka, yang perlu dilakukan adalah intervensi.

Pertanyaan yang sangat mendasar adalah: Apakah Pemprov Banten dan DPRD Banten bisa menjamin tidak akan ada laki-laki dewasa penduduk Banten, asli atau pendatang, yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam atau di luar nikah, di wilayah Banten atau di luar wilayah Banten dengan PSK langsung atau PSK tidak langsung?

Kalau jawabannya BISA, maka tidak ada penyebaran HIV dengan faktor risiko (mode of transmission) hubungan seksual. Pemprov tinggal menanggulangi penyebaran dengan faktor risiko lain.

Tapi, kalau jawabannya TIDAK BISA, maka ada persoalan besar yang dihadapi Pemprov Banten yaitu penyebaran HIV dengan faktor risiko hubungan seksual. Ini dapat dilihat dari kasus HIV/AIDS pada ibu-ibu rumah tangga.

Maka, Pemprov Banten harus membuat regulasi, yaitu: (a) program ’wajib kondom 100 persen’ bagi laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK langsung dan PSK tidak langsung di wilayah Banten atau di luar Banten, (b) mekanisme pendeteksian kasus-kasus HIV/AIDS di masyarakat, dan (c) mekanisme pendeteksian kasus HIV/AIDS pada perempuan hamil.

Jika tidak ada langkah-langkah konkret, maka penyebaran HIV di Prov Banten akan menjadi ’bom waktu’ ledakan AIDS di masa yang akan datang. ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun