Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Gadget

Rancangan Perda AIDS Prov Banten Tidak Menukik ke Akar Masalah AIDS

2 September 2010   11:44 Diperbarui: 26 Mei 2018   00:48 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: ifejackets.com)

Pemprov Banten akan menelurkan peraturan daerah (Perda) tentang penanggulangan HIV dan AIDS. Jika Perda ini disahkan oleh DPRD Banten maka ini merupakan Perda ke 38 di Indonesia. Seperti halnya perda-perda yang sudah ada: Apakah perda ini nasibnya juga akan sama dengan perda-perda lain? Untuk itulah perda ini perlu dibuat secara komprehensif agar tidak hanya sebagai copy-paste dari perda yang sudah ada.

Perda yang komprehensif akan bisa dipakai sebagai pijakan hukum untuk mendorong penduduk Prov. Banten agar ikut serta secara aktif memutus mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk. Dengan kasus kumulatif HIV/AIDS yang mencapai 1.800 per Juni 2010 menunjukkan epidemi HIV di Prov. Banten tidak bisa lagi dipandang dengan sebelah mata. Angka ini pun hanya sebagian kecil karena epidemi HIV erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Yang terdeteksi hanya sebagian kecil dari kasus yang ada di masyarakat.

Perilaku Berisiko

Dalam semua perda yang sudah ada, termasuk Ranperda AIDS Prov Banten, tidak ada pasal yang menukik ke akar persoalan terkait dengan epidemi HIV, yaitu: (a) tidak ada mekanisme untuk mendeteksi kasus HIV dan AIDS yang tersembunyi di masyarakat, (b) tidak ada cara pencegahan melalui hubungan seksual di dalam dan di luar nikah yang akurat, dan (c) tidak ada cara untuk memutus mata rantai penyebaran HIV secara horizontal.

Kasus-kasus HIV dan AIDS yang tersembunyi di masyarakat terjadi karena banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV. Soalnya, tidak ada gejala-gejala yang khas AIDS pada fisik mereka sebelum masa AIDS (antara 5-15 tahun setelah tertular HIV). Tapi, mereka sudah bisa menularkan HIV kepada orang lain melalui: (a) hubungan seks tanpa kondom di dalam dan di luar nikah, (b) transfusi darah yang didonorkan pada masa jendela, (c) jarum suntik dan alat-alat kesehatan yang dipakai secara bergantian, dan (d) air susu ibu (ASI).

Penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk terjadi karena ada penduduk, laki-laki dan perempuan, yang menjadi mata rantai yaitu mereka yang sudah mengidap HIV tapi tidak terdeteksi. Dalam kehidupan sehari-hari mereka bisa sebagai seorang suami atau istri, lajang, duda atau remaja. Laki-laki yang sudah mengidap HIV akan menularkan HIV kepada istrinya bagi yang beristri, kepada pacar atau pekerja seks. Laki-laki yang kemudian melakukan hubungan seks dengan pekerja seks yang sudah tertular HIV berisiko pula tertular HIV. Ini menambah mata rantai penyebaran HIV.

Tingkat probabilitas tertular HIV tergantung kepada keseringan penduduk melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks dan pelaku kawin-cerai. Kegiatan ini disebut perilaku berisiko tinggi tertular HIV yang bisa saja dilakukan penduduk Banten di wilayah Banten, di luar Banten atau di luar negeri.

Upaya untuk mencegah penyebaran HIV melalui hubungan seks berisiko secara horizontal antar penduduk tidak ada dalam rancangan perda ini. Padahal, inilah mata rantai yang mendorong penyebaran HIV.

Pada pasal 6 ayat a disebutkan: “Pencegahan HIV dan AIDS dilakukan melalui kegiatan promosi yang meliputi komunikasi, informasi dan edukasi dalam rangka menumbuhkan sikap dan perilaku hidup bersih dan sehat.” Materi penyuluhan yang akurat memang menjadi salah satu cara untuk meningkatkan kepedulian masyarakat dalam menanggulangi epidemi HIV yaitu. agar penduduk tidak lagi melakukan perilaku berisiko tinggi tertular HIV. Jadi, bukan untuk ‘menumbuhkan sikap dan perilaku hidup bersih dan sehat’. Ini mitos (anggapan yang salah) karena tidak ada kaitan langsung antara ‘sikap dan perilaku hidup bersih dan sehat’ dengan penularan HIV. Lagi pula pasal ini akan mendorong stigmatitasi (pemberian cap negatif atau buruk) serta diskriminasi (membeda-bedakan) terhadap orang-orang yang tertular HIV karena ada kesan mereka tidak hidup bersih dan sehat sehingga tertular HIV.

Maka pasal 6 ayat a akan berbunyi: “Pencegahan HIV dan AIDS dilakukan melalui kegiatan promosi yang meliputi komunikasi, informasi dan edukasi dengan materi HIV dan AIDS yang akurat untuk mendorong masyarakat tidak melakukan perilaku berisiko tinggi tertular HIV.”

Di pasal 6 ayat b disebutkan: “Pencegahan HIV dan AIDS dilakukan melalui penggunaan kondom bagi Kelompok Beresiko Tinggi dalam setiap hubungan seks.” Pada pasal 1 ayat 13 disebutkan kelompok berisiko tinggi al. ‘penjaja seks dan pelanggan atau pasangannnya, laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki, warga binaan di lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan.’

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun