Mari kita mulai dari sebuah pertanyaan dasar, apakah negara kita adalah negara demokrasi? No!!! ini negara voting, demokrasi mengutamakan musyawarah-mufakat dan penyerapan aspirasi berbagai kalangan. Di negara voting yang menang menentukan segalanya dan yang kalah tersingkirkan. Ekses dari negara voting adalah permusuhan dan saling mencurigai seperti yang terjadi sekarang ini.
Kemudian pertanyaan selanjutnya, Apakah mereka (caleg) yang kita pilih itu adalah wakil rakyat? No!!! Mereka adalah wakil partai, mereka setelah menjadi anggota legislatif akan mendengarkan arahan partai bukan arahan rakyat.Â
Rakyat tidak memiliki saluran untuk menyampaikan suaranya bahkan mereka (yang disebut wakil rakyat) tidak bisa mewakili suara rakyat untuk memilih presiden, pemilihan presiden pun sekarang harus langsung dipilih oleh rakyat, karena 'wakil rakyat' sudah tidak bisa dipercaya untuk menyuarakan suara rakyat.
Suara rakyat pada kenyataannya hanya dihitung untuk dibungkam dalam kotak suara. Ditengah rakyat indonesia sebagian besar masih berpendidikan rendah (data BPS rata-rata tidak tamat SMP) dan memiliki kecerdasan di bawah standar, akhirnya suara mereka hanya dimanfaatkan oleh para elit untuk mencapai tujuannya.Â
Mereka tidak tahu dan tidak bisa berbuat apa-apa untuk menyampaikan aspirasi mereka kepada wakil yang mereka pilih, karena mereka (wakil rakyat) mendengar arahan partai bukan rakyat. Rakyat yang tidak berdaya hanya menjadi penonton aksi-aksi licik dan busuk para politikus.
Bagi saya jika ada yang mengatakan bahwa kita menentukan masa depan bangsa, maka itu bullshit, yang menentukan di negeri ini elit partai dan elit berduit, suara rakyat telah dibungkam dalam kotak suara.
Apakah wakil rakyat akan memperjuangkan kepentingan rakyat? Mari kita lihat kinerja mereka, data menunjukkan kinerja DPR tahun 2018 hanya bisa menyelesaikan 5 RUU dari 50 RUU yang masuk prolegnas, kinerja mereka amat sangat buruk.Â
Di sisi lain dalam hal kepatuhan mereka terhadap pelaporan harta kekayaan amat sangat buruk, di DPR hanya 22,8 persen, bahkan ada beberapa DPRD yang nol persen tingkat kepatuhannya. Sama negara saja mereka tidak patuh, berharap mereka menyuarakan suara rakyat? Ngimpi Anda!!!
Sistem demokrasi berbiaya tinggi hanya melahirkan koruptor. Bagi saya ikut serta dalam demokrasi saat ini sama saja seperti ikut serta melahirkan koruptor baru. Beberapa kasus terkahir seperti ketum PPP Romahurmuzy dan Caleg Golkar Bowo Sidik Pangarso menjadi bukti tak terbantahkan.Â
Kasus-kasus  korupsi yang tertangkap KPK hanya sebagian kecil saja, yang tidak tertangkap KPP jauh lebih bessssaarrr lagi karena KPK memiliki keterbatasan SDM untuk bisa mengikuti semua koruptor-koruptor yang berkeliaran di masyarakat. Sejatinya 17 April kita bukan memilih wakil rakyat, tetapi memilih calon bedebah atau koruptor, karena sistemnya membuat mereka menjadi koruptor.
Biaya politik mahal tidak hanya disebabkan oleh sistem pemilihan langsung, tapi akibat buruknya sistem kaderisasi di partai politik. Partai politik tidak memiliki sistem untuk melahirkan para pemimpin, buktinya hampir semua partai politik memberikan  kedudukan istimewa bagi tokoh-tokoh masyarakat yang memiliki pengaruh dan pengikut, mereka tidak harus mengikuti sistem pengkaderan berjenjang. Kebanyakan partai politik sistem comot tokoh. Â
Keistimewaan pun berlaku jika sang tokokh punya banyak uang. Akhirnya yang bermain di dalam partai itu ada dua kalau tidak pengaruh ya uang. Sistem keuangan partai politik yang buruk tadi melahirkan koruptor-koruptor, seperti korupsi Gubernur Jambi Zumi Zola dan Bupati Lampung Selatan yang harus setoran buat partai.
Untuk sistem seperti ini, dengan segala kewarasan saya, saya lebih baik golput.
Saya sudah golput lebih dari 15 tahun, namun saya akan berhenti golput jika :
1. Rakyat bisa memecat wakil rakyat yang berkinerja buruk.
2. Partai politik yang kadernya terbukti korupsi, partainya harus dibubarkan karena telah gagal melakukan kaderisasi dan menipu rakyat. Bukan hanya cuci tangan dengan memecat kader tersebut.
3. KPU harus membuat sistem pemilu berbiaya murah dan adil. Saya menyarankan KPU untuk membuat alat peraga kampanye yang informatif, komprehensif dan berimbang dengan memanfaatkan sistem sosialisasi struktur pemerintahan hingga yang terendah RT/RW, sebaiknya sudah berbasis digital. Tidak kacau seperti sekarang, spanduk-spanduk tidak beraturan tapi minim informasi, tidak lebih seperti sampah.
Untuk Indonesia yang lebih baik dan beradab,
Presiden Gollput Indonesia
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI