Aku bangga pada diriku karena aku adalah aku. Kepemilikanku melambungkan kebanggaan ini.
Siapakah yang tidak pernah bersyukur? Kasihan hidup mereka. Kurasa aku selalu menjadi orang yang bersyukur. Maka aku bangga pada sikap spiritualitas selama ini. Tidak ada yang lebih memuaskanku saat kusadari, hidupku lebih indah dari saudaraku di luar sana. Aku bangga sebagai orang yang punya orang seistimewa dirimu.
"Hey, tidak ada yang salah dengan semua kepuasan itu," katamu. Matamu yang bulat dan bening menatapku lekat. Aku waspada. Bibirmu yang sesegar tomat yang kupetik pagi tadi, menyunggingkan senyum mencurigakan. Kau berdehem tipis, kembali menatapku. Kali ini tanpa senyuman. "Aku menyayangimu. Hanya saja ... jangan biarkan semua itu menentukan siapa dirimu. Tetaplah menjadi dirimu yang kusayang, walau tanpa satu pun yang membuatmu harus membuktikan apa dan siapa kamu."
Aku tergetar, aku terpana. Debar jantungku berdentam. Lalu kau mencondongkan wajahmu, dan berbisik mesra di kupingku, "Ingatkah kau makna martabat? Sesuatu yang berasal dari yang terdalam. Sesuatu yang kokoh meski tanpa pencapaian, atau pun kehormatan walau dalam kegagalan. Aku sangat menyayangimu, kekasihku."
| Indria Salim |