Mohon tunggu...
Indra J Piliang
Indra J Piliang Mohon Tunggu... Penulis - Gerilyawan Bersenjatakan Pena

Ketua Umum Perhimpunan Sang Gerilyawan Nusantara. Artikel bebas kutip, tayang dan muat dengan cantumkan sumber, tanpa perlu izin penulis (**)

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Golkar Sumbar Usai Pemilu Terburuk Sejak 1971

10 Juli 2020   07:06 Diperbarui: 10 Juli 2020   07:12 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siapapun kader Partai Golkar (selanjutnya Golkar) di Provinsi Sumatera Barat, terkhusus daerah yang bakal menghelat pemilihan langsung kepala daerah (pilkada), sejak dini layak menyadari bahwa tidak ada lagi ruang untuk meraih keuntungan pribadi. Selama dua dasawarsa fase reformasi, sebut saja empat pelita, baru dalam pemilihan umum (pemilu) 2019 Golkar mendapat hasil terburuk. Sempat dua kali juara (2004 dan 2014) dan dua kali runner up (1999 dan 2009). Pada 1999, Golkar dikalahkan Partai Amanat Nasional (PAN), lalu pada 2009 Partai Demokrat mengambil posisi Ketua DPRD Sumbar.

2019?

Raihan Golkar berada di bawah Partai Gerindra, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), PAN dan Demokrat. Dari pemegang medali emas pada 2014, bahkan perunggupun tak berhasil didapat pada 2019. Baringin gadang bukan saja tumbang di tingkat provinsi, tapi juga kabupaten dan kota. Kota Pariaman dan Kabupaten Padang Pariaman yang mengalami kenaikan elektoral dalam pemilu 2014, dibanding 2009, berbeda capaian. Posisi Wakil Ketua DPRD masih didapat di Kota Pariaman, namun gagal diraih di Padang Pariaman.

Dalam membaca geneanologi politik Sumbar sejak pemilu 1955, penulis terbiasa membuat perbandingan dengan DKI Jakarta dan Daerah Istimewa Aceh. Kemenangan Partai Masyumi dalam pemilu 1955, perlawanan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dalam sejumlah pemilu Orde Baru, hingga terakhir kehandalan PPP dan PAN pada 1999 menunjukan ciri sebagai kelompok muslim modernis di tiga provinsi itu. Tiga provinsi yang juga paling sedikit pengaruh money politics-nya, walau tetap ada.

Nasib Golkar 2019 di Sumbar bisa jadi mirip dengan Demokrat 2014. Demokrat kehilangan banyak kursi legislatif nasional dan lokal dalam pemilu 2014, setelah unggul mutlak dalam pemilu 2009.

Kinerja Golkar jauh lebih parah lagi. Bukan saja dihitung sejak pemilu 1999, bahkan Golkar untuk pertama kali keluar dari posisi dua besar dalam pemilu 2019 jika dibandingkan dengan sepuluh pemilu, yakni 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004, 2009, dan 2014.  Sekali lagi, sepuluh pemilu!

Nasib serupa dihadapi Golkar Jakarta, terseok ke urutan ke-sembilan pada 2019 dibanding ke-enam pada 2014. Golkar Aceh masih bertahan dalam tiga besar, tetap dikalahkan oleh Partai Aceh dan Demokrat pada 2009 dan 2014. Pola grafik teori politik aliran Herbert Feith dalam pemilu 1955 hanya tampak sedikit berulang pada 1999. Setelah 2004, ideologi kepartaian kian luntur, akibat pengaruh dari pemilihan langsung presiden dan wakil presiden. Otomatis yang hadir bukan lagi teori besar berdasarkan ideologi besar, namun sudah masuk ke dalam teori orang besar.

Tentu, sebagai disclaimer, tulisan ini tidak menghadirkan grafik, data, angka, dan sebagainya dalam bentuk makalah akademik. Ya, silakan cari saja di dalam big data komputer masing-masing. Walau, siapa saja bisa berdiskusi dengan penulis terkait data, teori dan analisa yang lebih ilmiah, tentunya.

Kembali ke Sumbar, sungguh pekerjaan yang maha berat bagi Golkar dalam menghadapi pemilu 2024. Padahal, Sumbar adalah proyek modernisasi yang paling menyita perhatian Orde Baru di luar Jawa, umumnya, dan bagi Presiden Soeharto, khususnya.

"Dalam sejarah perjuangan nasional Sumatera Barat telah menyumbangkan puteranya yang terbaik. Dari daerah itu lahir Tuanku Imam Bonjol yang selama 15 tahun lebih berjuang melawan hampir seluruh tentara kolonial. Dari bumi Minangkabau lahir Bung Hatta, salah seorang Proklamator, seorang pejuang besar, seorang muslim nasionalis yang tidak bercacat," ujar Presiden Soeharto di Stadion Haji Agus Salim pada 22 Agustus 1984.

"Juga dari daerah itu bangsa Indonesia menghormati tokoh-tokoh nasional lainnya seperti Haji Agus Salim, Muhammad Yamin, Syahrir, Mohammad Syafei, dan Buya Hamka... Dan sekarang dalam jaman pembangunan, seluruh rakyat Sumatera Barat yang dinamis itu telah berhasil dalam membangun dirinya," ucap Presiden yang memiliki senyum khas ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun