Mohon tunggu...
Indra J Piliang
Indra J Piliang Mohon Tunggu... Penulis - Gerilyawan Bersenjatakan Pena

Ketua Umum Perhimpunan Sang Gerilyawan Nusantara. Artikel bebas kutip, tayang dan muat dengan cantumkan sumber, tanpa perlu izin penulis (**)

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Bangsa Yang Lahir dari Krisis

6 Juni 2020   09:29 Diperbarui: 3 Juli 2020   09:41 464
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kata Dimyati, “Sekarang di dunia, dengan perkembangan teknologi, negara-negara yang tertinggal berada di bawah electronical collonialism. Kita menjadi bangsa sekadar pengguna teknologi, khususnya informasi. Kita sebagai bangsa tidak dapat berkreasi dan bercerita tentang negara dan rakyat kita”. 

Istilah electronical collonialism masih sangat genuine. Hampir seluruh perangkat teknologi yang kita pakai sekarang, termasuk untuk mem-bully orang atau menelusuri jejak digital seseorang, berasal dari perangkat elektonik yang bukan produk negeri sendiri. Tetapi, berasal dari penjajah dalam bentuk pengiriman perangkat elektronik ke genggaman tangan kita.  

Krisis, apapun itu, berdimensi ganda, mencerahkan sekaligus menghancurkan. Dari krisis politik, akan lahir pemimpin-pemimpin baru yang kadang-kadang belum dikenal massa. Dari krisis ekonomi, akan menumbuhkan pengusaha-pengusaha baru yang tidak punya kesempatan dalam masa sebelumnya yang profan atau mapan. Bahkan, dari krisis intelektual, akan muncul pemikiran-pemikiran baru yang justru tak terpikirkan dibandingkan dengan tidak adanya krisis. Di saat krisislah muncul momentum untuk melakukan pembenahan pemikiran, tingkah laku, sampai pembenahan administrasi, birokrasi, dan agenda harian.

Bangsa-bangsa yang besar di zaman sekarang adalah bangsa-bangsa yang telah melewati masa krisis dalam riwayat mereka. Amerika Serikat, muncul dari kaum kolonis Inggris, menyerap bangsa-bangsa lain, bergulat dengan perang “kemerdekaan” melawan induknya, perang saudara, sampai perbudakan. Krisis itu juga yang menjelma dalam konstitusi Amerika Serikat, dengan menempatkan demokrasi dan penghormatan hak asasi manusia sebagai usaha untuk mengantisipasi krisis.

Berikutnya, di masa datang, Amerika belum tentu berhasil keluar dari krisis, ketika faktor-faktor objektif sejarah tidak bisa diselesaikan, bahkan lewat jalur konstitusi. Buku Samuel P Huntington antara lain memperkirakan krisis peradaban Amerika ini.

Bangsa atau negara besar yang tinggal sejarah adalah Yunani, Romawi, Macedonia, Turki, sampai Majapahit, dan Sriwijaya di Indonesia. Mereka tidak bisa keluar dari krisis secara mulus. Silih berganti, kebesaran mereka digantikan oleh bangsa atau negara lain. Hegemoni kekuasaan, ternyata dibatasi oleh waktu dan tempat.

Yang abadi, akhirnya hanyalah ide-ide, prinsip-prinsip, dan ideologi yang dihasilkan oleh bangsa atau negara bersangkutan yang masih bisa digunakan sampai berabad-abad kemudian. Catatan kebesaran suatu pemikiran akan membawa bangsa dan orang yang melahirkannya pada “keabadian”. Suatu jenis pemikiran klasik, sebagai tonggak peradaban.

***

Dulu, di dalam mahkamah aktivisme mahasiswa era 1970an hingga 1990an, terdapat kekhawatiran betapa yang tengah berlangsung di Indonesia adalah bagaimana mempertahankan hegemoni politik dan ekonomi Orde Baru. Upaya itu terjadi di tengah krisis ekonomi yang mengarah pada krisis politik. Yang menaruh kekhawatiran itu bukan hanya para aktivis mahasiswa, tetapi juga tokoh-tokoh gerakan mahasiswa 1966. Tak kurang dari Sofyan Wanandi (Liem Bian Koen) sendiri yang membandingkan keadaan sebelum tahun 1998 itu sama dengan tahun 1965, sebelum mahasiswa bergerak. 

Arif Budiman (Soe Hok Djin, kakak Soe Hok Gie) sudah jauh-jauh hari mengatakannya. Bahkan Ekky Syahruddin menjadi tokoh gerakan mahasiswa 1966 yang bergabung dengan Golongan Karya, ikut membandingkan keadaan Indonesia waktu itu sama dengan negara-negara Afrika.

Pernyataan pelaku-pelaku sejarah Orde Baru itu mengingatkan kita bahwa cerita kebesaran dan keberhasilan pembangunan yang mengendap di hati rakyat Indonesia, tinggal menunggu waktu untuk kembali dikoreksi. Dan itu terbukti kemudian dalam gerakan mahasiswa 1998. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun