Mohon tunggu...
Indra Rahadian
Indra Rahadian Mohon Tunggu... Administrasi - Pegawai Swasta

Best In Fiction Kompasiana Award 2021/Penikmat sastra dan kopi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Menari Dalam Gelap

16 Juli 2021   12:10 Diperbarui: 16 Juli 2021   12:22 2321
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi sosok perempuan berpose dalam gelap (Foto: ractapopulous Via Pixabay)

Viola!

Dania menghempaskan diri ke lantai dansa. Frans menyambut tubuh ramping bergaun merah muda itu dengan gembira. Pesta di akhir pekan. Malam gemerlap di sebuah bar di sudut kota Rio De Janiero.  

Bossa nova, samba dan cha-cha, tanpa henti menghentak jiwa-jiwa muda dan melempar mereka pada gairah. Para penari berkostum karnaval memesan bir sembari bergoyang. "Campeão!" bergema sepanjang malam. Hingga pagi menjelang. 

Malam itu, Seleção memastikan gelar juara dunia sepakbola 1958 di Swedia. Tendangan keras Pelé ke gawang kiper Kalle Svensson, memecah teriakan histeris di seantero kota. Bermil-mil jauhnya di selatan Amerika. 

Puluhan orang merangsek masuk ke dalam bar, dan memaksa Frans menghentikan tarian. Ia membawa Dania menembus penuh sesak kerumunan. Membaur dalam parade yang mengular di sepanjang Barra da Tijuca. 

Dania dan Frans terhuyung-huyung berjalan di lorong pertokoan. Mereka saling menopang satu sama lain. Keluar dari lautan pemabuk dan parade tarian kemenangan di sepanjang jalanan kota. 

"Apa yang kita rayakan, sayang?" tanya Dania. 

"Kesenangan," jawab Frans. 

Frans merebahkan dirinya di sofa. Menarik dan menjatuhkan Dania ke dalam pelukan. Belum sempat Frans mendaratkan kecupan, Dania berbalik dan menarik tubuh Frans, menuntun paksa ke arah ranjang. 

Pesta belum usai. Sayup-sayup chants di jalanan kota. Pemabuk tersungkur di tembok kusam yang berlukiskan mural wajah Pelé. Sementara di sebuah kamar apartemen murahan, Frans dan Dania tengah memulai pesta kemenangannya sendiri. 

Matahari melintas tepat di atas debur ombak Copacabana. Segaris sinar yang menembus melalui kaca jendela, dan membangunkan Dania. Ia menatap ke sekeliling dan tidak menemukan Frans di sana. Maka iapun kembali berbaring dan melanjutkan tidurnya. 

Dania bertemu Frans pertama kali di sebuah kapal imigran gelap yang di usir angkatan laut AS kembali ke Suriname. Mereka adalah anak-anak dari serdadu desertir dan veteran yang berusaha mengubah nasib ke negeri Paman Sam. 

Mereka berdua memiliki satu kesamaan dan keterkaitan dengan sebuah negara yang belum lama menuntaskan kemerdekaannya, di wilayah kepulauan Asia Tenggara. 

Dania dibawa sang ayah untuk tinggal di Suriname. Ian de vrijk, sang ayah adalah serdadu bekas KNIL yang menolak untuk berperang dengan pejuang kemerdekaan Indonesia di Jawa. 

Kulit gelap Dania diperoleh dari sang ibu. Perempuan Jawa asal Banyumas, yang meninggal sewaktu melahirkannya. Postur tubuh tinggi semampai, dan dua bola mata berwarna biru, diturunkan dari ayahnya. 

Sementara Frans tidak punya kenangan manis dengan sang ayah. Kabar kematian Daren Parkinson, seorang serdadu Brigade British Indian Army pada pertempuran hebat di Surabaya di tahun 1945, memaksa Frans remaja untuk pindah dari India dan menetap bersama kakeknya di Suriname. 

Salah satu kantor surat kabar di Paramaribo, menugaskan mereka ke Brazil. Dan sejak itu, mereka menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih. Berdua menjalani tugas jurnalistik di negeri samba. 

Mereka akhirnya memilih untuk bekerja sebagai wartawan lepas dan menanggalkan kewarganegaraan asal. Mimpi menginjakkan kaki di Amerika Serikat, masih menjadi angan-angan.

Frans melangkah terburu-buru. Di kawasan kumuh di lereng bukit. Dua orang berwajah Asia, mengawasi dari kejauhan. Mereka berlari, setelah Frans tak terlihat lagi di antara bedeng-bedeng karatan di salah satu Favela. 

"Mereka masih mengejarmu?" 

Dania terhenyak, melihat Frans muncul dari balik jendela. Sepatunya penuh pasir pantai dan mengotori seisi ruangan. Tatapan kesal Dania, hanya membuat Frans tersenyum. 

Frans melepaskan sepatu dan meletakkan di samping sofa. Ia buru-buru masuk ke kamar mandi dan menjawab sepintas, "bukan hanya mengejar, mereka ingin membunuhku."

Kekhawatiran Dania akhirnya terbukti. Frans ngotot mengangkat artikel tentang aktivitas Yakuza di wilayah komunitas orang Jepang di Brazil. Dan sekarang dia harus menerima akibatnya. 

Namun, ini baru awal. Dania benar-benar khawatir, sesuatu yang lebih buruk akan menimpa mereka. Tak ada jaminan keamanan di sini. Mereka harus berjuang keras untuk bertahan hidup dan menjalani pekerjaan. 

"Penghubung kita di Meksiko memberi kabar gembira, Dania!" teriak Frans dari kamar mandi. 

"Apa? Peluang masuk ke US?" tanya Dania. 

Frans melilitkan handuk di tubuhnya, dan melangkah keluar kamar mandi. Ia kembali tersenyum. Menatap nakal Dania yang masih berkutat dengan masakan. 

"Bukan, tapi sesuatu yang lebih keren," jawab Frans. 

Frans memeluk Dania dari belakang dan mulai berbisik mesra, "kau terlihat lebih cantik hari ini, Sayang. Kau tahu, harapan kita semakin dekat. Indonesia, Amerika dan Eropa." 

"Pisau ini tajam, Frans. Tolong kendalikan tanganmu!" seru Dania, seraya mengangkat tinggi-tinggi pisau dapur di tangannya. 

"Não me empurre, bastardo!"

Dua hari kemudian, mereka mengantri masuk ke pelabuhan. Kapal api menuju Singapura akan berangkat kurang dari setengah jam. Para penumpang berdesak-desakan di titian memasuki geladak. 

Dania dan Frans sepakat untuk menerima tawaran menjalankan tugas jurnalistik dan aksi propaganda untuk proses demokratisasi. Isu-isu tentang pengaruh perang dingin di Indonesia pecah, setelah adanya upaya kudeta oleh basis-basis militer di Sumatera.

Dan perjanjian kontrak untuk memperoleh kewarganegaraan Amerika Serikat setelah menuntaskan tugas. Tentunya, Frans dan Dania tak punya alasan untuk menolak. 

Hari itu, Dania mencari-cari Frans di anjungan kapal. Turun ke geladak dan tak menemukannya di sana. Jangkar kapal belum diangkat. Iapun khawatir, bila Frans mendadak turun dari kapal dan membiarkan dirinya berangkat sendirian.

Terlebih saat peluit kapal nyaring berbunyi. Dan ia melihat, dua orang lelaki berayun turun ke darat di geladak sebelah kanan. 

"Frans, kau selalu membuatku kesal!" 

Dania melihat Frans tengah bersandar pada dinding di buritan kapal. Iapun duduk di sampingnya dan meraih jemari tangan Frans untuk digenggam. Tangan itu terasa dingin. 

Dan nahas, tangan dingin itu milik Frans yang sudah tak bernyawa. Sebilah katana menancap di perutnya. Dania terpaku dan tidak dapat berkata-kata. Tubuhnya lemas. 

Ia mengambil sebungkus rokok dari balik jas yang dikenakan Frans. Menyalakan sebatang dan menghisapnya dalam-dalam. Derai air mata mengiringi laju kapal api yang berlayar lepas. Hati Dania mati rasa dan hampa. 

Mimpi besar dan rencana indah bersama Frans sirna. Terbesit harapan agar kisah cintanya karam bersama kapal ini. Dengan begitu, ia dapat membenamkan seluruh kepedihan dan kesedihan ke dalam lautan. 

Malam setelah beberapa penumpang melarung jenazah Frans ke laut. Dania terlihat seperti kurang waras. Kadang Ia menari sendirian di malam hari. Kadang berteriak-teriak di ujung haluan kapal. 

Kabar berhembus, Dania tiba di Singapura dan menyeberang ke Indonesia melalui Batam. Menetap di sana dan bekerja sebagai penerjemah. Namun kabar lain menyebutkan bahwa Dania telah tewas. Depresi dan terjun dari kapal di perairan Filipina. 

**

Cerita ini hanya fiktif belaka, kesamaan nama, tokoh dan tempat hanyalah kebetulan semata. 

Indra Rahadian

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun