Mohon tunggu...
Indra Rahadian
Indra Rahadian Mohon Tunggu... Administrasi - Pegawai Swasta

Best In Fiction Kompasiana Award 2021/Penikmat sastra dan kopi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Catatan Eyang Kakung

7 Februari 2021   17:06 Diperbarui: 7 Februari 2021   17:51 890
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Catatan Eyang Kakung (Foto: Iamharsa_ via Pixabay)

AKU bermimpi bertemu orang-orang dari masa lalu. Masa-masa yang sempat terlupakan dalam rangkaian kisah hidupku. Saat itu, aku masih kanak-kanak.

Lima puluh tahun sudah, aku meninggalkan kampung halaman. Tanpa kesan, aku tak pernah kembali ke sana. Terpisah dari orang tua, keluarga dan sahabat masa kecil. 

Aku menolak untuk mengingat, kisah getir yang sudah berlalu. Hanyalah mimpi buruk, kenyataan itu adalah mimpi buruk. 

Namun, aku harus mencatat kisah ini sebelum sisa umurku berakhir. Sebelum tangan renta ini mati rasa dan binasa bersamanya.

Gunung Kidul, 1963

"Nyekel walang mau."

Aku tak tahu, berapa umurku saat itu. Mungkin, di atas sepuluh tahun. Mengingat, aku bermain dengan kawan-kawan di bukit gersang untuk mencari belalang. 

Aku cukup mandiri, untuk mencari makan sendiri. Menjelang malam, pulang ke rumah. Gubuk reyot berpenghuni delapan anak dan tiga orang tua. Aku yakin, itulah orang tua dan saudara-saudaraku.

Dua orang saudaraku, tak henti menangis siang dan malam akibat busung lapar. Aku tak paham, setiap dapat belalang aku makan sendiri. Entah, apa yang diusahakan oleh orang tuaku saat itu.

Hari-hari seperti mimpi, aku terbangun dengan jerit dan tangis. Lima saudaraku meninggal, setelah memakan geplek pemberian tetangga kami.

Ibu, entah nenek. Terbaring berhari-hari, kemudian menutup mata selamanya. Aku tak ingat, apakah aku menangis saat itu.

Pada suatu malam aku terbangun. Tangan kekar membekap mulutku dan membawaku pergi dari rumah itu. Aku mencoba melawan, dan sebuah pukulan di kepala menutup perlawananku. 

Hingga, aku kembali terbangun di atas truk. Aku melihat anak-anak lain, berbagi makanan dalam besek bambu yang entah darimana asalnya. Perutku yang lapar, memaksa merebut makanan itu dari mereka.

Jakarta, 1970

Hari itu, aku berjalan sambil menangis. Pipa besi berlumuran darah, kugenggam sampai tiba di kantor Polsek Taman Sari. 

"Pak, aku sudah bunuh orang," ucapku.

Hanya tiga bulan, aku dibebaskan dari tahanan. Ternyata, orang yang kupukul masih hidup. Dan hal itu, membuatku kecewa.

Hidup dalam tahanan, lebih baik untukku. Menjadi gelandangan dan hidup di kolong jembatan justru lebih sulit. Terbersit dalam pikiran, untuk kembali memukul orang. Berharap aku bisa kembali hidup di tahanan.

Kuambil sebuah linggis di lokasi proyek bangunan. Mataku, mencari kuli yang cukup lemah untuk kupukul di tempat sepi.

"Besi sepotong, mana cukup di kilo. Kalau mau ngambil banyak, gitu loh."

Aku dikagetkan dengan suara itu, lemas tubuhku seketika. Orang di depanku berdiri gagah, perawakan tinggi besar. Memakai kacamata hitam, jaket kulit hitam dan sepatu boat kulit cokelat. 

Dia membawaku ke sebuah kedai, diberikan aku makan dan kopi. Kami berbagi sebungkus rokok, bercengkrama seperti sahabat lama. Lalu, aku tinggal di rumahnya.

Aku bekerja sebagai pesuruh, mengikuti kemanapun dia pergi. Keluar masuk lokasi proyek, dan mendapatkan uang. Hidupku terjamin, tempat tinggal, makan dan rokok.

Hingga, suatu malam aku menemukan majikanku terbujur kaku. Dua lubang berasap di kepalanya, menyakinkanku untuk segera pergi dari rumah itu.

Malam itu, kuambil semua uang yang kutemui di rumah itu. Lekas pergi ke Tanjung Priok. Aku harus meninggalkan Jakarta.

Lampung, 1980

Hari itu, aku baru siuman. Katanya, berhari-hari aku tak sadarkan diri. Tubuhku penuh luka, dan kaki kiri tak bisa digerakkan lagi. Seorang perempuan, setia menjagaku.

Dialah Darsinah, perempuan yang kunikahi di Natar dua tahun lalu. Aku mengambilnya dari rumah bordil. Menempatkan dia di kedai nasi milikku sebagai pelayan. 

"Kita mulai dari awal yo, Mas," ucapnya.

Aku tahu kemudian, kedai nasi sudah dibakar oleh gerombolan preman. Tepat, sehari setelah kuamuk salah satu dari mereka. Menolak jatah keamanan, yang harus naik dua kali lipat. 

Kami memutuskan pergi dari Lampung, menemui kerabat Darsinah di Bogor dan memulai kembali merintis warung nasi. 

Bogor, 1985

Tahun berganti, dan warung nasi hanya cukup untuk makan sehari-hari. Tapi, aku bahagia. Darsinah menemaniku sampai akhir hayatnya. Penyakit kanker rahim yang menggerogoti kesehatannya, merenggut dia dari hidupku.

Malam dimana aku memeluknya untuk yang terakhir kali. Dia berkata padaku, "aku tresno karo sampean, Mas." Kata-kata yang tak pernah aku dengar dari siapapun seumur hidupku. 

Hidupku hampa, mimpi-mimpi getir masa silam membayangi tidurku. Hingga, aku memutuskan menyerahkan warung nasi pada kerabat Darsinah.

Aku mau pergi, ke tempat dimana aku bisa melupakan masa-masa getir. Tercerabut dari kampung halaman, hidup menggelandang di jalanan ibukota dan kehilangan satu-satunya orang yang mencintaiku.

Batam, 2021

Hari ini, aku mencatat kisah hidupku dalam buku tulis bekas. Anak perempuan berjilbab kuning, memberikan dengan cuma-cuma.

Dia baru pulang mengaji, di mushalla yang kubersihkan tiap sore. Neneknya, baru dua bulan kunikahi. Mereka menerimaku dengan tangan terbuka. 

Ahk, tubuhku butuh berbaring. Dua cangkir kopi Bude sudah membuat perutku kembung. Biarlah, daganganku tak laku hari ini. Tak akan basi barang-barang bekas ini dimakan lalat.

**

Cerita ini hanya fiktif belaka, kesamaan nama, tokoh dan tempat hanyalah kebetulan semata.

Indra Rahadian, 07/02/21

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun