Mohon tunggu...
Indah Gayatri
Indah Gayatri Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis Lepas

Rayakan Perbedaan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Wakaf Produktif untuk Memberdayakan Petani

14 April 2021   19:41 Diperbarui: 14 April 2021   19:52 540
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi petani di sawah (Foto: ramadhani rafid on unplash.com)

Indonesia dikenal sebagai negara agraris, Pasalnya, negeri ini banyak disumbang dan ditopang oleh pertanian.

Menurut catatan statistik, Indonesia memiliki lahan pertaniannya yang luas. Pun dengan sebagian besar penduduknya bekerja di sektor ini.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukan ada sekitar 33,4 juta penduduk yang bekerja di sektor pertanian pada 2020. Sektor pertanian juga menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang besar. Tercatat ada sekitar 29,8 persen dari total angkatan kerja yang bekerja di sektor ini.  

Selain itu, kontribusi pertanian pada Produk Domestik Bruto (PDB) juga bisa dikatakan tinggi. Hanya kalah dari sektor manufaktur saja. Yakni, mencapai sekitar 15 persen.

Bahkan ketika pandemi lalu, sektor pertanian menjadi salah satu usaha masyarakat yang tetap tumbuh stabil. Sektor pertanian tumbuh 1,71 persen. Meski tumbuh agak melambat dibandingkan 2019, namun jika tidak ditopang oleh pertanian, konstraksi ekonomi Indonesia bakal jauh lebih dalam lagi.

Tak hanya itu, di tengah lesunya ekspor Indonesia yang minus 2,61 persen tahun lalu, ekspor sektor pertanian justru mampu mencetak pertumbuhan hingga 14,03 persen.

Melalui rincian data tersebut, maka tak salah bila perekonomian Indonesia dikatakan bertopang pada sektor pertanian. Pertanian juga menjadi sektor penyelamat di tengah resesi global.

Kontribusi pertanian tersebut pantas untuk diapresiasi. Namun kita sebaiknya juga harus berlaku adil. Tak hanya menilai pada hasil pertaniannya saja, tapi juga melihat kesejahteraan para petaninya.

Karena bagaimanapun, petani menjadi kelompok yang paling rentan saat ini. BPS mencatat mayoritas kelompok rumah tangga miskin menurut sumber penghasilan utama justru berasal dari kelompok pertanian, yakni mencapai 46,3 persen.

Artinya, hampir setengah dari penduduk miskin itu berasal dari sektor pertanian. Ini sungguh ironis. Ketika pertanian merupakan sektor yang sangat "kaya", namun petaninya justru sangat perlu dibantu.

Masalah utama petani Indonesia bersumber dari hasil produksi yang tidak mencukupi kebutuhan hidupnya. Karena biaya produksi tinggi, sedangkan harga jualnya sangat rendah.

Harga komoditas pangan jatuh saat panen menjadi faktor yang berkontribusi pada rendahnya tingkat kesejahteraan petani. Seperti anjloknya harga gabah atau beras pada Maret-April atau saat panen tahun ini.

Belum lagi, rendahnya nilai tukar petani (NTP) yang membuat petani kerap menjerit karena merugi.

Oleh karena itu, perlu ada upaya untuk membenahi kondisi petani. Pemberdayaan petani ini pun harus mengacu pada problem yang dialami. Sehingga benar-benar tepat sasaran dan menyelesaikan dari akar masalahnya.

Dan, wakaf produktif bisa menjadi salah satu instrumen sosial yang digunakan untuk membantu mengentaskan kemiskinan petani di Indonesia.

Gagasan itu setidaknya sudah dicoba oleh Global Wakaf-ACT, Yayasan Penguatan Peran Pesantren Indonesia (YP3I), dan Gema Petani melalui program Wakaf Sawah Produktif (WSP).

Ketiganya berkolaborasi untuk mengelola wakaf tunai dari para dermawan guna membantu meningkatkan kesejahteraan petani. Salah satunya dengan cara yang terintegrasi mulai dari pembibitan hingga pasca panen.

Dengan program WSP, petani mendapatkan bantuan mulai dari bibit unggul. Intervensi wakaf dimulai dari bibit yang digunakan adalah jenis HMS700, yang mana dalam satu malai dapat mencapai 700 bulir.

Lalu dalam pemeliharaan, para petani juga diberikan biaya dan akses untuk mendapatkan pupuk. Sehingga, kualitas padi terjaga dan mendapatkan hasil maksimal. Kemudian, hasil panen petani itu akan dibeli oleh ACT dengan harga yang layak.

Dalam tahap akhir, hasil panen tersebut akan didistribusikan ke masyarakat prasejahtera agar mereka tidak kesulitan pangan selama pandemi. Sehingga bisa dikatakan, kebermanfaatan WSP ini terintegrasi satu sama lain, mulai dari pembibitan hingga pasca panen.

Ikhtiar program WSP untuk membantu petani itu pun mulai menunjukan hasilnya. Sawah yang didanai dari wakaf itu sudah mulai panen. Diantaranya, project WSP di Dusun Tumpangsari, Desa Jiyu, Kecamatan Kutorejo, Mojokerto.

Adapun total sawah yang dipanen mencapai sekitar 9 hektare dengan hasil sebanyak 110 ton.

Selain itu, sawah di empat wilayah lain seperti di Pasuruan, Malang, Ponorogo, dan Sidoarjo, juga memasuki musim panen. Ke depan, mereka akan mendorong program ini hingga mencapai 500 hektar.

Dalam aktivitasnya, program Wakaf Sawah Produktif ini melibatkan 3.000 petani, 22.500 tenaga kerja. Selain itu ada 2.500 pesantren yang terberdayakan dengan 23.500 santri yang menerima manfaat per bulan. Di luar itu, 440.474 KK yang menjadi penerima manfaat.

Dengan konsep terintegrasi seperti itu membuktikan bahwa wakaf dapat menjadi motor penggerak dalam menyejahterakan petani, juga masyarakat prasejahtera.

Kita perlu pahami bahwa upaya mengentaskan petani dari kemiskinan adalah tugas kita bersama. Tak hanya kewajiban pemerintah saja.

Melalui gerakan wakaf sawah produktif, kita akan membantu pemerintah agar para petani di Indonesia bisa sejahtera. Inilah harapan kita semua.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun