"Ya benar Bu, bapak menemuinya di restoran dan telah menandatangani berkas," jawab Prawito dengan lugas.
"Apakah perempuan itu cantik?" tanya ibu bupati lagi.
"Menurut saya biasa-biasa saja Bu.." jawab Prawito. Ia akhirnya tidak lagi mau mengakui perempuan itu cantik. Di mata Prawito sekarang perempuan yang cantik itu bukan diukur dari wajahnya semata, tetapi lebih dari sikap dan perilakunya.
Ibu bupati tersenyum sesaat, "ya sudah. Jaga bapak baik-baik ya Wito.."
"Siap Bu!"
--------------
   Prawito kini berada di balik jeruji penjara. Kasus pembunuhan yang dituduhkan kepadanya telah terbukti, namun Prawito tidak menyesali perbuatannya. Hanya satu yang disesalinya, membuat hati ibunya terpukul.
Di dalam lubuk hatinya yang terdalam, Prawito menyematkan rasa bangga terhadap dirinya sendiri. Prawito berhasil melenyapkan rasa benawat dalam diri sang bupati. Satu tahun menjadi ajudan bagi sang bupati ternyata mampu mengumpulkan semua bukti dan kecurangan yang dilakukan olehnya. Mulai dari perselingkuhan, penggelapan, dan yang lebih tidak diterima oleh Prawito adalah penindasan.
Dan sang bupati pernah  melakukan itu semua, sayang beliau menampiknya. Prawito menjadi penyebab amarah sang bupati, Prawito dituduh sebagai penyebar fitnah.
  Malam yang nahas itu kala sang bupati terlelap, Prawito mengendap-endap ke dalam kamarnya. Sang istri bupati membukakan pintu kamar. Perlahan-lahan Prawito mendekati sang bupati di pembaringan. Ia berdiri mematung beberapa saat, degup jantungnya semakin kencang.
" Lakukan, lakukan segera Wito.." perintah sang istri bupati. Kedua matanya melotot ke arah Prawito, menandakan sebuah perintah yang tak bisa ditolak lagi. Sang bupati akhirnya lemas hingga tak bernyawa saat bantal yang menutupi wajahnya ditekan dalam-dalam oleh kedua tangan kekar Prawito.