Mohon tunggu...
Indah budiarti
Indah budiarti Mohon Tunggu... https://www.kompasiana.com/indahbudiarti4992

Guru biasa dalam kesederhanaan. Berani mencoba selagi ada kesempatan. Menulis untuk keabadian.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ajudanmu Ini Tak akan Menuruti Perintahmu Lagi, Wahai Sang Bupati!

8 Mei 2023   22:21 Diperbarui: 8 Mei 2023   22:27 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Pokoknya kamu tenang saja Wit, semua sudah disiapkan. Kamu tinggal bawa badan saja.." bisik Pak Jono. Prawito hanya manggut-manggut saja. Dirinya belum sepenuhnya memahami maksud Pak Jono, sementara peluh membasahi wajah dan lehernya yang mulai menghitam terbakar sinar matahari.

Prawito, mantan preman pasar bertubuh  lumayan kekar. Dirinya sudah mulai bertobat, pelan-pelan. Mencari sesuap nasi dengan menjadi tukang parkir di perempatan pasar Kamis. Meskipun sudah tak menjadi preman lagi namun masih banyak orang yang menganggapnya seperti itu. Prawito masih saja membuat orang-orang takut jika berurusan dengannya.

 "Kamu ragu, ndak percaya ya? Atau kalo kamu mau nanya soal gajinya berapa, yuk aku temeni kamu nanya sama Pak Kades.."bujuk Pak Jono setengah berbisik. Prawito mengangguk. Ia segera mengusap peluh yang masih mengalir di wajahnya itu dengan handuk kecil. Ia manut saja saat Pak Jono mengajak ke rumah Pak Kades. Prawito hanya mampu membayangkan pundi-pundi rupiah akan mengalir ke kantongnya lebih banyak lagi.

-------------

     Mobil sedan mewah itu memasuki halaman rumah orang nomor satu di kabupaten Nusa Jaya. Prawito ada di dalamnya, duduk di samping sang bupati. Mobil berhenti tepat di depan teras rumah, Prawito segera turun untuk membuka pintu bagi sang bupati. Ia tergopoh-gopoh menuju pintu depan rumah itu, membukanya lagi untuk sang bupati.

Hari-hari Prawito sekarang dipersembahkan untuk sang bupati. Ya, Prawito sang ajudan bupati. Ia kini sedang menikmati hidupnya yang berada di puncak tertinggi. Keringat hampir tak pernah membasahi wajahnya lagi, pakaian seragam sesuai kebutuhan melekat di tubuhnya. Prawito semakin gagah dan perkasa. Sayang, orang -orang di perempatan pasar Kamis hampir tak pernah bertemu dengannya lagi.

"Waduh, ternyata bukan aku saja yang jadi ajudan beliau, orang kaya nih ternyata..."pikir Prawito.   Meskipun bukan satu-satunya ajudan sang bupati, Prawito ternyata mendapatkan fasilitas kerja yang lebih dari rekan-rekan lainnya. Sebuah kamar berukuran 5x5 meter persegi lengkap dengan AC dan kamar mandi menjadi tempatnya melepas lelah. Prawito juga kerap dibelikan seragam atau baju baru setiap sang pejabat hendak bepergian. Sungguh sebuah kesenjangan yang terjadi di antara para ajudan sang bupati. Sayangnya mereka tidak ada yang berani melayangkan protes kepada sang bupati atau setidaknya menyesali kedatangan Prawito sebagai ajudan baru.

      Hari kedua Prawito sebagai ajudan adalah hari yang istimewa baginya. Sang bupati memintanya untuk menemani perjalanan dinas ke ibu kota. Di usia yang hampir menginjak angka empat puluh, Prawito belum pernah sekalipun melihat megahnya kota Jakarta.

"Bapak yakin berangkat sama Wito saja?". Sang bupati mengangguk saat istrinya bertanya dengan heran. Tidak seperti biasanya suaminya ini melakukan perjalanan dinas hanya didampingi oleh satu ajudan saja.

"Hanya tugas menandatangani berkas kok,"jawabnya singkat. Sementara itu Prawito sibuk sendiri, mengepak pakaiannya ke dalam koper. Jadwal keberangkatan Prawito dan sang bupati tinggal beberapa jam lagi. Prawito sungguh sudah tak sabar melihat Jakarta dan duduk di dalam pesawat.

--------

     "Ini kamar kamu, berani kan kamu tidur sendiri?" ledek sang bupati. Prawito tersenyum, "siap Pak, berani dong..!"ujarnya mantap.

"Ah ternyata memang enak jadi ajudan pejabat tinggi..."sepintas pikiran dan perasaan senang menyergap sesaat ke dalam diri Prawito. Ditatapnya sekeliling kamar hotel berbintang lima itu. Prawito semakin terkagum-kagum saat kedua netranya menangkap pemandangan dari balik jendela kamar hotel. Dari ketinggian kamar ini, Prawito merasa berada di atas awan. Hamparan gedung pencakar langit nyata di depan mata, sedangkan gumpalan-gumpalan awan putih tinggal digenggam saja. Selama ini ia hanya melihatnya di televisi saja. Ah Prawito!

Hampir sepuluh menit Prawito berdiri di jendela itu sampai akhirnya ia sadar bahwa sang bupati tidak ada di dekatnya lagi. Prawito panik, matanya menyapu seisi kamar lalu ia mengetuk pintu toilet. Siapa tahu, sang bupati sedang berada di dalamnya. Prawito menunggu  dan kembali menuju ke jendela kamar. Belum puas menatap pemandangan kota metropolitan ini. Sepuluh menit berlalu, dan sang bupati belum keluar dari toilet. Prawito semakin panik, sang bupati menghilang.

     Prawito memberanikan diri menghubungi sang bupati, padahal hal itu tidak diizinkan. Tapi Prawito harus bertanggung jawab dan ia sudah kehabisan akal mencari sang bupati. Telepon tidak diangkat, Prawito makin panik. Ia keluar kamar, celingak-celinguk di lorong lantai ke dua puluh. Tak ada seorang pun yang ia temui. Prawito memberanikan diri berjalan menjauh dari kamarnya ke arah sebelah kanan. Langkah Prawito terhenti ketika seorang perempuan cantik keluar dari salah satu kamar dengan terburu-buru. Berpakaian layaknya seorang artis, cantik. Prawito menyusulnya, paling tidak perempuan ini akan memberikan informasi di mana sang bupati berada.

"Maaf Mbak, apakah Mbak lihat bapak-bapak  pakai baju kemeja biru?"

Perempuan itu melengos, menggeleng dan buru-buru meninggalkan Prawito yang masih kebingungan. Sang bupati masih belum ditemukan.

----------

      Prawito berkali-kali minta maaf atas keteledorannya, tidak bisa berada di dekat sang bupati untuk beberapa menit. Ia sampai bersujud di depan sang bupati.

"Kamu tidak perlu minta maaf, ada beberapa saat di mana kamu tidak seharusnya berada di samping saya. Saya juga perlu privasi." Kalimat yang meluncur dari mulut sang bupati membuat Prawito agak lega. Ia tidak jadi dipecat, masih menjadi ajudan sang bupati.

"Sekarang kemas-kemas lah, kita mau pulang." Prawito tersentak mendengar ajakan sang bupati.

"Pulang..? sebentar sekali aku menikmati Jakarta.."katanya dalam hati. Prawito ingin menanyakan mengapa hanya sebentar saja di Jakarta. Ranjang hotel yang empuk itu belum sempat ditidurinya. Prawito tak berani berkata-kata lagi. Ia mengikuti sang majikan keluar dari kamar hotel.

"Pesawat kita dua jam lagi, kita masih sempat cari makan malam," ujar sang bupati. Prawito hanya mengangguk. Kedua mata Prawito tidak bisa fokus menjaga sang bupati agar tidak hilang lagi. Aneka pemandangan di kanan kiri membuatnya tergoda untuk melihat suasana di sekitar hotel mewah itu.

Mereka menuju meja yang paling pojok di restoran hotel itu. Seorang perempuan cantik tiba-tiba muncul di hadapan Prawito dan sang bupati. Prawito terkejut, memorinya langsung bekerja cepat, "ini kan perempuan yang aku tanyain di hotel tadi.." Prawito mencoba tersenyum kepadanya, sayangnya perempuan itu ternyata hanya menyapa sang bupati.

Sang bupati memberi kode agar Prawito menjauh darinya. Naluri ajudannya tetap bekerja. Prawito bergeser beberapa langkah dari sang bupati tapi pandangan matanya tak akan lepas darinya.

Entah apa yang dibicarakan sang bupati kepada perempuan cantik itu. Sebuah amplop berwarna putih diselipkan sang bupati ke dalam tasnya.

"Urusan tanda tangan berkas sudah selesai, pantas saja bapak mengajak pulang." Prawito kembali mendekati majikannya, sang bupati.

-----------   

     "He, Wito...apa saja tugas kamu selama menemani bapak di Jakarta?" tanya Bang Yudha, salah satu ajudan sang bupati.

"Sebentar lagi ibu akan nanya kamu, tolong jawab dengan jujur ya?!"

Hati Prawito jadi menciut, ketakutan kembali menyergapnya. Jangan-jangan laporan hilangnya sang bupati sampai ke telinga istrinya. "Ah tak mungkin ibu akan marah, suaminya sudah kembali dengan selamat kok.." hibur Prawito kepada dirinya sendiri.

Tapi apa yang disangka Prawito berbalik dengan pertanyaan sang istri bupati.

"Prawito, tolong jawab dengan jujur. Apakah bapak bertemu dengan seorang perempuan di Jakarta??"

"Ya benar Bu, bapak menemuinya di restoran dan telah menandatangani berkas," jawab Prawito dengan lugas.

"Apakah perempuan itu cantik?" tanya ibu bupati lagi.

"Menurut saya biasa-biasa saja Bu.." jawab Prawito. Ia akhirnya tidak lagi mau mengakui perempuan itu cantik. Di mata Prawito sekarang perempuan yang cantik itu bukan diukur dari wajahnya semata, tetapi lebih dari sikap dan perilakunya.

Ibu bupati tersenyum sesaat, "ya sudah. Jaga bapak baik-baik ya Wito.."

"Siap Bu!"

--------------

     Prawito kini berada di balik jeruji penjara. Kasus pembunuhan yang dituduhkan kepadanya telah terbukti, namun Prawito tidak menyesali perbuatannya. Hanya satu yang disesalinya, membuat hati ibunya terpukul.

Di dalam lubuk hatinya yang terdalam, Prawito menyematkan rasa bangga terhadap dirinya sendiri. Prawito berhasil melenyapkan rasa benawat dalam diri sang bupati. Satu tahun menjadi ajudan bagi sang bupati ternyata mampu mengumpulkan semua bukti dan kecurangan yang dilakukan olehnya. Mulai dari perselingkuhan, penggelapan, dan yang lebih tidak diterima oleh Prawito adalah penindasan.

Dan sang bupati pernah  melakukan itu semua, sayang beliau menampiknya. Prawito menjadi penyebab amarah sang bupati, Prawito dituduh sebagai penyebar fitnah.

    Malam yang nahas itu kala sang bupati terlelap, Prawito mengendap-endap ke dalam kamarnya. Sang istri bupati membukakan pintu kamar. Perlahan-lahan Prawito mendekati sang bupati di pembaringan. Ia berdiri mematung beberapa saat, degup jantungnya semakin kencang.

" Lakukan, lakukan segera Wito.." perintah sang istri bupati. Kedua matanya melotot ke arah Prawito, menandakan sebuah perintah yang tak bisa ditolak lagi. Sang bupati akhirnya lemas hingga tak bernyawa saat bantal yang menutupi wajahnya ditekan dalam-dalam oleh kedua tangan kekar Prawito.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun