Mohon tunggu...
Indah Fara Dilla
Indah Fara Dilla Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswi IAIN Langsa

stay healty, self love

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Meningkatkan Resiliensi Diri Selama Masa Pandemi

29 Januari 2022   14:40 Diperbarui: 29 Januari 2022   14:48 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

MENINGKATKAN RESILIENSI DIRI SELAMA MASA PANDEMI

Oleh

Indah Fara Dilla

Mahasiswi Ekonomi Syariah, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam, IAIN Langsa

Sudah hampir 2 tahun pandemi Covid-19 menyerang ke berbagai negara di dunia, Indonesia juga tidak luput dari serangan virus tersebut. 

Mengakibatkan banyak sekali perubahan yang terjadi baik dari segi sosial, ekonomi maupun pendidikan. Bidang pendidikan mengalami perubahan strategi pembelajaran yang tentunya menuai pro dan kontra bagi mahasiswa dan tenaga pendidik. Impian setiap mahasiswa adalah dapat berhasil menyelesaikan pendidikan yang sedang ditempuh dan memperoleh nilai yang terbaik. 

Namun, di masa pandemi seperti sekarang yang mengharuskan mahasiswa untuk belajar secara daring ini menimbulkan banyak problem dalam diri mereka. 

Belajar secara daring kadang menjadi moment yang sangat membosankan, menatap layar handphone untuk pertemuan virtual tentu bukanlah hal yang selalu menyenangkan. Pada akhirnya banyak yang pasrah dengan kondisi maupun keadaan dan tidak bersemangat dalam belajar, nah dalam situasi seperti ini penting bagi kita untuk memiliki atau meningkatkan resiliensi diri di masa pandemi.

Secara umum, rata-rata resiliensi manusia itu tergolong rendah. Mereka cenderung tidak tahan terhadap tekanan atau rasa sakit serta cenderung pesimis melihat masa depan ketika mengalami situasi yang menekan dan membuat mereka terpukul. Sebenarnya, resiliensi ini dapat dibangun melalui apa yang disebut dengan 'afek positif', yaitu pengalaman positif yang dialami seseorang ketika berinteraksi dengan orang lain, atau ketika berhasil mengatasi tantangan hidup.

Terlebih ditengah pandemi Covid-19, dimana sebagian besar masyarakat mengalami dampak yang luar biasa, maka kemampuan masyarakat diuji kehandalannya. Kemampuan beradaptasi dengan kondisi-kondisi yang sulit penting agar bisa tetap survive. 

Akibat kondisi tersebut, seseorang akan lebih mudah mengalami stres yang dapat menyebabkan gangguan pada kesehatan mental bila tak segera ditangani. Biasanya individu yang mengalami stres ditandai dengan perasaan tidak relaks, emosi tidak stabil, susah tidur, sulit konsentrasi, kewaspadaan meningkat sampai mudah terkejut.

Pandemi Covid-19 tidak hanya berdampak pada kesehatan fisik namun juga kesehatan mental. Masyarakat dihadapkan oleh perubahan tatanan kehidupan sosial yang signifikan seperti pembatasan sosial, pemotongan jumlah karyawan, kewajiban bekerja dari rumah, hingga mengajar anak sekolah online. 

Berbagai hal ini menjadi penyebab banyak orang mengalami permasalahan kesehatan mental seperti peningkatan kecemasan dan stres yang berefek pada perilaku tidak produktif. Tidak hanya itu, banyak orang terpaksa untuk beradaptasi dengan realitas baru yang didominasi oleh ketakutan akan penyebaran dan penularan virus.

Oleh karena itu, kemampuan resiliensi sebagai benteng ketahanan diri untuk bertahan di tengah kondisi pandemi global saat ini perlu untuk ditingkatkan. Resiliensi adalah kemampuan individu untuk beradaptasi secara positif dan efektif sebagai strategi dalam menghadapi kesulitan.

Makna resiliensi ini merupakan sebuah proses dari hasil adaptasi dengan pengalaman hidup yang sulit atau menantang. Secara sederhana resiliensi ini merupakan keuletan dan keteguhan seseorang dan dibutuhkan setiap orang karena akan menjadi sumber kekuatan yang membuatnya mampu bertahan dalam kondisi apapun. 

Resiliensi adalah kemampuan individu untuk bisa bangkit dari kondisi sulit dan mampu kuat lagi meskipun pernah menjadi lemah dan jatuh sebelumnya. Dengan situasi pandemi seperti sekarang memang bukan situasi yang menyenangkan, nah, cenderung memberikan dampak negatif. Maka dari itu penting untuk kita memiliki faktor pendukung atau pembentuk pribadi yang exilient. Ada 7 aspek pembentuk pribadi yang  resilien (Reivich dan Shatte: 2002), antara lain:

  • Regulasi Emosi; kemampuan untuk tetap tenang dan fokus dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah.
  • Pengendalian Impuls; kemampuan individu dalam mengontrol dorongan keinginan dan tekanan yang muncul dari dalam diri individu itu sendiri.
  • Sikap Optimis; artinya bahwa individu dapat menyelesaikan masalahnya dan melewati kondisi yang terberatnya.
  • Empati; tingkatkan empati dengan kemampuan individu untuk memahami tanda-tanda emosional dan psikologis orang lain.
  • Kemampuan Analisis Masalah; kemampuan individu untuk mengidentifikasi penyebab dari permasalahan yang dihadapi;
  • Efikasi Diri; keyakinan bahwa individu mampu memecahkan masalah yang dialami dan mencapai kesuksesan.
  • Mengambil Hikmah; tingkatkan kemampuan individu untuk memaknai permasalahan yang dihadapi sebagai kekuatan di masa depan.

Perlu diketahui resiliensi individu memiliki tingkatan yang berbeda-beda. Mulai dari tinggi, sedang hingga rendah hal itu disebabkan karena resiliensi dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya: 

Yang pertama, faktor individual yang mencakup kemampuan kognitif individu, konsep diri, harga diri dan kompetensi sosial. Semua hal tersebut akan mendukung resiliensi akademik yang tinggi apabila dapat dikelola secara maksimal. 

Faktor kedua, faktor keluarga yang meliputi dukungan orangtua atau anggota keluarga untuk membantu individu menghadapi masa-masa sulitnya. Keluarga adalah orang terdekat sehingga sangat mengerti karakter dan kebutuhan individu. Faktor ketiga, faktor eksternal atau komunitas; faktor ini mencakup lingkungan sosial dan ekonomi. Kondisi sosial dan ekonomi yang baik akan mempermudah individu untuk meningkatkan resiliensi (Everal dkk; dalam Ifdil & Taufik: 2012).

Tidak dapat dipungkiri Covid-19 menyebabkan perubahan dalam sistem pendidikan. Banyak sekali media yang memberitakan mahasiswa yang depresi bahkan sampai bunuh diri dengan perubahan sistem pembelajaran saat ini. Oleh karena itu, penting untuk kita agar bisa meningkatkan resiliensi akademik supaya mampu bertahan disituasi tersulit sekalipun. Ada beberapa cara untuk meningkatkan resiliensi seseorang diantaranya:

  • Memperbanyak relasi dan hubungan baik dengan orang lain;
  • Menerima perubahan;
  • Tidak memandang krisis masalah;
  • Berani mengambil tindakan;
  • Optimis dan percaya diri;

Resiliensi bukanlah hal permanen yang tidak dapat dirubah, semua individu memiliki kesempatan yang sama untuk meningkatkan resiliensi dalam bidang apapun termasuk bidang akademik. Apabila individu sudah memiliki resiliensi akademik yang baik, maka output yang dihasilkan tentunya akan baik pula.

Tips resiliensi diri selama pandemi:

  • Lakukan perawatan diri
  • Kendalikan yang dapat dikendalikan
  • Tetap terhubung dengan orang lain
  • Jaga rutinitas secara fleksibel
  • Keluar ambil udara segar

Memang perubahan itu adalah sebuah hal yang sangat wajar dialami saat pandemi seperti ini. Kira-kira apa yang bisa kita lakukan, salah satunya ini nih, resiliensi. Resiliensi kita perlu dipertanyakan dalam diri kita, bagaimana kemampuan kita dalam bisa bertahan dalam kondisi setertekan apapun.

Salah satu faktor pendukung tingginya resiliensi yaitu dukungan sosial. Dukungan sosial adalah salah satu cara meningkatkan resiliensi sehingga individu dapat merasakan emosi positif (Karadag  et al., 2019). Dukungan sosial juga merupakan faktor protektif terhadap beban dalam resiliensi (Ruisoto  et al., 2020). Pemberian dukungan sosial di masa pandemi dapat meningkatkan kesejahteraan dan resiliensi individu ketika menghadapi masalah.

Faktor lain yang dapat mempengaruhi resiliensi adalah religiusitas dan spiritualitas. Religiusitas dan spiritualitas merupakan faktor yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis dan tingkat kesehatan (Deb et al., 2016; Uyun & Rumiani, 2012). 

Spiritualitas dan religiusitas dapat menjadi sumber harapan, makna, kedamaian, kenyamanan, dan pemaafan yang kuat bagi diri sendiri dan individu lain (Brewer-Smyth & Koenig, 2014). Religiusitas dan spiritualitas memiliki pada manfaat yang lebih integral. 

Contohnya dalam beribadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala salah satunya berupa sholat. Sholat lima waktu merupakan kewajiban bagi umat muslim, karena sholat menunjukkan kepatuhan perintah Allah dan itu merupakan nilai religiusnya.  Namun,  di  sisi  lain sholat merupakan sebuah terapi spiritual karena melatih fokus dan menimbulkan ketenangan jiwa. 

Individu dengan spiritualitas yang baik dapat menghadapi tekanan dan permasalahan yang dialami karena dengan spiritualitas yang dimiliki tersebut, individu akan mengaitkan pengalaman hidupnya dengan transenden (Permana, 2018). Hal lain diungkapkan bahwa, dengan meningkatkan keimanan juga dapat mengurangi kecemasan dan membuat perasaan menjadi rileks. Dengan kata lain, praktik keyakinan beragama dapat membuat individu menjadi resilien (Javanmard, 2013).

Sebagai upaya untuk meminimalisasi panjangnya efek dari Covid-19 terhadap kehidupan sosial, sejumlah negara mengambil langkah dengan menerima krisis sebagai suatu realitas baru. 

Untuk menghadapi realitas baru ini individu perlu memiliki kapasitas untuk melakukan adaptasi positif saat mengalami keadaan yang penuh tekanan (Adler & Saboe, 2017).  Kapasitas  individu  untuk  dapat menghadapi dan mengurangi efek stress dengan baik dapat muncul dengan adanya psychological resilience (Hou et al., 2017).

Penelitian menunjukkan bahwa kekhawatiran masyarakat lebih tinggi dipicu oleh kecemasan akan kesehatan keluarga dan kerabatnya, sehingga penting juga bagi individu untuk tetap terhubung meskipun berada dalam situasi Covid-19 yang menuntut untuk menjaga jarak.

Resiliensi ini membutuhkan kemampuan untuk bisa tenang dan juga emosi yang stabil, emosi yang stabil ini dapat membuat kita berupaya menjalin relasi-relasi terhadap apa yang akan kita lakukan kedepannya atau strategi. Upaya untuk keras melakukan strategi disebut perseverance. 

Jadi perseverance ini salah satu modal kita untuk bisa memiliki resilien yang bagus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kalau kita tidak memiliki kemampuan untuk mengatur emosi yang baik dan juga tidak mampu bertahan dalam kondisi yang sulit atau resiliensi itu,  maka kita akan punya kesulitan dalam menjaga dan menjalin hubungan dengan manusia yang lain. 

Jadi, buat temen-temen mahasiswa maupun masyarakat yang merasa bosan dengan adanya perubahan maupun kekacauan yang terjadi akibat pandemi. Ayo kita belajar bahwa ada sesuatu yang bisa kita ambil dari hikmah semuanya. Jadikanlah moment sulit dalam hidup kita adalah moment perubahan yang membuat kita terus mau belajar dan mengembangkan diri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun