Namanya Renata. Kami berpacaran hampir 2 tahun lamanya. Pada saat itu, jiwa mudaku masih ingin bersenang-senang. Aku belum memikirkan hal-hal serius ke depan karena prioritasku masih pekerjaan.
Sementara Renata, cewek perfeksionis yang punya segudang mimpi. Sialnya, dia memasukan aku ke dalam mimpi-mimpunya. Membeli sebuah apartemen dekat laut, menikah, memiliki anak, dan membangun bisnis bersama. Ah, sesuatu yang tidak pernah aku bayangkan.
Renata begitu bersemangat menceritakan angan-angan, sementara aku terdiam tak mendengarkan. Sejak saat itu, sikapku mulai berubah. Aku mulai menghindar dan gadis itu cukup pintar untuk menyadari perubahan sikapku. Dia tahu, tetapi tidak menyerah.
Renata tidak pernah putus asa untuk mencari kabarku, meskipun aku sudah mengancam semua teman dekatku untuk tidak menjawab pesan dan mengangkat telepon darinya.
Kata Gin aku berengsek. Aku tidak marah karena memang begitu, seperti ayahku.
Sikapku makin berengsek pada Renata. Aku makin semena-mena memperlakukannya. Mungkin karena egoku sebagai pria merasa tinggi sebab ada gadis yang mencintaiku begitu dalam. Aku terus begitu meskipun Gin dan teman-teman lain memberiku nasehat. Aku terlena ... sampai lupa kalau gadis itu juga manusia. Ia punya harga diri dan kesabaran. Hingga malam tahun baru 2018, Renata tidak pernah menghubungiku lagi.
Sebulan setelahnya, aku merasa bahagia dan bebas.
Enam bulan setelahnya, dadaku mulai sesak. Sial, aku merindukannya.
Satu tahun setelahnya, aku berkencan dengan beberapa wanita. Kemudian berakhir begitu saja. Tidak ada yang seperti Renata.
Aku melewati hari tanpa Renata. Meskipun tiada satu hari pun aku melupakannya. Senyum, tawa, bahkan mimpi-mimpinya yang dulu ku anggap menyebalkan.
Aku bahagia bersama Renata.