Mohon tunggu...
Beryn Imtihan
Beryn Imtihan Mohon Tunggu... Penikmat Kopi

Seorang analis pembangunan desa dan konsultan pemberdayaan masyarakat yang mengutamakan integrasi SDGs Desa, mitigasi risiko bencana, serta pengembangan inovasi berbasis lokal. Ia aktif menulis seputar potensi desa, kontribusi pesantren, dan dinamika sosial di kawasan timur Indonesia. Melalui blog ini, ia membagikan ide, praktik inspiratif, dan strategi untuk memperkuat ketangguhan desa dari tingkat akar rumput. Dengan pengalaman mendampingi berbagai program pemerintah dan organisasi masyarakat sipil, blog ini menjadi ruang berbagi pengetahuan demi mendorong perubahan yang berkelanjutan.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Guru Bukan Beban Negara

20 Agustus 2025   09:34 Diperbarui: 20 Agustus 2025   09:34 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Musyawarah Desa untuk penyusunan RKPDes yang biasanya fokus pada pembangunan jalan, sanitasi, dan pemberdayaan ekonomi kali ini terasa berbeda. Seorang tenaga pendidik menyuarakan kegelisahannya terkait pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani mengenai isu gaji guru yang dinilai problematis.

Ia mengutip potongan video yang beredar di media sosial dengan kalimat provokatif “guru itu beban negara.” Forum sempat hening. Meski kemudian dijelaskan bahwa video tersebut adalah hasil potongan tidak utuh, bahkan disinyalir sebagai deepfake, keresahan sudah terlanjur muncul di tengah warga desa.

Bagi warga desa, isu ini bukan sekadar wacana elite di Jakarta. Guru dan dosen adalah wajah pendidikan yang mereka jumpai setiap hari. Jika negara meragukan kewajibannya menggaji tenaga pendidik, maka yang paling dirugikan adalah anak-anak desa yang sedang berjuang meraih masa depan.

Pendamping desa yang mendampingi forum mencatat bahwa suara warga jelas yakni, menggaji pendidik bukan beban, melainkan kewajiban konstitusional negara. Tanpa komitmen itu, kesenjangan pendidikan desa-kota akan makin melebar. Guru bukan hanya pekerja, tetapi pembangun peradaban desa.

Forum musyawarah kemudian berlanjut pada pembahasan dasar hukum. Seorang warga yang berprofesi sebagai dosen di perguruan tinggi swasta mengingatkan, Pasal 31 UUD 1945 telah menjamin hak setiap warga negara memperoleh pendidikan. Pemerintah pun diwajibkan membiayai, sehingga tanggung jawab ini tidak bisa ditawar atau dialihkan.

Ia juga menegaskan, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dengan jelas menyebut pemerintah berkewajiban memberikan penghasilan layak bagi pendidik. Mengabaikan amanat tersebut sama artinya dengan melanggar mandat hukum, sekaligus melemahkan semangat guru dan dosen dalam menjalankan peran pentingnya.

Sardiman dalam Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar (2011) menekankan bahwa motivasi guru dalam mengajar erat kaitannya dengan kesejahteraan mereka. Guru yang hidup sejahtera lebih mampu berinovasi dan membangun pembelajaran yang bermutu bagi siswanya.

Pendamping desa mencatat, warga memahami bahwa penghargaan terhadap guru bukanlah belas kasihan, melainkan bagian dari kewajiban negara. Mengabaikan kesejahteraan guru berarti menutup akses generasi desa terhadap pendidikan yang adil dan berkualitas.

Dalam forum, seorang pemuda yang juga tokoh LSM bertanya dengan nada protes: “Kalau bukan negara, lalu siapa? Apakah nasib pendidikan akan diserahkan kepada pasar?” Pertanyaan ini menohok dan menggambarkan kekhawatiran terhadap arah kebijakan pendidikan.

Michael Apple dalam Educating the “Right” Way (2006) menjelaskan bahwa komersialisasi pendidikan justru memperlebar ketimpangan. Pendidikan bermutu hanya akan dinikmati oleh kalangan mampu, sementara kelompok miskin—terutama di desa—akan makin tertinggal.

Badan Pusat Statistik (BPS, 2023) mencatat bahwa angka partisipasi sekolah di desa masih lebih rendah dibandingkan kota. Jika tanggung jawab menggaji guru dialihkan dari negara, ketimpangan ini hanya akan semakin tajam. Desa berpotensi kehilangan kesempatan emas untuk maju.

Hanushek dan Wößmann dalam The Role of Education Quality in Economic Growth (2007) menegaskan, kualitas guru adalah penentu utama pertumbuhan ekonomi. Artinya, memperlakukan guru sebagai beban justru sama dengan melemahkan fondasi pembangunan bangsa itu sendiri.

Dari aula desa, suara warga menolak tegas gagasan bahwa pendidikan bisa dilepas ke mekanisme pasar. Guru dan dosen adalah pengabdi ilmu, bukan komoditas. Negara harus tetap menjadi penjamin utama keberlangsungan pendidikan nasional.

Di akhir musyawarah, seorang tokoh agama menyimpulkan, “Menggaji guru bukanlah kemurahan hati negara, melainkan hak guru yang wajib dipenuhi.” Pernyataan sederhana ini mencerminkan pandangan yang agamis, jernih, dan membumi.

Linda Darling-Hammond dalam The Flat World and Education (2010) mencontohkan bagaimana negara-negara seperti Finlandia sukses membangun sistem pendidikan terbaik karena menempatkan guru pada posisi terhormat dan menjamin kesejahteraan mereka. Bukan infrastruktur mewah, melainkan kesejahteraan guru yang membuat kualitas pendidikan melesat.

Catatan Kementerian Keuangan yang menunjukkan bahwa sebagian besar anggaran pendidikan memang terserap untuk belanja pegawai, termasuk gaji guru. Fakta ini seharusnya tidak dilihat sebagai beban fiskal, melainkan sebagai investasi sosial jangka panjang yang memberi dampak luas.

Pendamping desa menutup catatan reflektifnya, jika negara mulai mempertanyakan kewajiban menggaji guru dan dosen, maka suara desa harus mengingatkan. Dari ruang kelas sederhana di pelosok desa, lahir generasi yang akan menentukan arah bangsa. Dan mereka tak boleh dikhianati.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun