Memiliki rumah adalah impian sebagian besar anak muda. Namun hari ini, mimpi itu tidak lagi dibeli dengan semangat kerja keras, melainkan harus dibayar mahal: penghasilan terbatas, status kerja tidak pasti, dan cicilan jangka panjang yang menakutkan.
Di permukaan, Kredit Pemilikan Rumah (KPR) tampak seperti jalan keluar. Tapi di balik brosur dan iklan yang menggoda, banyak anak muda melihat realitas yang jauh dari cerah. KPR bukan sekadar akad, melainkan komitmen panjang yang menuntut kestabilan finansial dan status kerja—dua hal yang kini justru langka di kalangan pekerja muda.
Khususnya bagi mereka yang bekerja di sektor publik non-struktural seperti Pendamping Lokal Desa (PLD) dan Pendamping Desa (PD). Dengan sistem kerja berbasis kontrak tahunan dan status hukum yang tidak diakui sebagai bagian dari belanja pegawai, mereka hidup dalam ketidakpastian yang konstan.
Gaji yang Tak Berimbang
Pendamping Lokal Desa, yang biasanya menangani 3–4 desa, mendapatkan gaji pokok antara Rp1,3 juta hingga Rp2,3 juta per bulan, dengan bantuan operasional sekitar Rp300 ribu sampai Rp900 ribu. Sementara Pendamping Desa, yang mendampingi satu kecamatan, menerima gaji Rp2 juta hingga Rp4,8 juta per bulan, plus tunjangan operasional sekitar Rp1,2 juta hingga Rp2,2 juta.
Angka-angka tersebut tampak mencukupi secara nominal, tetapi cepat habis oleh kebutuhan hidup dasar. Jika disimulasikan untuk mencicil rumah tipe 36 seharga Rp250 juta, maka cicilan KPR bisa mencapai Rp2 juta per bulan. Bagi pendapatan yang hanya Rp3 juta-an, angka ini sudah menghabiskan hampir seluruh penghasilan.
Idealnya, cicilan utang maksimal hanya 30 persen dari penghasilan. Maka, seseorang baru layak ambil KPR Rp250 juta jika bergaji setidaknya Rp6 juta. Artinya, pendamping desa dan banyak anak muda lainnya otomatis gugur secara administrasi maupun logika keuangan.
Status Kontrak: Di Bawah Nomenklatur Barang dan Jasa
Lebih rumit lagi, para pendamping desa dikontrakkan melalui skema belanja barang dan jasa, bukan sebagai belanja pegawai. Konsekuensinya, status mereka tidak dianggap sebagai karyawan tetap atau ASN. Tidak ada THR, gaji ke-13, apalagi jaminan pensiun.
Dari sudut pandang lembaga keuangan, status ini membuat para pendamping tidak kredibel sebagai debitur jangka panjang. Lembaga keuangan formal cenderung menolak pengajuan KPR dari pekerja dengan kontrak tidak tetap, apalagi yang hanya dipekerjakan tahunan dan bergantung pada keberlanjutan proyek pemerintah.
Dalam kondisi seperti ini, KPR bukan lagi opsi, melainkan risiko besar. Seorang PLD berkata lirih, “Membayangkan KPR saja bikin cemas, apalagi menjalaninya.” Kalimat itu mewakili rasa takut yang sangat nyata—bukan takut akan komitmen, tapi takut akan ketidakpastian hidup.
Mimpi yang Terbeli Kenyataan
Istilah “mimpi yang terbeli” dalam judul ini bukanlah perayaan. Ini justru sindiran: mimpi punya rumah dibayar mahal dengan beban cicilan puluhan tahun tanpa jaminan kestabilan pekerjaan. Yang terbeli adalah rasa cemas, bukan rasa aman.
Banyak pendamping desa, guru honorer, tenaga kontrak, dan pekerja sektor nonformal lainnya, terjebak dalam ilusi kesejahteraan. Mereka bekerja keras untuk negara, tapi negara tidak memberikan kepastian jangka panjang yang layak. Alhasil, akses ke hak dasar seperti rumah pun makin menjauh.
Sementara itu, harga rumah terus melambung. Upah tak pernah mengejarnya. Bantuan KPR bersubsidi tak menjangkau kelompok dengan status hukum abu-abu. Anak muda jadi harus memilih antara menyewa seumur hidup, menumpang di rumah orang tua, atau membeli tanah dan membangun sendiri secara bertahap.
Di Tengah Bayang Cicilan dan Masa Depan yang Suram
Ketika masa kerja hanya satu tahun, bagaimana mungkin ambil cicilan dua dekade? Ketika gaji tak pasti, bagaimana membayar pokok dan bunga? Ketika status hukum tidak diakui, bagaimana mendapatkan kepercayaan dari bank? Semua pertanyaan ini berkumpul menjadi ketakutan kolektif yang membuat anak muda menjauh dari KPR.
Padahal, mereka bukan tak ingin punya rumah. Tapi kenyataan hidup memaksa mereka untuk berpikir ulang. Apa gunanya punya rumah jika cara memperolehnya membuat hidup tidak tenang? Apa gunanya mencicil jika hari esok pun belum tentu bisa bekerja?
Situasi ini bukan hanya soal rumah, tetapi soal ketimpangan struktural yang menjauhkan anak muda dari hak dasar mereka. Jika dibiarkan, maka akan muncul generasi tanpa properti—yang tidak menyewa, tidak membeli, dan tidak punya tempat tinggal tetap.
Saatnya Negara Turun Tangan
Negara tidak boleh tutup mata. Pendamping desa adalah ujung tombak pembangunan. Mereka harus diakui sebagai bagian dari sistem formal dengan status kerja yang diatur layaknya pegawai kontrak tetap. Kontrak multiyear, jaminan kesehatan, THR, dan akses pembiayaan harus disiapkan.
Bank dan lembaga keuangan juga harus menyesuaikan kebijakan pembiayaan untuk kelompok pekerja nonformal tapi produktif. Jika tidak, maka KPR hanya akan jadi fasilitas yang hanya dinikmati segelintir pegawai struktural dan swasta mapan.
Lebih jauh, literasi keuangan juga penting. Anak muda perlu dibekali pemahaman tentang manajemen keuangan, perencanaan jangka panjang, dan mitigasi risiko. Dengan begitu, mereka bisa membuat keputusan finansial yang sehat dan tidak terburu-buru karena tekanan sosial.
Mimpi Harus Ditegakkan di Atas Kepastian
KPR, mimpi yang terbeli—frasa ini seharusnya menjadi refleksi, bukan keputusasaan. Bahwa mimpi memiliki rumah tetap ada, tapi harus dibangun di atas kepastian. Bukan dengan utang tanpa masa depan, bukan dengan kontrak setahun untuk cicilan dua dekade.
Anak muda tidak kekurangan semangat. Mereka hanya butuh sistem yang berpihak. Mereka hanya perlu negara hadir bukan sebagai penonton, tapi sebagai pelindung. Ketika itu terjadi, barulah mimpi bisa terbeli—bukan dengan kecemasan, tapi dengan harapan yang nyata.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI