Banyak pendamping desa, guru honorer, tenaga kontrak, dan pekerja sektor nonformal lainnya, terjebak dalam ilusi kesejahteraan. Mereka bekerja keras untuk negara, tapi negara tidak memberikan kepastian jangka panjang yang layak. Alhasil, akses ke hak dasar seperti rumah pun makin menjauh.
Sementara itu, harga rumah terus melambung. Upah tak pernah mengejarnya. Bantuan KPR bersubsidi tak menjangkau kelompok dengan status hukum abu-abu. Anak muda jadi harus memilih antara menyewa seumur hidup, menumpang di rumah orang tua, atau membeli tanah dan membangun sendiri secara bertahap.
Di Tengah Bayang Cicilan dan Masa Depan yang Suram
Ketika masa kerja hanya satu tahun, bagaimana mungkin ambil cicilan dua dekade? Ketika gaji tak pasti, bagaimana membayar pokok dan bunga? Ketika status hukum tidak diakui, bagaimana mendapatkan kepercayaan dari bank? Semua pertanyaan ini berkumpul menjadi ketakutan kolektif yang membuat anak muda menjauh dari KPR.
Padahal, mereka bukan tak ingin punya rumah. Tapi kenyataan hidup memaksa mereka untuk berpikir ulang. Apa gunanya punya rumah jika cara memperolehnya membuat hidup tidak tenang? Apa gunanya mencicil jika hari esok pun belum tentu bisa bekerja?
Situasi ini bukan hanya soal rumah, tetapi soal ketimpangan struktural yang menjauhkan anak muda dari hak dasar mereka. Jika dibiarkan, maka akan muncul generasi tanpa properti—yang tidak menyewa, tidak membeli, dan tidak punya tempat tinggal tetap.
Saatnya Negara Turun Tangan
Negara tidak boleh tutup mata. Pendamping desa adalah ujung tombak pembangunan. Mereka harus diakui sebagai bagian dari sistem formal dengan status kerja yang diatur layaknya pegawai kontrak tetap. Kontrak multiyear, jaminan kesehatan, THR, dan akses pembiayaan harus disiapkan.
Bank dan lembaga keuangan juga harus menyesuaikan kebijakan pembiayaan untuk kelompok pekerja nonformal tapi produktif. Jika tidak, maka KPR hanya akan jadi fasilitas yang hanya dinikmati segelintir pegawai struktural dan swasta mapan.
Lebih jauh, literasi keuangan juga penting. Anak muda perlu dibekali pemahaman tentang manajemen keuangan, perencanaan jangka panjang, dan mitigasi risiko. Dengan begitu, mereka bisa membuat keputusan finansial yang sehat dan tidak terburu-buru karena tekanan sosial.
Mimpi Harus Ditegakkan di Atas Kepastian
KPR, mimpi yang terbeli—frasa ini seharusnya menjadi refleksi, bukan keputusasaan. Bahwa mimpi memiliki rumah tetap ada, tapi harus dibangun di atas kepastian. Bukan dengan utang tanpa masa depan, bukan dengan kontrak setahun untuk cicilan dua dekade.
Anak muda tidak kekurangan semangat. Mereka hanya butuh sistem yang berpihak. Mereka hanya perlu negara hadir bukan sebagai penonton, tapi sebagai pelindung. Ketika itu terjadi, barulah mimpi bisa terbeli—bukan dengan kecemasan, tapi dengan harapan yang nyata.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI