Di tengah gencarnya program bantuan sosial dari pemerintah maupun lembaga nonpemerintah, kesadaran etis para penerima bantuan menjadi elemen krusial dalam menciptakan tatanan masyarakat yang berkeadaban. Bantuan bukan sekadar urusan ekonomi, tetapi juga soal moral.
Bantuan yang diterima tanpa kesadaran etis rentan disalahgunakan. Ia bisa menumbuhkan mentalitas ketergantungan dan sikap oportunistik di masyarakat. Kesadaran etis harus menjadi fondasi bagi terciptanya keseimbangan antara solidaritas sosial dan martabat penerima bantuan.
Menurut Magnis-Suseno dalam Etika Sosial: Dasar dan Prinsip (1991), etika adalah sikap batin yang melandasi tindakan manusia terhadap sesamanya. Bantuan harus dilihat sebagai bentuk solidaritas, bukan hak mutlak yang dapat dituntut tanpa adanya tanggung jawab sosial.
Kesadaran etis mencakup kejujuran dalam menerima bantuan. Fenomena rekayasa data demi memperoleh bantuan menunjukkan degradasi moral. Dalam Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn (2005), al-Ghazali menegaskan bahwa kejujuran (ṣidq) adalah fondasi akhlak dan pilar tegaknya keadilan sosial dalam masyarakat.
Bantuan juga seharusnya menjadi pemicu produktivitas, bukan penyubur ketergantungan. Tanpa etika, program bantuan berpotensi melanggengkan kemiskinan struktural dan mengikis daya inisiatif warga untuk bangkit dari keterbatasan. Etika adalah jantung dari upaya pemberdayaan.
Syukur, Harga Diri, dan Keutamaan Sosial
Sikap menerima bantuan dengan rasa syukur merupakan cerminan etika sosial yang luhur. Rasa syukur melahirkan tanggung jawab untuk menggunakan bantuan secara tepat guna serta berdampak positif bagi individu dan lingkungan. Ini bagian dari menjaga kepercayaan sosial.
Dosen filsafat Franz Magnis-Suseno menekankan bahwa martabat manusia tidak boleh dikorbankan demi sesuatu. Dalam Etika Politik (1997), ia menyebut bahwa sekalipun menerima bantuan, seseorang harus tetap menjaga sikap dan perilaku yang mencerminkan integritas dan harga diri.
Namun tak sedikit pula contoh baik di desa-desa Indonesia. Di sejumlah daerah yang pernah saya dampingi, warga secara sadar menolak atau mengalihkan bantuan kepada tetangga yang lebih membutuhkan. Sikap seperti ini menunjukkan bahwa etika sosial masih hidup di ruang-ruang komunitas desa.
Seorang janda lansia di Desa Kediri, Lombok Barat misalnya, saat menerima BLT-DD, membelikan beras dari setengah uang yang diterimanya dan membaginya ke dua tetangga jompo lain. Ia berkata, "Kalau saya dapat, mereka pun harus makan." Etika hidup dalam tindakan kecil.
Di Desa Lantan, Lombok Tengah, seorang pemuda menolak menerima bantuan pelatihan karena merasa belum layak. Ia menyerahkan kesempatan itu kepada pemuda lain yang lebih siap. Penolakan itu disampaikan dalam musyawarah dusun dan mendapat tepuk tangan warganya.